Kathmandu, 9 Juni 2014

Hans

Dia tidak memimpikan akan kembali menemukan perempuan itu di perjalanan di atas langit. Ketika pesawat baru saja lepas landas untuk menuju kota ini. Ia ingat benar setahun yang lalu. Ia memantau gerak geriknya di pojokan sebuah kafe. Rambutnya kala itu masih pendek setelinga, namun senyumnya lebar dan ia langsung menyukainya. Pipinya bersemu merah dan ia mengetahui bahwa itu adalah karena cinta. Caranya menatap laki-laki di sebelahnya. Ia hanya terdiam mengamati mereka. Berkomentar hanya jika ia merasa diminta.

Namun sore itu, perempuan itu menyebutkan namanya dari sebelah kiri lorong tempat duduk pesawat. Ia juga sama tidak percayanya. Ia tidak percaya kebetulan, namun ini sedikit keterlaluan. Astaga, Tara. Ia setengah berguman. Ia segera mengambil tempat duduk di sebelahnya, ketika orang di sebelah perempuan itu dengan tahu diri segera berpindah ke tempat duduk lainnya karena penerbangan malam itu tidak terlalu penuh. Juga karena mereka berbicara sedikit terlalu keras. Ia tidak peduli, dengan segera ia memeluknya.

Ada sesuatu dalam pelukannya. Ada sesuatu yang rapuh, mungkin juga pecah. Ada sisa tangis dalam lekuk wajah perempuan itu. Ia tidak menanyakan. Ia hanya mengerti, walau sedikit menebak. Entah mengapa ia ingin mengusap kepala perempuan di sebelahnya ketika ia menangkap rasa sedih mewarnai suaranya. Di penghujung penerbangan, akhirnya ia memberanikan diri mengusap kepala Tara dan menatap dalam-dalam matanya. Perempuan itu hanya tersipu sedikit, tersenyum sedikit malu.

Mereka berjanji untuk bertemu esok hari di pojokan jalan di tengah alun-alun kota. Perempuan itu berjalan duluan dengan tas punggungnya yang tidak seberapa besar. Ia hanya bisa mengirimkan ciuman yang bersayap dari kejauhan di atas tangga sambil melihatnya pergi untuk sekali lagi.

Sampai esok hari.

Mimpi yang Ketiga

Aku tak lagi mengerti kita berada di arah mana. Namun dalam mimpi ini kita selalu tertangkap basah. Dalam detail yang mengendap, aku hanya mengingat ketika kepalaku kutaruh begitu saja pada lekuk sisi tubuh kirimu. Seolah mendengar di antara jantung dan gemericik suara perut. Sensasi yang aneh untuk menjadi bagian rusuk kirimu. Mitos Hawa yang tak pernah kumau percayai dan aku akan terbayang wajahmu yang juga mengingkarinya di suatu sore.

Sore yang nyaman untuk saling bergelung, dalam hangatnya matahari senja dari arah jendela. Aku hanya ingat gelung rambutnya saat ini. Seolah kubiarkanlah semua nubuat tanda-tanda ini. Pada kenyataannya mungkin kita hanya berbicara melalui aliran udara dan gelombang kesadaran kita masing-masing.

Aku tetap tak lagi sabar, namun juga belum dapat dikatakan rindu. Karena hal-hal yang kita ketahui dan juga belum lagi terjadi.

Ingatan Salju

Bau salju menusuk hidungku bermalam-malam. Selimut merah marun lembab oleh sisa salju yang mencair di pagi hari yang cerah. Rumah-rumah berjejer seceria bendera doa. Teh beraroma mawar dan saffron menguap mengisi dapur bawah tanah. Wangi kretek bertebaran di ruang tengah, menandakan diri yang telah terbangun. Kata-kata Rumi menebar di udara.

Aku begitu dekat, hingga aku terlihat seakan-akan jauh
Begitu bercampur denganmu, hingga aku terlihat seakan-akan terpisah
Begitu terbuka, hingga aku terlihat bersembunyi
Begitu terdiam, karena aku terus menerus berbicara kepadamu

Sejauh puncak-puncak salju dan langit hitam berbintang. Begitu dekat nafasmu. Pada nadiku.

Danau Itu

jika di tepi danau itu, aku akan menemukanmu mungkin itulah saat-saat dimana manusia mulai membuat kenangan. jika kita tak saling berbicara kemudian di tempat itu, maka disitulah aku akan berhenti mencari. titik de javu luar biasa yang membuat semesta diam sementara.

aku tak tahu apa yang memicu sebuah ingatan, selain sekian rasa ribu terkenang dan sensasinya yang menenggelamkan. apakah kibasan rambut yang menutupi wajah ketika tertiup angin gunung? atau senja yang menusuk mata? ataukah sosok punggung kokoh yang seolah-olah pergi? aku tak paham, mencari bentuk dalam fisik yang tak lagi milikku ataupun milikmu. rasa kesatuan yang menjadi satu.

maka, sejak itu, tak kuingat lagi wajahmu ataupun bau jejakmu. karena di hidup kita yang sekarang, kita akan selalu bertemu dalam sekian bentuk dan serpihan yang tak lagi sama, tak lagi utuh. tapi rasa itu masih disana. di sebuah danau yang tertutup es di kala musim panas pun.

dan ingin kuhayati janji itu. dan ingin kuberjalan menanjak segera kesana. menemuimu.

