Cinta di Kala Corona

: pacarmerah, Sam, setelah dua puluh tahun

Ciuman-ciuman kedatangan dan perpisahan dibalut oleh lapisan masker yang meraih rindu dengan gemas. Namun cinta muncul ketika segala pertanyaan-pertanyaan kerinduan dalam hidup dihadapkan oleh pandemi kematian.

Cinta yang baik adalah yang tanpa penyesalan. Cinta yang baik adalah cinta yang tersampaikan. Cinta yang baik adalah yang tak patah arang dalam segala aral melintang.

Cinta yang baik itu akhirnya hadir dalam hidupku. Kau hadir lagi dalam hidupku. Dalam satu telpon jarak jauh setelah dua puluh tahun lamanya. Dalam suara serak yang tidak basah, namun banjir akan rindu yang tak terkatakan. Dalam jawaban perasaanku yang tersapu oleh segenap badai peristiwa. Di titik itu aku mencoba tenang-tenang saja, walau aku tak baik-baik saja.

Aku membutuhkan sekian bulan untuk mencerna segala sesuatu. Hingga di satu titik balik sebuah peristiwa, aku memutuskan untuk menelponmu malam-malam. Di saat itu, aku tahu diriku membutuhkanmu untuk mengisi ruang kehadiran yang semakin membesar kian hari. Bahwa jauh di dalam diriku, segala benih yang tersimpan itu sedang menyeruak tumbuh kembali.

Kita selalu menghendaki ini. Walau waktu telah berjalan dua puluh tahun. Walau segalanya melewati jalan yang memutar. Walau aku telah pergi jauh, jauh sekali untuk menemukan jalan pulang menujumu. Kita yang saling bertujuan pada satu sama lain. Dalam cerita cinta yang baik, kita berhak mengisinya dengan kebahagiaan.

Mencintaimu di kala corona mengajarkanku bahwa rindu ini tak akan habis dengan mencuci tangan.

20 Tahun Lamanya Perjalanan

: pacarmerah, untuk Sam yang tersayang

Aku seperti mengingat pertemuan pertama kita, hampir dua puluh tahun yang lalu. Aku hanya mengingat kita yang saling berpelukan. Kecupan. Sama-sama tersenyum sedikit malu-malu.

Aku mengingat genggaman tanganmu. Ciuman di atas bis kota yang kucuri-curi di kala senja. Tatapanmu di kala itu. Kenakalan-kenakalan kecilku yang kau suka. Kenakalan-kenakalanmu yang jenaka yang kusuka. Bersamamu aku mengingat semua perjalanan itu. Entah berapa banyak semua perjalanan itu telah kita tempuh. Dari satu bis ke bis yang lain, mengitari pelosok ibukota dan juga sampai di kota lahir ibuku.

Aku tak mengerti sekarang. Apa yang kupikirkan saat itu? Mengapa ingatan kerap mengkhianatiku, di kala aku mengkhianati apa yang sebenarnya baik-baik saja di antara kita. Mengapa aku tak memilih jalan bersamamu di kala itu, yang juga baik-baik saja? Dirimu yang bersetia. Aku yang memilih pergi, memilih luka demi luka.

Kau bertanya padaku beberapa hari terakhir belakangan: Apakah kamu menyukai luka? Aku menatapmu lekat akhir-akhir ini setiap kali aku mencoba menjawab pertanyaan itu. Di kepalaku, aku tahu bahwa cinta bukanlah luka. Bahwa cinta bukan lagi sebuah kesakitan. Siklus ini telah berjalan terlalu panjang. Kerikil demi kerikil telah berubah menjadi duri. Menghujam bagai jarum.

Hari itu di Gambir, sosokku pergi untuk mematikan rasa. Sosokmu tertinggal dan berduka. Kita menangisinya dua puluh tahun kemudian. Begitu lama dan jauhnya jalan menuju kepulangan. Begitu peliknya waktu menyimpan kenangan.

Duka dan luka ingin kuselesaikan disini. Sejam sebelum ulang tahun bapakku. Apapun yang berputar selama ini sudah harus kuhentikan dan selesai di titik ini. Selesai dan menjadi kompos di dadaku. Janjiku padamu sekarang: di atas semua ini cinta akan tumbuh dengan sehat dan baik-baik saja. Yang akan kurayakan sekarang adalah menemukanmu, menemukan diri yang utuh, cinta yang saling melengkapi dan bukan lagi kehilangan demi kehilangan.

Jika diriku mau jujur padamu, yang kutangisi sepagi itu adalah memori tubuhku, rahimku dan memori rasa yang kau masuki dan tidak pernah pergi dariku. Sesuatu yang penuh hingga membekas terlalu dalam. Begitu dalamnya, kunci ingatan itu kulempar entah kemana dan tak pernah kubiarkan seorangpun untuk memasukinya lagi. Aku merasa sepotong bagian dari jiwaku yang kau simpan akhirnya membongkar itu semua. Bahwa selama itu aku menyimpan ingatan rasa sedalam itu. Dan bahwa kaulah yang menyimpan itu semua dengan baik, memeliharanya dan merawatnya sampai suatu hari ini semua menemukan titik tumbuh bersamanya yang tepat.

Kurasa aku akan terisak bahagia melihatmu dalam sekian jam ke depan. Kalau ini adalah bentuk rindu, ini adalah sesuatu yang sudah melampauinya.

Sampai lumat.

Sampai semua terlahir baru.

Jogjakarta, 20 menit menuju 5 Oktober 2020