Delapan Belas

Lagu delapan belas itu mengguncangku di kendaraan. Aku berada di antara bahu kawan-kawan seperjuangan. Di antara saudara dan paman. Aku melihat segala sosokmu dalam gulungan imaji yang mengalir bagai sungai tenang. Sekian kehidupan. Sekian lingkaran dan rantai. Di satu masa kau menghilang pada ingatan yang sepekat air mata.

Kini, ketika jarak sedang tak tergapai lengan, kita selalu berbicara melalui udara seperti biasanya. Begitulah keajaiban-keajaiban terjadi. Lilin yang selalu menyala di dalam hatimu. Dian yang tak kunjung padam dan ilmu kehidupan yang tak akan lenyap. Untuk hiduplah kita berada kini. Untuk yang benar-benar hidup.

Ini sudah bukan lagi masalah kebahagiaan atau kesedihan, tapi mengenai rasa yang mendekati kebeningan semesta. Titik temu yang menjelma permata hijau di puncak kepala. Di antara kesadaran itulah kita menyala.

Genap Enam Minggu

:T.W.

Para dewi itu menjelma di atas tempat tidur kita. Menyampaikan sekian pesan dalam suaranya yang paling bening. Kepala kita sejenak sejernih hati yang membulat penuh. Kau yang separuh matahari dan aku yang separuh bulan. Betapa heningnya malam dan kata-kata bertaburan selayak gemintang. Sejauh ini kita telah berjalan, hanya dalam enam minggu, sedalam samudera yang tengah berlabuh di atas pesisir yang tak lagi karang.

Di Sanur, aku menemukan jejak kita di atas pasir, tengah berjalan menuju terbitnya matahari. Gunung Agung menebarkan gaungnya pagi itu. Setegak itulah hati kita mulai pelan-pelan berdiri bersama, bergandengan selalu. Selalu. Pada setiap pagi dan pada setiap malam.

Dalam mimpimu, aku akan selalu menjagamu dan dalam hidupku, kau kini selalu menjagaku.