:untuk afrizal malna

kebakaran-kebakaran lalu ada kematian di lautan dan harga cabe untuk sambel ulekan pagi ini. ada orang gila, ada presiden gila dan rakyat-rakyat gila, tetapi kurasa dunialah yang gila. apa itu waras dan siapa itu saya dan dimana letak saya. hanya sepintas seperti kata-kata yang terlontar dari mulut saya di malam itu dan menatapmu lalu mendengar loncatan-loncatan di kepalamu. orang-orang bingung, bengong dan entah mau berbicara apa.

seperti batu, dilewati denting air terjun yang tiba-tiba semerdu kecapi, begitulah isi kepalamu. memang sedekat itu sebetulnya jarak, tetapi seperti ada yang menghambat. sisa topi miring di gelas-gelas yang belum dibersihkan memang betul-betul menghambat urat syaraf. sepotong percakapan yang lewat menghantar bangun tidur. butuh kecupan butuh waktu untuk sekilas saja mencari pisau untuk mengiris bawang.

karena kami akan memasak sesuatu untuk makan. bungkus-bungkus mie, tempe penyet dan satu batu ulekan yang penuh sambel terasi. koran-koran, film-film, iklan-iklan dan kematian peradaban di piring kami. rumah sakit jiwa, kamar, kakus, jalan-jalan, gang-gang sempit, motor, cinta, ngentot, rokok, buku, puisi, prosa, bla bla bla. aku jadi seperti mengerti loncatan-loncatan di kepalamu.

seperti inilah!

-mengenang malam puisimu-

sepertinya ada yang aneh dengan rasa sesak, ia datang untuk tidak selesai. ia datang untuk menceritakan cerita-cerita yang tidak keluar dari rongga tenggorokan, cerita-cerita yang hanya dapat dimainkan dalam pertunjukan-pertunjukan wayang di kepala kita masing-masing. ia juga tersedak sambil menyembunyikan batu-batu kerikil untuk dilemparkan memecah kaca jendela para tetangga. tetapi ia tidak pernah benar-benar meninggalkan bekas guratan yang dalam, hanya warna-warna grafiti tembok yang muram. hanya sumpah serapah yang ditinggalkannya untuk menyiksa dada-dada kita serta kelopak-kelopak mata. labirin rasa yang benar-benar menjengkelkan.

tiba-tiba saja kita tanpa rasa bersalah menempuh sekian kilometer sewaktu harga-harga sedang semakin menggila. membuang habis apa yang seharusnya kita teriakkan di jalan-jalan tanpa ada yang mendengarkan dengan sungguh-sungguh. tiba-tiba lagi kita sudah mencapai satu bukit di antara lereng, duduk di sebuah tembok jembatan hanya untuk menghabiskan dua puntung rokok kretek di antara gerimis pegunungan. dan alasan kita satu-satunya adalah karena langit sedang tertawa dalam suasana sebusuk ini.

waktu kita jadikan ajang penantian dan juga pelampiasan-pelampiasan di antara bau-bau kematian yang semakin mendekat. mimpi-mimpi semakin menghantui kita dari malam hingga malam dan menjadikan tidur begitu menakutkan. mimpi yang seperti film-film horor menyeramkan walaupun tanpa pernah memberikan logika yang jelas. hari-hari berlalu dengan penuh pengingkaran untuk sebuah gundukan kuburan berukuran kecil. sebuah kenyataan untuk bau cinta kita yang terlalu pagi.

bau itu akan tercium di saat kau menghirup semua bulu kuduk tubuhmu, lalu akan berlanjut pada hal-hal yang biasa kau cium dan semua lapisan udara yang bisa kau nafasi. bau-bau yang belum matang, belum kenyang, seperti bunga dengan kelopaknya yang dengan paksa ditanggalkan. bau itu juga akan datang secara mencurigakan dan memenuhi seluruh pojok ruang sampai semuanya tidak bisa lagi kau campakkan semudah melepas baju lalu membuangnya ke atas tanah. begitulah adanya untuk bau yang diciptakan sebelum subuh menjelang pagi, menjelang mimpi-mimpi ayam jago yang belum selesai.

percikan air terhempas di liang kakus yang belum penuh, bau sejenis yang memuakkan, bau setengah-setengah.

sudah kuhabiskan jakarta bersamamu
juga kota kita
rumah kita
kamar kita

sudah kuhabiskan benar-benar sebagian dari arti hidupku
denganmu

aku tidak sedang menunggu keabadian datang
aku sedang menikmati semua yang ada di udara kita