Keintiman Yang Universal

pass me. pass me slowly if you can
for, unlike memory, i don’t stay long

lewati aku. lewati aku pelahan kalau kau bisa
sebab, tak seperti ingatan, aku tak tinggal lama

(“atas YANG HANCUR” Dina Oktaviani, Juni 2011)

Kota-kota kesepian. Gema suara penyair yang lirih. Antara warna warni dan hitam putih. Kata-kata menyengat. Kenangan. Rekaman masa lalu dan para hantu. Kedekatan yang tak lagi membutuhkan bahasa. Keabadian yang membeku dalam dua belas foto dan dua belas puisi.

Berada di tengah-tengah ruangan pameran Sangam House malam itu, dalam cahaya hangatnya, samarnya suara penyair Dina Oktaviani dan melihat dari kacamata seorang Dalih Sembiring, getar keintiman karya mereka berdua menyeruak ke dada para pengunjung. Ruangan pameran seolah berubah menjadi mesin waktu yang sesaat, mengingatkan kita pada hal-hal yang familiar, hal-hal yang ingin dikenang sekaligus ingin dilupakan.

Intimacy: Homage to Hometown and Untitled Memory (Kepada Kampung Halaman dan Ingatan Tak Bernama) adalah gabungan pameran foto dan puisi kolaborasi dari Dalih Sembiring dan Dina Oktaviani. Foto-foto Dalih adalah refleksi keintiman yang dirasakannya pada kota-kota dimana ia tumbuh: Binjai, Dili dan Yogyakarta. Puisi-puisi Dina adalah respons eksperimental yang dilakukannya terhadap foto-foto Dalih. Ide awal pembacaan puisi di pameran berubah menjadi puisi yang turut menyertai foto-foto yang dipamerkan.

Foto-foto Dalih mengandung kualitas sudut pandang personal yang kuat memikat. Baginya memotret ulang ingatannya akan kota-kota dimana ia dibesarkan merupakan bagian dari pendewasaan dirinya. Bagian dari dirinya untuk berdamai dengan masa lalu. Bahwa realitas kekinian dalam setiap kota bukan lagi menjadi momok, seperti dalam fotonya “Till Death Do Us Together” (Sampai Maut Menyatukan Kita) yang diambilnya di pemakaman Santa Cruz. Foto ini menampilkan warna-warna ceria, kontras dengan imaji mengenai kematian dan sejarah kekerasan di balik tempat tersebut. Foto-fotonya tentang Dili cenderung mengandung mekarnya harapan dan tawa seperti dalam “Shy Girls” (Dua Gadis Pemalu), yang diambilnya di Bairro Pite, desa dimana ia pernah tinggal. Perubahan persepsinya tentang Dili di masa lalu dan masa sekarang berubah ketika orang-orang di Dili menyambutnya dengan sangat baik dalam kunjungannya yang terakhir. Perubahan ini tertangkap sepenuhnya dengan rasa penuh harapan dari balik kameranya.

Lain lagi dengan potretnya mengenai Binjai, kota kelahirannya. Disini Dalih mengenangnya dalam pilihan yang pekat akan masa lalu, semuanya hitam putih. Baginya kota Binjai masih memiliki jejak yang serupa mimpi dan ingatannya mengenai masa kecil. Foto-foto Binjai menampilkan refleksi kota yang terperangkap di masa lalu. Cenderung sepi dan diam. Seolah menangkap hantu masa lalu yang tak menakutkan malah cenderung melankolik.

Yogyakarta adalah kota dimana akhirnya Dalih bermukim. Atmosfir dalam foto-foto cenderung sangat kontemporer sekaligus sangat intim. Orang-orang yang menjadi objek fotonya adalah orang-orang yang dikenalnya dengan baik. Persingunggan-persinggungan ini telah mengajarkannya keintiman yang lebih rumit dan mendalam di antara persahabatan juga percintaan. Warna Yogyakarta yang amat personal baginya.

Dina merespon jiwa-jiwa yang lahir dalam foto Dalih. Proses ini turut menstimulasi lahirnya dua belas puisi Dina. Semuanya ditulis tangan dan terbingkai menyertai setiap foto. Baginya tema-tema dalam foto-foto Dalih sejalan dengan apa yang selama ini dieksplorasinya. Tema-tema yang belum selesai: jejak kampung halaman, masa kecil, masa lalu. Kedekatan mereka sebagai sahabat membuat Dina tidak sepenuhnya menjadi orang asing dalam menanggapi foto-foto Dalih. Dina pun terlibat menjadi salah satu jejak perjalanan Dalih ketika mereka berdua melakukan perjalanan ke Dili.

Dalam proses penulisan puisinya, Dina merasa menjadi lebih sadar dan lebih utuh ketika mengekplorasi kembali tema-tema yang juga dekat dengannya. Foto-foto Dalih dijadikannya kawan sekaligus lawan dalam proses kreatif penciptaannya. Proses evolutif yang terjadi di antara keduanya dalam proses pameran ini menjadikan pameran ini terasa unik dan menyegarkan dari sekian jenis pameran yang selalu mewarnai belantara kota Yogyakarta.

Puisi-puisi Dina seluruhnya ditulis dalam bahasa Inggris. Rekaman puisinya dijadikan latar suara yang menggetarkan dalam pameran ini. Reni, seorang pengunjung di hari pembukaan pameran, mengomentari dengan takjub efek dari puisi yang terlibat dalam pameran. Baginya yang terbiasa mendatangi berbagai jenis pameran di Yogyakarta, ia menemukan kebaruan dalam kolaborasi pameran ini. Kekuatan, kejujuran dan kedekatan yang ditampilkan baik dalam foto dan puisi membangun ruang keintimannya sendiri dengan para pengunjung.

Toni Tack seorang arkeolog senior dari Inggris dan pemilik Sangam House Jean-Pascal Elbaz, yang turut membuka pameran ini, sama-sama menegaskan betapa menggembirakan dan menyegarkannya melihat kolaborasi menarik dari generasi muda dimana mereka bisa merelasikan rasa keintiman yang menembus batas dan sekat-sekat budaya, etnis, negara dan bahkan waktu.

Dalih Sembiring yang juga berlatar belakang sebagai penulis bersama penyair Dina Oktaviani menampilkan kualitas karya yang mewakili sikap generasi mereka. Generasi kelahiran 80-an yang tak lagi terbebani dengan masa lalu melainkan mencoba menyikapi persoalan kehidupan dengan lebih enteng tanpa kehilangan kualitas kedalaman di saat yang sama. Mereka pun bergerak bebas menembus batas-batas kultural dan menjadi bagian dari dunia kreatif global. Mereka tetap dengan sadar mewakili dari mana mereka berasal dan menggali inspirasi dari ‘kampung halaman’, membungkusnya dan menampilkannya dengan memukau kepada dunia. Dalam prosesnya Intimacy berhasil menyampaikan rasa keintiman yang universal dan menyentuh siapapun yang datang ke dalam pameran ini.

Pameran foto dan puisi Intimacy berlangsung dari tanggal 30 Juni 2011 hingga 16 Juli 2011, di Sangam House (Restoran India, Butik, Ruang Seni dan Studio Yoga), Yogyakarta.

Dimuat di Suara Merdeka, Edisi Minggu, 10 Juli 2011