Mia dan Aku*

:Mia Bustam

Mia hidup jauh sebelum aku. Jelas kami tidak saling mengenal. Kurasa satu dekade lalu aku sepintas membaca tulisan-tulisannya di bukunya yang lain. Namun aku merasa tak ada yang sepersonal catatannya akan Sudjojono dan dirinya. Ah, cinta. Betapa dekatnya kau dengan nadi kehidupan manusia. Dirimu akan mengenal jelas seseorang ketika ia sedang jatuh cinta. Atau dirimu akan kehilangan total pemahaman akan dirinya juga ketika sedang jatuh cinta.

Namun mengapa kita selalu mempunyai kata-kata itu, Mia? Jatuh cinta. Mengapa tidak tumbuh dalam cinta? Seperti yang terjadi padamu dan Sudjojono di suatu ketika. Begitu takutnya kita, manusia akan layu? Akan kematian? Akan ketidakabadian? Apakah karena kesadaran itukah kita, enggan menyebut sesuatu yang tumbuh. Karena seperti hidup kita mengetahui semua akan ada kata akhir.

Mia, Jakarta seceria halaman-halaman bab awalmu. Semanis senyum Sudjojono di suatu waktu. Mia, itulah aroma kemudaan. Aroma kebaruan akan segalanya. Bahkan perjuangan. Seni dan peperangan. Semua peran yang kau ambil Mia, berada di belakang dapur dan panggung. Namun semua peran itu sebegitu pentingnya. Dan pada akhirnya kaulah yang akan menemukan dirimu lagi, justru di masa dirimu paling kehilangan.

Di jernih matamu, bahkan hingga sembilan puluh tahun, aku yang tak menemuimu bahkan merasakan betapa kuatnya hidup di seluruh aliran darahmu. Bagi kita, yang orang Jawa, witing tresno jalaran soko kulino, cinta itu karena terbiasa. Apakah karena cinta itu dimulai dengan apa yang biasa-biasa saja?

Dengan merasakan kesederhanaan berbagi secobek sambal, nasi hangat dan pete mentah di sebuah dapur yang juga sedang kurasakan? Apakah sesederhana itukah kebahagiaan, Mia?

Aku yang anak milenial jaman ini tak bisa membayangkan. Delapan anak. Istilahnya sekarang dirimu, ibu tunggal. Aku yang satu anak saja begitu kewalahan. Belum lagi dirimu yang ditangkap dan dipenjarakan hampir empat belas tahun lamanya tanpa pengadilan. Dirimu yang ditinggalkan dengan mereka dan lalu dipisahkan oleh negara. Bagaimana rasanya perasaanmu ketika itu, bagai tubuh yang seluruh jiwa raganya ditarik paksa. Bagaimana dirimu kembali, Mia? Menjadi Mia. Ya, Mia Bustam.

Ah, betapa panjangnya perjalanan. Hanya sekian bab kau paparkan dalam sekian halaman ini. Betapa menegangkannya perasaan. Betapa hidupnya dirimu dalam sekian jaman dan jaman. Betapa akhirnya dirimu abadi dalam tulisan, Mia. Dalam lirik mata.

Aku bisa memahami ketakutan Rose akanmu, Mia. Kau, Mianya seorang Sudjojono di suatu waktu. Dan mungkin saja di lubuk hatinya yang terdalam, dirimu masih bersemayam. Begitu kuatnya cinta. Begitu membekasnya. Baik dalam derita dan luka. Baik dalam bahagia dan suka.

Aku masih kehilangan kata-kata dalam memahami betapa tegarnya dirimu, Mia. Betapa berlikunya hidup bagai ombak yang tak juga temaram. Mungkin dalam mencoba mengantar kata-katamu kemudian, diriku pun akan turut paham. Betapa manusia dengan segala cobaan, bagai sepotong bambu mengakar kuat yang tak juga terpatahkan akan berbagai macam angin kehidupan.

C’est la vie. Ya, beginilah hidup, Mia. Beginilah.

 

Amritsar, 22 Oktober 2019

 

*catatan awal proses penerjemahan naskah Mia Bustam, Sudjojono dan Aku

 

Navratri

: Amritsar

Siapa yang bisa membayangkan, jika ketibaan itu tepat di sembilan hari pemujaan untuk Dewi Durga. O, yang menguasai malam kegelapan. O, yang menguasai kematian. Telah lama makam-makam kutinggalkan. Telah lama kegelapan itu pekat mewarnai kehidupan.

Lalu akhirnya di banyak pagi yang tiba, kuil emas menyongsong dan memancarkan cahayanya ke seluruh penjuru. Di hari kesekian aku melihat Bapakku dan kepadanyalah aku menuliskan surat demi surat.

Di Kuil itu, aku meminta pertolongan segala Dewa Dewi yang menjagaku. Yang selalu bersamaku. Udara pasar berubah di hari-hari tertentu. Bau chai di Hall Bazaar mengundangku ke beberapa pintu. Di sekian pintu yang terketuk dan terbuka, jodoh-jodoh karma mulai dibuka. Transaksi mulai dilakukan. Suara tawa riuh. Segalanya mulai bertukaran. Inilah jalur sutra tua itu lagi. Ingatan-ingatan pasar dan persahabatan yang kentara.

India selalu membuat kepulangan terasa haru. Ketika langit sudahlah atap dan bumi adalah rumah yang luas. Beginilah, segera genderang benderang dibunyikan. Semua alat musik tiup dibunyikan. Dan Sarangi mengiringi hari-hari. Lalu puja puji pada segala yang agung, pada yang segala suci, tersujud di lantai setiap kuil dan setiap pojokan kota ini.

Lawa dan Kusha, para putra Sita seolah mengiringi. Sekian episode Ramayana melewati semua perenunganku sekian hari belakangan. Di dapur Sita aku bersujud pada perapian. Di dapur Sita aku mengikatkan janjiku padamu dan anak-anak yang akan lahir ke depan. Di tengah badai pasir hari itu, entah mengapa, segalanya menuju kepadamu.

Dewa Dewi, malam ini kau mengucap, di masa penghujung Navratri. Menetapkan akhir dari segala yang gelap. Menetapkan kemenangan akan yang terang di antara kita yang tumbuh kembang.

Dalam satu nafas, satu tarikan. Disinilah kita akan tumbuh mengembang dan bagai pohon Buda di Kuil Emas, seperti itulah kokohnya cinta yang akan tumbuh, menaungi segala. Menaungi cinta dan cahaya.

Amritsar, 10.10.2019