percakapan di gurun-gurun
:sakyathara

bahkan
pada saatnya sekarang
aku masih berada di gurun-gurun sepi
yang tanpamu

kemanapun aku menengok
badai pasir menerpa kelopak mataku
dengan lembut

dan mataku terkadang masih pedas
perih
dan merah

menangisi dirimu masih setelah sekian ribu tahun

aku selalu sedang
membayar karmaku
perlahan

dalam puasa
dalam diri
bahkan guratan pisau
pada nadi

kuhela nafasku
dan badai pasir masih mengelilingku

sepertinya bumi telah berbisik:
ia akan datang di suatu saat yang entah, namun pasti

aku masih berdiri
dalam posisi mudra
menunggumu
hingga kuselesaikan
karma ini

long suicidal talk

it was that vague pain in memories that i have to deal with
it is no either, myself
that i had cried for
scream for
kill for

i had vanished in the eyes of the buddha
ganesha gave me a padma
and how the buddha put me inside the lotus

i had been washed
by some tears and blood
my bloody own

i had search till the journey end in this world

just to be compassionate
to the being
to myself

Kalamarica,
sebuah dongeng antah berantah

:kuswidiantoro

Kalamarica, aku telah mencarimu sekian lama. Entah ribuan bukit telah kudaki dan dua per tiga bagian tanah Jawa telah kutapaki. Aku mencarimu kemana-mana. Semula aku mencari jejak ayahku, yang telah pergi dengan tiba-tiba. Memijat dan memilin keris-keris dengan jempol dan jari telunjukku sebagaimana ayahku telah mengajariku. Membagikannya pada orang-orang yang telah membantuku di perjalanan. Menusukkannya pada orang-orang yang mengancam di perjalananku. Sudah empat puluh dua buah, dua puluh di antaranya bersimbah darah, semenjak kita bertemu. Kurasa diriku sudah di penghujung pencarianku.

Seandainya malam itu kau tidak pergi. Aku tidak akan berteriak-teriak sampai begini di dalam hati, sepanjang perjalananku. Sudah berapa kali rasanya aku ingin menusukkan keris yang selesai kubuat ke dalam dadaku sendiri. Begitu perih, sayang. Mencarimu seperti ini, setelah malam itu kau lipat kain subangku dan kau selipkan kerismu di antaranya, untukku. Bunga melati yang semula di sanggulku pun tersebar di peraduan. Aku terbangun pagi itu dengan aroma melati dan tidak menemukanmu. Mengapa padepokan kau tinggalkan hanya karena diriku dan dirimu telah bersatu padu?

Apakah aku salah, telah mencintaimu sehingga kau harus pergi dan tidak kembali?

Kalamarica, aku telah mencarimu sekian lama. Hingga kainku nyaris compang camping dan jariku nyaris kebal dari rasa ketika memilin keris untuk membunuh waktu. Airmataku telah kering dan dadaku hampa. Mengapa dewa tidak segera saja membunuhku, karena deraku melebihi dera api Siwa. Duniaku telah hancur jauh-jauh hari dan tidak kembali.

Aku telah memamah hatiku hingga tiada tersisa, Kalamarica, hidupku saat ini tersisa hanya untuk bertemu denganmu. Sekali lagi saja. Biarlah setelah itu aku terlahir kembali dan karmaku di kehidupan ini selesai sudah. Dirimu, Kalamarica adalah karma yang terlahir untuk kupanggul dan membuatku harus berjalan sepanjang hidupku hanya untuk menemukanmu kemudian mencarimu kembali. Sungguh sia-sia. Namun ini adalah jalan yang telah kupilih dan kujalani. Jika tidak sudah jauh-jauh hari keempat puluh dua kerisku menancap di tubuhku, walaupun semuanya telah menancapi hatiku sedemikian rupa.

