Setelah Dua Belas Tahun

Malam Purnama Libra, Yang Kedua

: surat kecil untuk a.s.r., setelah sekian lama

Berapa lama sebenarnya sebuah siklus itu berjalan? Sebuah lingkaran yang genap berputar. Memutari takdir dan membawaku ke depanmu. Menurut para leluhurku yang menjelajah sekian gunung dan lautan: dua belas tahun lamanya. Menurut realitasku setelah mendaki sekian gunung dan menenggelamkan kepalaku di sekian lautan dan sungai: dua belas tahun lamanya. Bilangan yang nyaris tiga belas, yang tak kuasa kusebut sebagai kesialan atau peruntungan. Aku menengok bulan purnama di atas kepala, mencari dimana letak Jupiter saat ini. Jika ilmu perbintangan disebut ilmu nujum, di mataku sekarang, letak dunia setua letak semesta.

Anakku akan genap sebelas tahun di bulan ketujuh. Ketika ada yang mati, ada juga yang lahir. Takdir merunut jeda yang pendek antara anakku dan ibuku, keduanya lahir di bawah pengaruh bulan dan rasi Cancer. Sudah hampir tiga belas tahun aku memperjuangkan akan apa yang hidup, ketika sebagian diriku mati bersama ibuku. Berapa banyak sebenarnya yang sudah kukubur, ketika jasad ibuku genap menyatu dengan tanah? Apakah dirimu berdiri disana, memegang bahuku? Berapa banyak sudah sebenarnya air mataku di dadamu kala itu? Aku tak kuasa lagi mengingat, kata-kata yang kuingat hanyalah: tegarlah! Aku bak seekor laba-laba yang kehilangan pusat sarang dan kehilangan cara memintal benang. Dalam kekacauan sarangku, aku tak berkeinginan untuk menjeratmu. Aku yang tanpa benang.  Namun aku mengingatmu dalam lintasan percakapan rumah duka, berseliweran bersama orang yang datang dan pergi. Bahkan ada keributan dan kecelakaan. Aku tak mengingat bagaimana perasaanku. Ada sesuatu dalam ingatanku yang sedang kugali kembali. Hanya kali ini, penggali kubur itu adalah diriku sendiri.

Dimanakah kita berakhir dan dimanakah kita bermula? Ada jejak-jejak tulisan yang tercatat, ada puisi-puisi yang tercetak dan tercecer di dalam boks plastik berdebu di rumahku. Waktu menjadi relatif dalam ingatanku. Apakah genap perasaanku padamu terkubur bersama kesedihan yang tak terungkapkan akan ibuku? Akan anakku yang lain? Apakah genap perasaanku padamu kukubur di menit aku tak lagi kuasa mengungkapkan yang tersisa padaku? Jika waktu itu memang ada yang tersisa padaku.

Berapa banyak pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa kujawab kala itu:

Apakah aku akan sanggup untuk tetap mencintaimu ketika makna cinta yang tak terucap adalah kehilangan dan demi kehilangan yang tak tertanggulangi dari dalamku?

Apakah segala beban di pundakku waktu itu sengaja kupanggul sendirian dan sengaja membiarkanmu pergi?

Apakah aku sengaja menyakitimu hingga tak lagi ada jalan pulang di antara kita?

Apakah aku sengaja membakar jembatan itu agar jurang di dalam diri kita semakin dalam? Hingga kau tak kubiarkan menengok ke belakang dan tak kubiarkan diriku mengingat apa yang menjadi dasar cinta kita waktu itu: kepolosan.

Waktu adalah kecelakaan yang tak berujung. Waktu adalah yang seringkali menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tak lagi terlontarkan di antara kita. Setelah dua belas tahun. Namun dalam jeda kata, tarikan nafas dan gerak tubuhmu, sesuatu dari dalamku tiba-tiba berduka. Membuka luka yang tak perlu.

