Aku menitipkan kegelapan dalam dunia kata-kata. Ketika seringkali aku mencoba membeli beberapa cangkir atau piring yang sepasang-sepasang, aku kerap menahan diriku akan harapan. Aku terbiasa menahan nafas sebelum memutuskan segala sesuatu. Dunia di dalamku berombak tajam akhir-akhir ini. Tsunami-tsunami kecil yang tak tertahan, mendobrak tembok-tembok perasaaanku. Kecemasan yang tak berujung. Kekhawatiran yang tak ada alasan. Aku terbiasa bernafas dalam tenggelam, hingga insang tumbuh pada leherku. Namun seperti bisa ular, terkadang bisa penuh racun itu naik sampai ujung lidahku yang kucoba tutup erat-erat.
Sudah nyaris tiga bulan penuh, di sekian pagi aku mencoba menatap ke arah gunung berapi. Terkadang ia meletus, meluapkan asapnya. Sudah beberapa kali sekian bulan terakhir. Kadang aku bersepakat seharusnya mereka menamai gunung-gunung ini dengan nama perempuan. Karena emosi yang terkandung di perutku seperti lahar-lahar yang menunggu dikeluarkan. Emosi itu sungguh perempuan.
Jika aku tengah mencari akar dari kecemasan-kecemasan, aku melihat orang-orang tua berlalu di mataku. Berjatuhan bagai bencana-bencana yang telah berlalu dan telah terlewati sekian tahun belakangan. Ingatan-ingatan itu menyeruak masuk, bau rumah sakit seolah menyekat tenggorokanku hingga tak ada kata keluar dari mulutku. Bau alkohol yang tajam. Darah yang berceceran. Semua jenis kotoran. Semua dan segala kelemahan. Semua rasa sakit. Semua emosi yang tumpah di lorong-lorongnya. Semua ketidakmampuan. Semua ketidakberdayaan.
Aku melalui pagi-pagi di Yogyakarta di atas motorku. Terjerembab menghadapi kemacetan senja. Aku sudah tak terbiasa menghadapi begitu banyak orang. Membayangkan perjalanan panjang tiba-tiba tak lagi terpikir dalam ingatanku. Tidak bergerak dari kota ini seolah menjadi biasa saja. Aku bahkan tak terbayang untuk mengunjungi siapa-siapa. Pergerakanku akhir-akhir ini terlalu banyak ke dalam, menyelusuri lorong-lorong yang gelap akan ingatan. Terbangun dalam mimpi-mimpi bawah sadar yang tak disengaja. Berada dalam tempat-tempat yang tak kuinginkan walau terpaksa, walau semua perjalanan itu kulakukan dari ruang kamarku belaka. Pandemi ini bagai penjara yang membuatmu nyaman melingkar dalam kegelapanmu sendiri. Ruang-ruang menjadi mampat. Virus itu tak hanya bergerak pada ruang udara, namun juga pada ruang gerak hidupmu yang biasa. Merubah kebiasaan dan kebutuhan-kebutuhanmu hingga dirimu membatasi diri untuk hanya berkompromi.
Aku tak ingat lagi bagaimana melawan dan ini berbahaya. Sedangkan di bagian-bagian dunia yang lain tengah bergejolak. Orang-orang mati ditembak di jalan-jalan. Semua tatanan sosial berubah panjang dan terekam dalam layar-layar. Cerita-cerita gelap, film-film yang bagai mimpi buruk, mengalir begitu saja dalam sekian tombol akses. Begitu mudahnya melarikan diri dari kenyataan akhir-akhir ini. Seringkali semua film sains fiksi itu berubah menjadi kenyataan di dunia yang sekarang. Aku merasa membelah diriku menjadi sekian kepribadian. Berada di ruang yang berbeda-beda dalam sepersekian detik dari terlalu banyak pilihan. Namun lagi, aku tak ingat lagi bagaimana melawan dan ini berbahaya.
Jika kegelapan mewujud bagai kata-kata, kegelapan merawatku di kota ini bagai malam yang tak berbintang. Aku mencari sekian kerlip di angkasa dan tak jua menemukannya. Seolah ada sesuatu yang tak terlihat mencoba menenggelamkanku kembali ke dalam lumpur ingatan. Kegelapan tak hanya berhenti di sana, ia juga melahap janji demi janji. Yang semakin jauh untuk digapai. Seolah selalu ada satu tarikan nafas panjang yang harus kuhembuskan untuk mencapainya dan seperti Sisifus, hal-hal itu tak juga tiba. Bola-bola kesabaran yang disarankan semakin besar, bergulir entah di jurang yang mana.
Aku tak tahu apakah jika kegelapan kutitipkan, aku akan menemukan harapan.