Wajah Laki-laki yang Kabur

aku tak tahu apa yang kugapai dalam mimpi semalam. selain rasa ketenangan yang menembus dada hingga haru menjelang subuh. tentang catatan filosofis di sebuah pintu lemari kayu. tulisanku, sekian tahun yang lalu. di pintu itu. pintu yang tak kutemukan dirimu sebelumnya.

aku tak paham kenapa kau memeluk kepalaku. menaruhnya di dadamu dan kehangatan meremang di sore yang seolah-olah jauh dari sesuatu. dada tempat kumenaruh lelahku.

tak nampak wajahmu, di semua episode itu. aku tahu kau belum datang. mimpiku seperti sebuah gulungan rol film akan masa depan.

pada sekarang. aku tak menunggumu. aku hanya menyerahkan diriku pada yang sekarang dan pada yang akan datang.

Ketika Rasa Sedih Menghilang dan Hujan Tak Kunjung Datang

: dalam usaha mengingat sebuah fragmen kecil

Hujan tak datang-datang dan kau merasa tidak biasa. Semua tempat yang kau datangi, yang kau tinggali selalu hujan. Sehingga tak jarang, sejak kecil orang-orang menamaimu: Gadis Pembawa Hujan.  Ada rasa sedih yang seolah tersedan di dadamu, ketika daun-daun menguning dan tak lagi mampu menyimpan rindunya pada awan-awan kelabu.

Atas segala rasa sedih, tak ada serintik pun yang turun dari langit. Seolah-olah dunia sedang kehilangan perasaan. Dan terik mentari tak lagi menjadi menyenangkan. Bahkan segala yang terlalu terang itu menyakitkan. Dalam remangnya matahari sore, hembusan angin yang bagai nafas pada jiwa pun tak membekas. Kau mencoba menghitung segalanya kembali dengan menjejerkan sekian kerikil di tanah. Pasir kering bercucuran. Tanah kehilangan pegangannya. Kau melihat kelapa terbelah. Sekian pawang menahan langit berbarengan. Doa pun dengan sia-sia kau panjatkan.

Tak mengerti lagi kau akan bau cuaca. Akan bau hujan yang akan datang. Karena semua sedu sedan telah tertahan. Kau telah lupa bagaimana caranya tanah basah, aroma lembab yang menguat di ruas ujung hidungmu telah hilang. Demi Tuhan, betapa keringnya dunia ketika rasa sedih menghilang. Bahkan pertanda hujan pun tak lagi menjadi harapan.

Tara

Tak akan ada yang menggantikannya, Tara. Kau hanya membuat ruang pada semesta agar berjanji untuk menemukan dirinya kepadamu lagi. Warna kesedihan masih memenuhi relung kameranya. Kau selalu hampir mati dibuatnya. Tak ada pernikahan yang membantu kalian kecuali keterkaitan ingatan dan usaha-usaha pelupaan. Bahkan jejak jiwanya melekat pada anakmu kini. Keajaiban muncul dimana-mana. Bekasnya masih selalu tengah kuat di pojokan kota yang sama. Tak ada yang bergerak, Tara. Saat itu.

Apa yang membuat hatimu tak kunjung bergerak? Tak pernah benar-benar membuka kecuali hanya kepadanya. Kenapa momen yang ditangkapnya seperti kata-kata yang tak pernah sampai kepadamu. Seorang fotografer yang lain mengingatkanmu lagi akan janji itu tiga hari yang lalu. Kau tak pernah lupa, mimpi kepulangan bersama itu. Ia yang menangkap dan kau yang mencatat, di tengah-tengah bau teh mentega yak.

Suatu hari, kau yakin, kepulangan itu akan lengkap dan udara akan ikut memadat. Tak lagi sesak dadamu di hadapanmu. Kau janji, tak lagi sesak. Seperti angin, dia menyertaimu setiap saat bahkan ketika kalian tak lagi bertemu atau menyapa. Jiwa yang berkelindan padamu. Jiwa yang pernah menjadi cahaya penunjuk terang menuju keabadian bersama.

Dalam mimpimu, kelopak teratai bermekaran. Dalam mimpimu, di senja itu kau meraih tangannya dan tak ada yang lagi lepas. Dan gelap pun akan lewat menunggu pagi tiba.

