Di bulan Juni, hujan terlihat sedih sekaligus hangat. Rintikannya membawa pergi cuaca panas dari darat. Seolah membawa segala kesedihan yang begitu berat tenggelam ke arah Barat. Ia selaku mantel hujan yang kita benci di cuaca panas, namun menjadi teramat penting ketika hujan datang menerpa dengan sungguh tiba-tiba. Dan pada bulan Juni sepanas inilah, aku harus membawa mantel hujanku kemana-mana.
Sama seperti di sore yang lain di bulan Juni ini, aku meratapi aliran air yang bergerak di jendela kafe. Aku masih memesan es kopi Vietnam dengan memori cuaca musim panas yang terserap di dalam tubuhku sebelum memasuki kafe ini. Lalu hujan sialan datang, mencegahku untuk pergi lebih jauh, beranjak jauh dari memori di jendela kafe yang sama di enam bulan yang lalu, ketika musim benar-benar hujan.
Enam bulan yang lalu, di kafe yang sama dan curah hujan yang sama ada seseorang di depanku yang berkata dengan nada tidak menentu. Kubiarkan begitu saja. Di nada terakhirnya yang menekan, aku masih tidak mendengarnya. Ia pergi dengan curahan air melingkupi wajahnya sehingga aku tidak dapat membedakan yang mana air hujan dan air mata dari kedua matanya yang tajam. Seperti es yang mencair di kopi Vietnamku yang hangat. Sebuah fragmen peristiwa yang tidak pernah benar-benar kuingat. Tidak pernah. Selama enam bulan terakhir.
Pengkhianatan dimulai dari memori-memori yang rapuh, serapuh diriku. Di tengah-tengah hujan bulan Juni yang kentara, aku tidak pernah mengingat siapa seseorang yang didepanku berkata tidak menentu dan meninggalkan ingatanku dengan sepenggal pasang mata yang tajam.
“Ada pesanan tambahan, Tuan?”
Sekerjap aku seperti terbangun di hadapan meja kayu hitam kafe ini, aku menggelengkan kepala dan berkata terimakasih. Aku mengambil sebuah buku dari rak kayu di belakangku, judulnya membuatku terjaga “Peziarah-peziarah Aneh”, serupa aku. Seseorang yang terjebak di dalam dunia modern dan berziarah dari kafe ke kafe, untuk mencoba tetap mengingat sebuah fragmen peristiwa yang tidak pernah benar-benar kuingat.
Aku terbangun pagi ini di tengah-tengah cuaca pagi yang panas, menemukan seprai kasurku yang basah oleh keringat dan wajahku yang semakin menua di depan cermin. Aku tidak pernah bisa menjelaskan apa-apa yang dilakukan waktu pada tubuhku. Aku mengambil segelas air di dapur, meminumnya dan melihat pada sekeliling kamarku yang lenggang hilang akan sesuatu. Aku mencoba menghitung memori yang terkais dari hari sebelumnya, menambahkannya dalam kepalaku.
Seperti ritual pagiku yang biasa, aku segera mengambil handukku dan menyalakan pancuran air. Di tengah-tengah timbunan air yang jatuh di atas tubuhku, aku mengejang, merasakan urat-urat di kepalaku memberontak serupa jalinan sekumpulan ular liar yang hendak keluar dari otakku. Aku berdegup kencang, mencoba menenangkan diri dengan tidak melibatkan bagian kepalaku di bawah hujaman air. Hal itu membuatku merasa lebih baik dan melanjutkan ritual mandiku seperti biasanya.
Hari sudah siang ketika aku keluar melangkahkan kakiku ke jalan. Perutku memprotesku sepanjang jalan yang kulalui. Aliran darahku membutuhkan kaffein. Kafe dengan atap biru dan jendela besar di tepi jalan, serta siang yang panas terlihat seperti ruang berteduh yang indah. Dari panas dan juga dari hujan di lima belas menit berikutnya.
Sandwich tuna yang kupesan datang menyusul segelas es kopi Vietnam kesukaanku. Aku makan dengan diam, membalikkan lembaran-lembaran buku berjudul “Peziarah-peziarah Aneh” tanpa benar-benar membacanya. Di jam-jam seperti ini aku seperti menunggu sesuatu untuk terjadi.
Aku kehilangan kepercayaan diriku sejak enam bulan yang lalu. Aku mengira aku adalah seorang penulis yang berbakat sejak karya novel pertamaku diterbitkan oleh penerbit terbesar di negara ini dan laku teramat keras. Aku pun tidak pernah menyangka, bahwa sampai detik ini, di surat yang kutemukan di kotak posku hari ini, penerbit menyebutkan angka mendekati 40.000 eksemplar. Mereka melayangkan cek untuk aku uangkan, yang masih terselip rapat di dompetku. Namun selama enam bulan terakhir, aku kehilangan kepercayaan diriku bahkan untuk mengangkat pena. Atas satu fragmen peristiwa yang membuatku selalu gelisah, yang membuatku tidak pernah benar-benar mengingatnya. Aku adalah seseorang yang begitu mempercayai ingatanku sendiri dan saat ini aku begitu kecewa dengan memori yang mengkhianatiku begitu rupa.
Di hujan bulan Juni yang laknat ini, seolah-olah rintikan hujan mentertawaiku. Mentertawai ingatanku yang melemah dan kemampuanku yang menghilang untuk menuliskan yang kuingat. Roti sandwich tuna di tanganku sudah hampir habis, aku memesan segelas air untuk menghilangkan rasa amis ikan di mulutku. Segelas air datang ke mejaku diiringi deru hujan yang semakin deras di luar jendela. Aku sejenak mengigil sambil menyeruput es kopi Vietnamku yang tidak lagi dingin.
