Zlink!*
Prolog: Tentang kehilangan-kehilangan
Entah mengapa akhir-akhir ini saya kehilangan banyak hal. Dua sepatu di teras depan rumah kontrakan saya lenyap digondol maling. Asbak berbentuk kepala babi berwarna pink tidak sengaja saya senggol jatuh dari atas meja dan pecah berantakan. Lemari pakaian saya hampir lenyap setengahnya karena rayap, meninggalkan saya dengan sebuah syok dan ketakutan yang lain jika saja itu rak buku saya. Saya terpaksa merelakan dan membuang beberapa barang-barang kesayangan saya yang sudah tidak berbentuk itu ke tempat sampah. Lalu sebuah sms masuk dari ayah saya. Salah satu kerabat dekat yang masih bisa saya bilang nenek saya meninggal karena kanker payudara. Saya sayang sama nenek saya itu dan saya kehilangan dirinya. Saya ingat betul aksen bicaranya yang nyaris Belanda dan kata-katanya juga sering tidak bisa saya pahami (percayalah hingga bangku kuliah nilai Bahasa Belanda saya tetap C dan tidak pernah lebih), namun yang saya ingat dia adalah nenek baik yang selalu memberi saya kue-kue kukus hangat dan beberapa permen coklat. Dan saya tidak bisa membuang begitu saja kenangan-kenangan akannya yang mendekam di kepala saya. Bagaimanapun lamanya saya tidak bertemu dengannya, nenek itu masih keluarga saya. Suaminya adalah adik kandung kakek saya, kakek saya yang mungkin sudah tenang di Laut Jawa sana dan saya adalah salah satu cucu laknatnya yang tidak pernah mengunjungi ‘peristirahatan terakhirnya’. Sepanjang ingatan saya, saya amat dekat dengan suaminya itu bahkan lebih dekat daripada kakek langsung saya, kebiasaan yang paling kentara di dalam ingatan saya adalah bagaimana ia selalu menyiulkan suara burung pipit setengah berbisik ke dalam telinga saya. Telinga saya terasa geli dan sampai sekarang saya tidak bisa bersiul sebaik dirinya. Saya sayang sama kakek saya dan walaupun tersiar kabar bahwa ia begitu pikun sehingga sering berak dimana-mana, saya tetap sayang padanya. Bagaimanapun lamanya saya tidak bertemu dengan dirinya, dan saya tidak akan bisa menyalahkan dirinya untuk menjadi sepikun itu karena kami sudah lama tidak bertemu. Saya kehilangan dirinya pada ingatannya yang terkunci di sebuah laci dalam kepalanya. Tidak ada lagi kue kukus dan permen coklat. Tidak ada lagi siulan burung pipit di telinga saya.
Lalu ibu saya datang beberapa waktu yang lalu ke rumah saya. Ketika saya sedang tiduran semalam kemudian mengingat momen tidur di kasur yang sama kembali – karena kasur saya cuma satu itu – setelah sekian tahun lamanya kami tidak pernah tidur di ranjang yang sama. Ibu saya tidak saja menulari saya dengan penyakit flu ringan yang tengah dibawanya itu, tetapi juga menciptakan ruang yang aneh kembali dalam hidup saya. Ada beberapa ruang pembicaraan yang ingin saya lontarkan namun ternyata tetap gagal saja dan meninggalkan saya dengan semacam rasa kegalauan yang sama. Hubungan saya dengan ibu saya sebenarnya baik-baik saja. Karenanya baik-baik saja saya merasa begitu gelisah. Banyak sisi kehidupan saya yang sepertinya tidak akan pernah diketahui olehnya dan saya juga kurang berminat untuk membeberkannya. Saya seperti tidak ingin merusak kondisi yang baik-baik saja itu.
Apakah arti keluarga bagi saya di masa-masa yang terbilang ‘tenang’ ini? Sehingga setiap kali saya kembali ke rumah ayah-ibu saya, kembali ke sebuah ruangan yang bernama kamar saya selama bertahun-tahun sejak saya masih lugu dan polos, saya merasa begitu aneh. Apakah saya pulang? Seringkali ya, seringkali tidak. Dan saya tahu saya tidak suka berlama-lama disana, betapa aman dan damainya tempat itu. Jauh dari hiruk-pikuk kehidupan yang tengah berjalan, begitu lenggang dan kosong dan rapi tentu saja. Tidak seperti tempat tinggal saya sehari-hari yang penuh baju kotor bertumpukan, lantai yang berdebu tidak disapu apalagi dipel, ditambah segudang ketidakrapihan saya dalam merawat rumah kontrakan saya sendiri. Ibu saya mengeluhkan kondisi rumah saya itu, namun dia hanya mengeleng-gelengkan kepala dan saat subuh ketika saya masih tidur, diam-diam ia mengelap kusen-kusen jendela. Membelikan saya berbagai perlengkapan kebersihan rumah yang tidak saya miliki. Ketika saya bangun, saya hanya bisa tertawa kecil, setengah tersindir. Ya, itulah ibu saya.