Ah, Kalamarica, rasaku telah hampir padam namun cinta telah membuatku terbakar begitu lama. Karena cinta begini, entah apa yang tersisa dari diriku selain hatiku yang sudah serupa pasir rapuh terinjak-injak. Aku bertemu dirimu, terasa baru kemarin, terasa sudah berabad-abad lamanya, ketika usiaku baru menginjak delapan belas tahun dan baru dua tahun sejak ayahku pergi meninggalkanku sehingga aku memulai perjalananku. Aku bahkan belum berani untuk benar-benar membuat keris, karena ayah berpesan sebelum ia benar-benar pergi:

“Putriku tersayang, kenalilah cinta sebelum kau membuat sesuatu. Rasakanlah dan jatuhlah ke dalamnya, hingga kau merasakan apa yang namanya benar-benar hidup dan benar-benar mati.”

Di padepokan itu, aku diperkenankan menumpang. Beristirahat dan melepas lelah. Kau menyambutku dengan satu perempuan di kanan dan yang lain di kiri. Sambil tertawa kau mempersilakanku bertemu tuanmu, yang telah memperbolehkan aku menumpang sementara waktu. Adalah suatu kehormatan katamu untuk menyambutku, putri seorang resi. Ketika makan malam tiba, aku memandangimu yang tertawa mesum dan bertingkah laku tak kalah mesum, kata-kata yang keluar dari mulutmu nyaris cabul. Aku hanya diam ketika tuanmu menjelaskan bahwa itulah dirimu. Aku tidak begitu peduli saat itu dengan sosokmu. Ketika malam semakin larut, aku mohon diri.

Semakin lama aku tinggal di padepokan, aku memperhatikanmu. Bahwa dirimu selalu mengumbar cinta kemana-mana. Diriku pun tak luput. Aku tetap tidak begitu peduli, karena itulah dirimu, Kalamarica, kala itu. Entah mengapa aku mulai memijat dan memilin keris pertamaku dengan sungguh-sungguh. Hari demi hari, kau mulai memperhatikan keris yang sedang kubuat. Mengamatiku dan bertanya kesana-kemari.

Aku membuatnya empat puluh hari dan empat puluh malam. Kau menunggunya jadi hingga empat puluh hari dan empat puluh malam. Malam yang keempat puluh, hanya tinggal kita berdua malam itu yang tidak terlelap di padepokan. Malam nyaris tengah malam. Aku menggarit bagian tengah keris itu dengan kuku lalu membasuh keris yang baru saja jadi itu dengan air melati. Kau menyodorkan seutas kain putih untuk melapnya. Karena kau telah menunggunya, aku memperkenankanmu untuk menjadi pemegangnya yang pertama.

Sejenak, Kalamarica, raut wajahmu berubah serius dan mengamati keris buatanku yang pertama dengan penuh kesungguhan. Kau berkata keris ini begitu perempuan, karena ukurannya terlampau kecil dari biasanya dan lihat lekuknya yang begitu lembut. Aku berkata kemudian, karena keris itu adalah hatiku untukmu. Kau terkesiap, tidak siap, Kalamarica. Aku mohon diri, karena malam sudah terlampau gelap. Di pelataran kau menatapku undur diri sambil tetap memegang keris itu. Keris itu tidak kau terima juga tidak kau tolak.

Kalamarica, aku telah mencarimu sekian lama. Begitulah adanya cintaku pun tidak jua kau terima dan juga tiada kau tolak. Hari-hariku kemudian di padepokan terasa begitu lama. Aku seperti menunggu sesuatu yang aku tahu tidak akan datang. Namun aku tetap menunggumu, Kalamarica. Entah untuk apa. Aku mulai membuat kerisku yang kedua, ketiga dan keempat. Hampir semuanya sepasang-sepasang. Di malam-malam dimana aku bekerja di pelataran aku mendengar tawamu yang terkadang terdengar karena terlalu keras dan begitu khas. Atau desahanmu. Eranganmu. Di antara perempuan-perempuan itu. Aku semakin keras menekan dan membentuk lekuk-lekuk keris. Hingga jejak sidik jemariku membekas begitu dalam di setiap tekanan.