Tangisku datang tak diundang pagi itu, di bawah gelimangan air Jakarta. Seperti bah dan badai yang tiba-tiba, menyeruak entah dari mana. Aku menarikan jiwaku bersama sekian perempuan hari itu,  namun sudah lama kutarikan gelombang ini yang mengantar semua perasaanku kepadamu. Aku menangisimu sepanjang Jakarta sampai Bandung, menangisi duka-duka yang tak selesai pada waktu itu.

Aku mencari sukacita dalam memori-memori yang tercatat. Aku mencatat semua itu di suatu waktu, kotak pandora itu masih tersimpan. Aku tahu di sana ada bahagia. Di tahun-tahun genting dan penuh bencana itu. Ada tsunami di dalam kamarmu. Ada gempa di langit kamar kita waktu itu. Apakah cinta datang bersama bencana? Ataukah bencana waktu itu memupuk cinta kita untuk tumbuh? Selang dua tahun dari bencana dimana kita tumbuh, bencana di hatiku memaksaku bertingkah seperti malaikat pencabut nyawa. Mencabutmu jauh-jauh dari hidupku.  Menguburmu bersama catatan kehilangan demi kehilangan. Menambahnya ke dalam daftar luka. Menyimpannya jauh-jauh di pojokan yang tak juga kusentuh. Hingga malam-malam belakangan.

Sekarang aku mengingatmu, di dalam bencana, cinta kita tumbuh dengan perlahan. Ada persahabatan di sana. Begitu banyak malam yang penuh cerita. Begitu banyak malam yang mesra. Dan yang mengebu. Juga malam-malam yang pelan seperti lagu-lagu jazz Norah Jones yang selalu kau putar sebelum kita tertidur berdua. Kita memang saling menyukai. Kita tak selalu sependapat. Aku yang selalu memiliki api yang memberontak. Dirimu yang rasional namun selalu ingin melindungi. Mungkin kau memang mencium sekian marabahaya selalu mendekati hidupku. Mengendap perlahan dan penuh luka. Mungkin aku memang mencium sekian peristiwa akan datang dan diam-diam aku bersepakat untuk menjalaninya sendirian. Tidak ingin melibatkanmu dalam kekacauan.

Di akhir itu semua, diriku dua puluh tiga tahun dan dirimu dua puluh enam tahun. Kita bisa apa, ketika tsunami besarku tak kunjung lewat. Tak ada pelampung di masa genting itu. Selain kau yang harus berjalan menuju daratan. Selain aku yang harus belajar berenang dalam tenggelam, ombak demi ombak, hingga insang-insang tumbuh di leherku.

Sekarang perasaanku datang seperti lautan. Semua cinta yang kupendam seolah datang lagi dalam sekian tsunami perasaan-perasaan yang sedang kuolah sendiri. Aku ingat kita selalu sering bertukar kata. Aku selalu personal. Dan dirimu selalu rasional. Tidak mengapa sekarang. Hati dan pikiran sudah seharusnya sejalan. Yang feminin dan yang maskulin, saling membutuhkan di dalam dunia yang sekacau sekarang. Sekian perjalanan mengajarkanku demikian. Sekian kematian membuatku mencari peganganku sendiri. Membangun pulau dari tanah-tanah yang kurekatkan sendiri, menanamkan pohon kelapa dan menumbuhkan buah-buahnya bak Dewi Sri. Seperti legenda Nyai Pohaci, yang kutemukan dalam jejak tanah leluhur sekian bulan kemarin.

Selama dua belas tahun aku mencari akar demi akar akan diri, satu akar kutemukan lagi. Di suatu waktu aku percaya, di sana ada suka cita. Di tengah gempa dan sekian tsunami. Di dadamu yang ringkih, aku berpulang. Di keruh matamu kini, aku pernah mengecap rumah. Di mataku kini, kubiarkan apa yang harus mengalir untuk teurai, mengalir. Mungkin menujumu, mungkin menuju hidup yang tak kunjung selesai, selain perasaan-perasaan yang sejalan dengan kata hati yang terbuka.

Yogyakarta, 19 April 2019