Ayah saya pecinta coklat, nyaris persis sama seperti pacar saya. Saya ingat ketika suatu ketika ia menjemput saya yang baru saja tiba di bandara. Saya menyodorkan sebatang coklat yang sebetulnya untuk saya oleh-olehkan ke pacar saya, karena bapak saya ternyata menunggu saya begitu lama dan belum makan malam, sedangkan perjalanan bis masih panjang menuju rumah. Bapak saya sungguh senang, dimakannya coklat itu sampai tinggal setengahnya. Saya sedikit khawatir karena coklat itu coklat beralkohol dalam kadar yang cukup lumayan. Saya cemas jika tiba-tiba ayah saya mabuk karena coklat apalagi perutnya kosong. Namun kecemasan saya berakhir ketika akhirnya ia tertidur di tengah-tengah perjalanan menembus kemacetan ibukota yang laknat itu. Ketika kami tiba di rumah, hanya satu hal yang disesalinya: coklat beralkohol yang masih setengah bungkus itu tertinggal di bangku bis. Ayah saya begitu sedih sehingga saya merasa bersalah mengeluarkan coklat itu dan saya merasa begitu sulit menghiburnya. Ya, itulah ayah saya.
Setiap ingatan akan keluarga yang terbangun dalam kepala saya, bahwa keluarga adalah sesuatu yang penuh kontradiksi. Hiruk pikuk dengan berbagai macam orang yang sebetulnya semacam dipaksakan untuk berada di tempat yang sama dan menjalani kehidupan yang begitu berdekatan. Suka tidak suka. Keluarga seringkali diilustrasikan semacam oase di tengah gurun dan tempat untuk pulang. Bisa benar dan juga bisa salah. Ilusi selalu terjadi dalam sebuah ilustrasi. Saya selalu mempunyai rasa curiga dalam sesuatu yang baik-baik saja. Sepertinya sesuatu yang besar akan terjadi dan saya tidak mempunyai petunjuk apapun itu. Saya cukup yakin bahwa setiap keluarga mempunyai sekian rahasia yang membangunnya dan juga meruntuhkannya hingga hari ini. Saya pada awalnya terkejut ketika hidup saya melewati angka duapuluhan, orangtua saya mulai membeberkan sekian rahasia kepada saya, baik tentang mereka baik juga tentang keluarga lainnya. Begitu banyak hal dan skandal di dalamya yang membuat saya memikirkan untuk memanfaatkannya sebagai bahan tulisan. Begitu banyak sejarah yang telah berlalu dan nyaris terlupakan yang menyebabkan saya lahir juga membuat saya berdiri di titik dimana saya berdiri saat ini. Suka tidak suka, itulah yang tengah terjadi.
#1: Alasan demi alasan
Maka dari sinilah kami kembali mengganggu ingatan-ingatan dan rahasia-rahasia yang terpendam dalam segala macam keluarga yang kami coba kumpulkan. Pengakuan atau pembelaan. Fiksi atau kenyataan. Kami tidak begitu peduli. Kami ingin mendengar lebih banyak cerita dari berbagai macam orang. Bahkan jika keluarga kami masing-masing memiliki krisis yang tidak kalah parahnya dengan yang lain. Yah, mungkin kami kesepian dan ingin mendengarkan cerita-cerita yang menghibur kami. Walau sepahit apapun kenyataan dari yang kami dengarkan. Berbagi kesepian mungkin adalah satu-satunya cara untuk bertahan dalam dunia kami yang semakin sepi walaupun ada sekitar 6 milyard orang di dunia ini. Apakah kami sedang sedih dengan keluarga kami? Mungkin, walaupun kami terlihat masih tertawa, walaupun terdengar sedikit getir.