Sudah tiga pasang keris kuselesaikan dan aku melap keringatku. Dan kulihat dirimu baru saja keluar dari peraduan, meminum air dari kendi dekat pelataran. Kau menatapku dan aku menatapmu sambil tetap membungkusi semua peralatanku. Keris-keris yang baru jadi kubungkus kain sutera, satu per satu. Satu pasang pertama kubungkus kain sutera ungu, yang kedua kain sutera kuning dan yang terakhir kain sutera jingga. Lalu Kalamarica, dadaku berdegup karena kau berjalan menuju arahku. Malam sudah lewat tengah malam, dan kau bergegas mengecup bibirku seketika itu. Aku terkesiap, nyaris ambruk di atas bumi. Kau hanya berbisik “Akan kuterima kerismu jika kau buatkan pasangannya. Kutunggu kapanpun.” Kali ini kau yang mohon diri tanpa meminta maaf karena sudah lancang. Menyisakan diriku yang tidak bergerak di pelataran, sendirian.

Kalamarica, setelah malam itu aku tidak kuasa terlelap barang sekejap pun. Aku mulai membuatkan pasangan keris pertama itu, untukmu. Namun selalu gagal, aku selalu merasa ada sesuatu yang tidak sempurna. Entah mengapa. Aku selalu mengulangnya dari awal berkali-kali. Aku kembali menghabiskan empat puluh hari dan empat puluh malam untuk membuatnya. Aku merasa seperti kembali lagi pada saat aku membuat keris pertamaku. Penuh kecemasan dan kali ini aku membuatnya tanpa istirahat sedikit pun. Kalamarica, karena kali ini aku tidak hanya mengungkapkan isi hatiku saja, namun mematri dirimu sepenuhnya dalam bayangan keris yang tengah kubuat.

Malam keempat puluh, aku sudah berhari-hari tidak keluar karena keris untukmu hampir selesai kubuat. Kau mengetuk pintu kamar dan masuk. Mengamatiku bekerja di detik-detik terakhir penyelesaian keris itu. Setelah selesai, dengan kedua tanganku kupersembahkan keris itu untukmu. Kau membawakan kain sutera putih, mengamatinya dan membungkusnya, serta menyelipkannya di pinggang. Aku tak menyadari bahwa penampakanku sungguh berantakan dan aku seketika malu. Diam-diam malam itu, Kalamarica kau membawaku ke pemandian tak jauh dari padepokan. Menungguiku dan menjagaku. Selesai aku mandi, kau meminta ijin untuk menyisiri rambutku lalu kau memetik bunga melati dan menyematkannya di sanggulku. Kau membawaku kembali ke padepokan dan di sepanjang jalan kau memegang tanganku. Untung hari sudah sedemikian larut sehingga hanya aku dan dirimu yang melihat kita berdua bergandengan tangan. Kau mengantarku sampai kamarku dan mohon diri. Subuh tiba dan di sahut ayam jago pertama aku pertama kalinya terlelap begitu nyenyak.

Aku terbangun ketika matahari sudah sedemikian tinggi. Kau meminta seseorang mengantarkanku makan siang dan semangkuk bunga melati untuk mengganti yang semalam. Aku menyematkan di sanggulku tepat sebelum sore hari dan kau mengetuk pintuku. Kau masuk dengan diam-diam dan perlahan. Aku hanya duduk bersila di hadapanmu dan kau membelai pipiku. Mengecup keningku dan sebelum memagut bibirku kau berkata:

“Ah, Pramesti, karena dirimu aku telah gila.”

Ah, Kalamarica, karena dirimulah aku telah gila. Matahari telah terbenam dan dirimu terbenam dalam diriku. Hingga dirimu telah nyaman berada dalam kegelapanku sebagaimana hari pun telah gelap. Dan malam telah lewat ketika aku berada di penghujung semesta raya yang kulihat berdentam berkali-kali dalam tatapan matamu ke dalam mataku. Hingga dentuman terakhir dan aku terlelap. Di antara dada dan lenganmu.

Hari belum lagi subuh dan aku kehilanganmu. Kau telah diam-diam pergi, melipat kain subangku dan menyelipkan keris yang kubuat untukmu di antaranya. Pergi tanpa pesan dan bekas. Yang kutau dirimu hanya membawa keris pasangan itu, keris yang berupa hatiku itu. Sepasang keris itu belum lagi kunamai, hingga akhirnya kutemukan namanya suatu ketika. Nama itu adalah Sumbro, karena ia telah kehilangan pasangannya entah dimana dan kelak orang-orang akan mengenangku dengan nama itu.