Bel dari pintu kafe yang terbuka berbunyi manis, mengantarkan seseorang perempuan dengan jaket ungunya masuk ke dalam. Rambutnya yang sebahu terlihat basah, jaket ungunya ia keringkan di sandaran kursi kayu. Ia meminta menu, sambil mengelap wajahnya dengan tissue. Aku mengalami semacam de javu. Perempuan yang kebasahan oleh hujan, melepas jaketnya dan duduk di situ. Di meja seberangku.
Aku mengamati detail perempuan itu dengan tatapanku yang nyaris tidak sopan. Aku terpana akan detail gerakannya ketika mencoba mengeringkan dirinya atas hujan yang membasahi dirinya. Letak rambutnya, letak kemeja dan celana panjangnya, juga sepasang sandal yang juga ungu dilepaskannya untuk kering, menaruh kedua kakinya di sela-sela kayu penyangga meja bagian bawah. Lalu letak duduk posisinya yang berubah setiap lima menit, menunjukkan suatu kegelisahan yang mirip denganku. Menunggu akan sesuatu. Mungkin dariku.
Namun dugaanku salah, tepat pada menit ketika aku hendak menghampirinya setelah ia berganti posisi duduknya selama tiga kali, pintu kafe kembali terbuka. Seorang laki-laki dengan jaket coklat tua masuk ke kafe, menoleh ke arah si Jaket Ungu dengan ramah. Si Jaket Ungu tersenyum menyambutnya. Terlihat cukup jelas dari pandangan kedua orang itu bahwa mereka sepasang kekasih. Aku menarik nafasku, mencoba melanjutkan bacaanku tanpa benar-benar membacanya dan sesekali mencuri dengar pembicaraan sepasang kekasih itu.
Sudah lima belas menit lagi terlewati sejak mereka berdua duduk diseberangku, halaman yang kulewati sudah mencapai angka delapan puluhan. Aku sejenak menatap lagi hujan di luar jendela, ada sesuatu dari detail pemandangan itu yang menganggu. Lalu aku mendengar suara serak dari meja seberang, lirih dan aku tidak dapat menangkapnya. Kulihat wajah si Jaket Ungu sedikit memerah dan matanya berkaca-kaca, aku kehilangan alur pembicaraan mereka bahkan lupa akan segala yang mereka bicarakan sebelumnya. Aku merasakan bahwa aku tengah menunggu mengulang sesuatu. Namun yang datang hanya kediaman sepasang kekasih itu untuk yang waktu yang lama. Membuatku merasa setidak nyaman mereka.
Si Jaket Coklat Tua tiba-tiba berdiri dari kursinya, seolah-olah membereskan segala sesuatu dan mencari dompetnya yang seketika juga membuyarkan penantianku. Si Jaket Ungu terlihat gelisah, dengan tergesa memakai sandal ungunya yang masih setengah basah. Si Jaket Coklat Tua meminta tagihan pada pelayan dan si Jaket Ungu mengigit bibir atasnya seperti sedang menahan sesuatu.
“Baiklah, biar aku yang pergi jauh dari sini.” si Jaket Ungu mengeluarkan sesuatu yang dipendamnya itu dengan nada menekan dan membuatku tertegun. Membuat si Jaket Coklat Tua tertegun.
Aku melihat si Jaket Ungu berdiri tepat di luar jendela di hadapanku. Di tengah-tengah hujan, tidak ada yang lebih indah dan cantik daripada seorang perempuan yang kebasahan. Aku masih tertegun, setelah dua menit aku tergeragap. Si Jaket Ungu dengan nekatnya menerobos kendaraan yang lalu lalang di tengah-tengah hujan itu. Aku ingat, aku pernah melihatnya. Pernah melihat ini semua, enam bulan yang lalu.
Aku segera beranjak dari kursiku, segera keluar dari kafe, menerobos hujan dan lalu lalang kendaraan. Kutarik tangan si Jaket Ungu dan dengan paksa menyeretnya kembali ke trotoar. Aku melupakan si Jaket Coklat Tua yang muncul dengan tiba-tiba di luar pintu kafe. Si Jaket Ungu lari ke arah pelukannya dan terisak tidak lama setelah mengumpatku:
“Apa urusanmu?”
Apa urusanku? Ingatankulah yang berurusan denganku. Enam bulan yang lalu, bukan si Jaket Ungu yang berdiri disitu, namun perempuan dengan jaket oranye yang menyolok. Berjalan dengan kenekatan yang sama menerobos lalu lalang kendaraan di saat hujan yang seperti ini. Dan dia mati, tertabrak mobil berwarna gelap. Aku hanya bisa berdiri melihatnya dibatasi jendela kafe. Dia, mereka, kekasihku dan bakal anakku di perutnya.
***
Sekerjap aku seperti terbangun di hadapan meja kayu hitam kafe ini, aku menggelengkan kepala dan berkata terimakasih. Aku mengambil sebuah buku dari rak kayu di belakangku, judulnya membuatku terjaga “Peziarah-peziarah Aneh”, serupa aku. Seseorang yang terjebak di dalam dunia modern dan berziarah dari kafe ke kafe, untuk mencoba tetap mengingat sebuah fragmen peristiwa yang masih tidak pernah benar-benar kuingat.
Rumah Banteng – Jakarta – Bogor
Juni 2005