# 2 : Sebuah review kecil manga
Ada serial komik sekitar 9 jilid yang baru-baru ini saya baca (yah, saya senang manga). Sampulnya nyaris seperti novel, ketebalannya pun tidak kalah. Saya tidak ingat siapa pengarangnya, bahkan nama-nama tokohnya secara persis saya lupa. Yang tidak terlupakan adalah ceritanya dan juga judulnya: For the Rose.
Ceritanya dibuka tentang seorang anak perempuan gendut, sedikit lamban, sedikit bodoh dan terbilang jelek, baru saja diputuskan pacar satu-satunya dan neneknya yang juga satu-satunya meninggal secara mendadak, membuatnya terusir dari tempat tinggalnya. Namun dalam surat wasiat sang nenek membeberkan berita yang akan merubah hidupnya. Bahwa ternyata dirinya adalah seorang anak seorang artis terkenal Jepang dan mempunyai 3 saudara lainnya. Semuanya adalah saudara lain ayah. Ia datang ke rumah itu dengan harapan yang membumbung, namun seketika harapannya dihancurkan berkeping-keping oleh kenyataan mengenai keluarganya yang baru ia temukan itu. Bahwa: ibunya tidak peduli terhadapnya dan memperlakukannya seperti pembantu, kakak sulungnya yang perempuan begitu malas dan tidak pernah mengerjakan apa-apa, kakak keduanya yang laki-laki selalu mabuk dan menghinanya dengan penghinaan yang tidak dapat terbayangkan, dan adik laki-laki satu-satunya adalah seorang homoseksual. Selain itu mereka semua begitu cantik, tampan dan terlihat sempurna secara fisik (walaupun mulut mereka semua begitu pedas). Begitu berbeda langit dan bumi dengannya.
Konflik dimulai ketika ia jatuh cinta pada kakak laki-lakinya dan secara kebetulan merupakan cinta pertamanya (sebagai anak laki-laki yang terjun dari tebing laut dalam satu-satunya film yang pernah diperankannya). Kemudian adik laki-lakinya pun yang sebelumnya sama-sama mencintai kakak laki-lakinya, mulai menyukainya dan jatuh cinta padanya. Kisah incest segitiga ini begitu satir sehingga membuat saya terbahak. Dalam komik ini perseteruan ini baru satu hal. Sang ibu begitu sering berganti-ganti pacar bahkan sempat hamil lagi namun keguguran. Sang ibu yang begitu galak dan sebenarnya hanya pernah mencintai satu orang dalam hidupnya (dan tidak kesampaian karena kesalahpahaman yang begitu rumit). Lalu perdebatan apa arti saudara sedarah dan tidak, sampai sejauh mana saudara sedarah menjadi begitu penting dan tidak penting. Ah, anda harus membacanya, saya tidak begitu berniat untuk membeberkan semuanya disini.
Ada satu karakter lagi yang cukup fenomenal dalam komik ini, yaitu pembantu nenek tua yang selalu sakit pinggang (dan digantikan oleh si gadis jelek jika ia sedang opname) sejak rumah itu ada. Ekspresinya selalu datar dan terkesan kaku. Namun satu komentarnya yang selalu saya ingat dalam komik itu adalah ketika sang gadis jelek bertanya:
“Nek, mengapa orang di rumah ini begitu kejam dalam berkata-kata? Bagaimana Nenek bisa tahan?”
Si nenek menjawabnya dengan tenang, “Tapi Nona, semua orang di rumah ini begitu jujur dan tidak pernah berpura-pura. Mereka selalu mengatakan apa yang mereka pikirkan. Itulah yang membuat saya bertahan disini.”
Yah, dalam keluarga yang terlihat ‘abnormal’ itu ada sebuah kejujuran yang mendasar. Kejujuran yang seringkali menjadi hal yang sulit dalam sebuah keluarga. Bahkan yang terlihat baik-baik saja.
#3: End note – Selamat dan selamat!
Namun di balik itu semua, keluarga-keluarga baru sedang berembrio. Beberapa bayi yang akan menjadi keponakan baru kami sedang dikandung. Beberapa kawan-kawan kami akan segera menikah. Beberapa memiliki kekasih baru. Beberapa mengangkat saudara-saudara baru.
Seorang kawan pernah berkomentar, hidup ini serupa lingkaran setan. Dilihat dari berbagai sisi apapun, hidup berupa sebuah lingkaran yang seolah tiada henti. Setan atau malaikat. Pilihan-pilihan seringkali datang tanpa terduga, tidak luput juga mengenai keluarga.
Apakah anda akan berkeluarga setelah membaca buku ini? Apapun yang akan anda putuskan. Selamat!
editor in chief