Yogyakarta, 24 Mei 2011

Tara

Kau menatap kembaranmu. Ing. Wajahnya bersemi bagai mawar merah muda yang tengah mekar. Tak pernah kau menatapnya sedemikian. Jika cinta memang ada, kau tengah melihat efeknya langsung pada kulit perempuan di hadapanmu.

Seperti dirimu, Ing, telah pergi kemana-mana. Ia bahkan tak pernah pulang. Bahkan ketika kedua orangtuamu meninggal dunia. Siapa yang menyangka, momen ketika kalian menonton musik bersama setelah sekian tahun tak bertemu, membuatnya memutuskan untuk tinggal di kota yang sama. Ia belum mengatakan apa-apa. Tapi kau tahu, pasti karena cinta dan kau tengah menebak siapa.

Jika kau merasakan kembaranmu tengah memulangkan hatinya, kau merasakan hatimu semakin pergi menjauh. Jejak yang tertinggal membuatmu harus beranjak untuk mengejar hatimu.

Kau melihatnya menghisap rokok kreteknya semakin berat dan menghembuskannya perlahan. Kau telah bertahun-tahun berhenti merokok, setahun sebelum kau hamil Asa. Takdir itu jatuh perlahan bagai wahyu dan memporak porandakan tubuhmu. Saat ini jika rindu asap, kau memilih dupa.

“Siapa, Ing?”

“Kai. Di malam laknat itu aku bertemu dengannya lagi, segalanya kembali berputar. Kami hanya bisa tertawa sekarang.”

Kau menghela nafas. Nyaris mengambil sebatang rokok. Kai. Alasan empat tahun yang lalu Ing tak pernah pulang.

Yogyakarta, 10 Juni 2011

Kai

Jika ada seorang perempuan yang membuat dadamu guncang ketika ia memalingkan mukanya dan tak lagi menatapmu. Rasa mendecit dalam dada. Sesak yang sesaat tak terhingga. Kau tak ingin kehilangan kedua mata yang menatapmu tajam hingga saat ini. Ia tak pernah benar-benar hilang. Bahkan dalam ingatanmu kau ingat kau selalu merindukan tatapannya. Kau yang tak pernah mau mengakuinya.

Dalam sehela nafas kau menawarkan genggamanmu. Ia menatapmu akhirnya dan dadamu lega. Nafasmu tak lagi memendek. Ia kembali mengenggam tanganmu. Janji kalian sebesar genggaman tangan. Kata dan tindakan hanya berada dalam dua pasang tangan. Hanya berada disana dan berdiam disana. Antara laki-laki dan perempuan. Antara cinta dan benci yang berganti-ganti. Antara keberanian dan kecemasan.

Kau ingin selalu mengajaknya melihat ke depan dan memastikan dalam kehidupan yang sekarang, sepasang tangan kalian selalu bergandengan. Apapun. Bagaimanapun. Sepasang tangan yang mengenggam harapan.

Kau menariknya, Kai. Kau mencintainya. Selalu. Bercinta kepadanya. Selalu dan selalu. Bahkan luruh keringatmu tak lagi mengkhianati hatimu ketika bersatu dengan sempurna pada keringatnya.

Yogyakarta, 23 Mei 2011

Ing

Ia membuatmu gila, Ing. Lebih gila daripada yang pernah kau bayangkan. Cintanya padamu tiada akhir. Cintamu padanya tiada akhir. Tak ada lagi ujung batas. Bahkan setelah kalian akhirnya memutuskan untuk sekali lagi bersama sekian bulan terakhir. Kobaran rasa ini menggila dalam dirimu setiap malam.

Tak ada lagi yang koyak moyak di dalammu semenjak malam ia pergi sekian tahun yang lalu. Kau memintanya pergi malam itu, karena kau tak sanggup lagi menahan perasaanmu yang membesar dan ketakutanmu untuk merusak segalanya dengan itu. Permintaan itu adalah kesalahan besar. Lubang dalam hatimu semakin membesar tiap malam dan di menit pertama kau melihatnya lagi setelah sekian lama, lubang itu menghilang.

Kai.

Kau menyebut perlahan namanya dalam setiap nafasmu. Kau seperti gadis remaja dan ia cinta pertama. Sejarahmu bersamanya sudah tak terhitung. Tawa dan tangisan kalian selalu datang bergantian bagai lingkaran kehidupan. Saat ini kalian berdua mulai memakluminya dan tersenyum karenanya.

Ia menggandeng tanganmu dengan mantap kali ini. Kau menatap matanya. Tak ada keraguan lagi seperti dulu. Hatimu berdegup dengan lebih tegap. Kau bangkit dari sekian kehancuran. Di dalam dirinya kau menemukan kembali dirimu.

Hari ini adalah kencan pertama kalian setelah sekian lama kalian berpisah. Matahari bersinar cerah dan hati pada akhirnya tak pernah mati.

Yogyakarta, 23 Mei 2011

Tara

Mereka pernah menyebutmu gila, Tara. Kau pun tahu sekian tahun yang lalu, kau nyaris gila. Sejak bertemu Raka, yang semula seumpama pemantik dari segala ingatanmu, menjadikanmu terbakar habis. Kau mempercepat roda waktu. Mempercepat hal-hal yang harusnya belum terjadi.

Hingga Asa lahir, tanpa kau pun mengenal ayahnya. Seumpama Bunda Maria yang pernah kau percaya di suatu waktu, itulah yang terjadi pada dirimu. Seumpama Dewi Kunti yang ceritanya kau baca berkali-kali sewaktu kau kecil, itulah yang terjadi pada dirimu. Namun kau hidup di abad dua puluh satu. Sedikit sekali manusia yang masih percaya dengan keajaiban, apalagi dewa dewi. Dan kau tak memiliki sosok Yusuf ataupun Pandu di sisimu. Kau melahirkan dan membesarkan Asa sendirian.

Kau membawa Asa kemana pun kau pergi. Dirimu selalu berjalan bersamanya. Anak yang bagai cahaya di sisimu. Seringkali kau merasa dirimulah yang tengah digandeng olehnya dan bukan sebaliknya. Asa yang luar biasa.

Sahabatmu, Ranmu, mengajakmu pergi dalam waktu dekat. Kau masih ragu. Untuk yang kali ini, kau tidak tahu apakah kau akan mengajak Asa. Perjalanan ini lebih merupakan ziarah. Ziarah ke dalam dirimu. Mimpi, pertanda dan kenangan berkelindan dalam kepalamu.

Kau melihat dirimu ke arah matahari. Sosok cahaya itu muncul.

Tidak, Batara Surya. Aku tak akan pernah melarungkan Karna. Aku bukan Dewi Kunti. Aku adalah diriku sendiri.

Kau akan membawa Asa bersamamu. Selalu.