Hans
Dia tidak memimpikan akan kembali menemukan perempuan itu di perjalanan di atas langit. Ketika pesawat baru saja lepas landas untuk menuju kota ini. Ia ingat benar setahun yang lalu. Ia memantau gerak geriknya di pojokan sebuah kafe. Rambutnya kala itu masih pendek setelinga, namun senyumnya lebar dan ia langsung menyukainya. Pipinya bersemu merah dan ia mengetahui bahwa itu adalah karena cinta. Caranya menatap laki-laki di sebelahnya. Ia hanya terdiam mengamati mereka. Berkomentar hanya jika ia merasa diminta.
Namun sore itu, perempuan itu menyebutkan namanya dari sebelah kiri lorong tempat duduk pesawat. Ia juga sama tidak percayanya. Ia tidak percaya kebetulan, namun ini sedikit keterlaluan. Astaga, Tara. Ia setengah berguman. Ia segera mengambil tempat duduk di sebelahnya, ketika orang di sebelah perempuan itu dengan tahu diri segera berpindah ke tempat duduk lainnya karena penerbangan malam itu tidak terlalu penuh. Juga karena mereka berbicara sedikit terlalu keras. Ia tidak peduli, dengan segera ia memeluknya.
Ada sesuatu dalam pelukannya. Ada sesuatu yang rapuh, mungkin juga pecah. Ada sisa tangis dalam lekuk wajah perempuan itu. Ia tidak menanyakan. Ia hanya mengerti, walau sedikit menebak. Entah mengapa ia ingin mengusap kepala perempuan di sebelahnya ketika ia menangkap rasa sedih mewarnai suaranya. Di penghujung penerbangan, akhirnya ia memberanikan diri mengusap kepala Tara dan menatap dalam-dalam matanya. Perempuan itu hanya tersipu sedikit, tersenyum sedikit malu.
Mereka berjanji untuk bertemu esok hari di pojokan jalan di tengah alun-alun kota. Perempuan itu berjalan duluan dengan tas punggungnya yang tidak seberapa besar. Ia hanya bisa mengirimkan ciuman yang bersayap dari kejauhan di atas tangga sambil melihatnya pergi untuk sekali lagi.
Sampai esok hari.