Vivian

Di antara cahaya matahari tanah tua ini, aku mengenangmu, Kenneth. Ketika perutku tengah membesar nyaris delapan bulan. Dokter melarangku bergerak banyak. Kerjaku hanya tidur dan makan es krim. Suster-suster memuja kulitku sebagaimana kau pernah memujanya, empat tahun yang lalu, di tengah dinginnya salju kota Wina.

Aku tak mengerti bagaimana diriku membesar. Hanya teknologi mutakhir yang dapat menjelaskannya. Aku merasa aneh dengan anak yang tengah kukandung ini. Dia tak lahir dari penis laki-laki. Ia tak lahir dari kenormalan. Ia disatukan di laboratorium dengan alat-alat. Lalu ditanamkan begitu saja ke dalam rahimku. Mereka menyebutnya bayi tabung. Aku membayangkan dalam perutku tumbuh semacam tabung yang bergerak. Spiral yang bulat, bagai penis yang melesak terlalu dalam. Namun bukan sesuatu yang alami.

 

Aku tak tahu mengapa aku mengingatmu di antara menguningnya dedaunan. Anak ini akan lahir di musim yang berguguran. Anak ini jika ia lahir selamat akan bangun di antara runtuhnya daun pepohonan.

 

Surat ini terlarang dan kau tahu bahwa aku tak akan bisa mengirimkannya kepadamu. Hanya dapat kutiupkan dalam lembar dedaunan yang jatuh ke tanah lembab. Sehingga mungkin dapat mencapai ingatan pada kulitmu akan memori dinginnya musim salju di suatu waktu.

 

Cerita Tentang Sebuah Tatapan

Seseorang pernah berkata kepadaku, “Kau memiliki kemampuan untuk membunuh seseorang dengan satu tatapan, berhati-hatilah menggunakannya.” Aku teringat kau semalam dan aku yang menatapmu malas-malasan. Betapa tertusuknya dirimu. Sedangkan suasana sedang riuh dalam tusukan-tusukan daging barbekiu.

Kuhela nafasku sebelum pulang. Dirimu sudah larut masam dalam setoples selai markisa. Warna cerah manis yang sia-sia walaupun sudah kutambahkan gula. Aku mengingat membungkus segalanya dalam balutan syal Khmer kotak-kotak biru yang kurelakan untukmu. Aku enggan mengingat berapa lagi hal yang telah kurelakan kepadamu.

Kukira kau tak pernah menyesali jarak yang kau buat. Aku tak mengira sebuah tatapan dapat membunuh seseorang sesekali waktu. Semalam aku memang lagi malas berhati-hati. Udara terlalu panas untuk mengendalikan segala sesuatu. Terkadang hidup menginginkan sekian hal untuk lepas kendali. Aku tak ingat di malam keberapa aku pernah mengatakan hal yang sama, bahwa kau tak bisa mengendalikan segalanya.

Aku tak pernah menyesali apa pun. Karena waktu tidak pernah berjalan terbalik. Kenyataan pahit itu harus selalu kita terima. Bahwa yang berubah adalah kekinian kita. Bukan masa lalu dan juga bukan masa depan. Bahwa perubahan selalu ada dalam genggaman dan pilihan adalah milik kita masing-masing. Aku telah memilih jalanku dan tak akan menunggu siapapun untuk menjadi alasan agar tidak pergi. Aku yang ditakdirkan untuk selalu pergi dan pada akhirnya selalu memilih pergi.

Karena aku menemukan Tuhanku dalam perjalanan, karena kuilku adalah di berbagai macam kendaraan dan hati orang-orang yang kutemui di perjalanan. Doaku adalah tapak kesekian, di kota-kota tak berpeta dan tak bernama. Kadang tak berwarna. Aku tak bisa menghentikan langkahku hanya karenamu belaka. Aku sudah di ujung roda yang tengah bergulir. Dan dalam irama alam, yang bergulir, bergulirlah berjalan.

Maafkan, jika satu tatapan akan menyakitkan. Tetapi mungkin lebih baik demikian. Aku masih tak ada alasan kuat untuk menunda perjalanan. Dan masih, dalam segala macam alasan dan karangan, dirimu bukanlah salah satunya. Itu adalah satu-satunya kenyataan.

Mungkin suatu hari masih kutorehkan seberkas namamu dalam satu biji mala. Mungkin suatu hari doa itu akan selalu sampai kepadamu. Dimanapun diriku. Bagaimanapun dirimu.

Tara

Berapa banyak sebenarnya yang telah berlalu, Tara? Berapa belas, puluh dan ribu? Apakah angka-angka masih berarti untukmu? Seperti angin yang telah lalu, mendesau antara lekuk telingamu, melewatimu dan masih melewatimu.

Kau dapat menciumnya dalam udara setiap malam purnama. Bau segar bunga lily. Sebatang keindahan yang pernah kau pegang pada hidup ini.

Masih saja, ia melewatimu dan melewatimu. Sepanjang malam. Bau jejaknya yang telah membekas di kota ini.

Dia sudah pulang. Kau berguman di malam biru purnama.