Kalamarica, aku mencarimu kemana-mana dan aku telah gila. Aku berhenti di sebuah candi dan ingin beristirahat selamanya disana. Aku ingin terlahir kembali menjadi batu sehingga aku tidak akan tersiksa untuk mencarimu ataupun menunggumu hadir kembali. Kalamarica, aku masih terkenang akanmu dan jika seperti ini aku tidak akan mati. Tubuhku sudah renta dan lelah. Rohku sudah di penghujung segala doa. Demi segala dewa dewi, apakah aku masih akan bertemu denganmu di kehidupan yang sekarang?

Jawablah, Kalamarica!

Apakah kau sudah tiada dan aku hanya sia-sia?

Keris Sumbro itu nyaris sudah kuhujamkan di dadaku ketika kau muncul di pelataran candi dan hari sudah nyaris senja. Di senja itu, Kalamarica, aku tersenyum bahagia dan berubah menjadi batu.

Karena cintaku padamu ternyata tidak lagi sia-sia walaupun sudah membatu sebagaimana ragaku. Kala dirimu hadir dan hanya memelukku sampai segalanya hilang dari dunia.

Rumah Adhyaksa, 28 Februari 2007

Drama Malam itu
:rahwana yang berwujud bima dan ganesha

Sudah tumpah ke dunia
Segala yang sudah lama tertahan
Di depan teras kita malam-malam
Sehingga kau nyaris mengepak tasmu
Dan pergi lagi

Aku nyaris bunuh diri di tempat
Setelah berkali-kali
Menemukan
Dan ditinggalkan
Sendirian

Namun kau tidak pergi malam itu
Dan itu sudah cukup
Tanpa kau bilang apakah aku akan tahan
Apakah aku akan menunggu
Karena aku selalu disana
Bertahan
Menunggu
Dan mencintaimu selalu

Begitu rupa
Aku telah mencintai sisimu yang dasamuka
Sehingga aku menceburkan ke dalam api cinta
Bukan untuk rama
Bukan!

Hanya pada momen-momen yang rapuh dan di titik-titik nadirku
Akan terlihat bahwa akupun
Hanya perempuan yang biasa-biasa saja

Namun untukmu
Titik api ratusan derajat celcius
Tiada berarti

Karena cintaku telah berupa pasir abu
Kepadamu, seorang
Selama empat tahun lamanya

Rumah Adhyaksa, 22 February 2007

Delapan Belas Malam

: ganesha

sebenarnya apa yang telah terjadi
setelah tiga tahun berjalan
segala
dan waktu yang semakin
menemukan ujung-ujungnya
dalam pelbagai pertemuan

delapan belas malam sudah
berlangsung
dan kata-kata cinta
meledak dari lidahku
lidahmu

pada sekian pagutan
kita telah menjadi abadi

namun: erik estrada is my karma
ah, nama itu
sosok itu
karma di pundakku…

bagaimanapun karma yang telah terjalin
dalam tubuhku
waktuku
dan garis tanganku

ganesha pun adalah karmaku yang lain
dimana ia kiri
dan kamu kanan

sosok-sosok gajah berwarna ungu
hitam
berkelebat

disana aku telah melihat rupa anak-anak kita
anjing-anjing kita
dan rumah tempat dimana kita berdua selalu pulang
melepaskan dunia sejenak dari genggaman
dan menghilang
dalam peraduan yang selalu kita dambakan

ah,
ratusan kali kita telah berjalan
mencari arah dan pasangan
arah mata anginku
telah dan selalu
mengarah padamu

namun,
dahulu
aku tak pernah melihatnya
bahkan tak berani untuk menengok ke arahmu

aku tak pernah berani
menghunjamkan trisula di dahimu dalam dadaku

namun,
sekarang sudah tertanam begitu dalam
hingga hilang segala rasa
yang merusak
murninya cinta
yang tanpa embel apa-apa

aku pernah bertanya
seperti itukah kita dimata dunia

sejujurnya aku tidak pernah peduli,
sayangku

Rumah Adhyaksa, 4 Februari 2007