Seberapa tebal dukacita? Benarkah ia meniru lapisan bumi?
~ Sitayana, Cok Sawitri, 2019
Jika Rahwana bisa mengukur, berapa dalamnya duka akan cinta? Sedalam itulah duka Sita akan ketidakpercayaan, pengasingan dan penelantaran Rama, dan dalam kedalaman itu bumi memutuskan untuk menelannya kembali.
Bumidewi menerimanya kembali. Pada rahim yang terdalam.
Sita meninggalkan Kusa dan Lawa, anaknya, dan meninggalkan Rama sepenuhnya. Rama yang telah memenangkannya. Rahwana yang telah merebutnya namun sepenuhnya mencintainya, sepanjang segala masa.
Jika suara-suara Sita sekarang bergema dalam relung hati Rahwana. Bukankah cinta memenangkan segalanya ketimbang kuasa. Bukankah ketulusan hati dan cinta seorang raksasa pada akhirnya lebih berharga daripada keangkuhan seorang raja.
Jika Sita meminta keadilan kepada Agni, Dewi Api tak juga diakui di mata manusia. Betapa adilnya Bumidewi yang menyambut pulang anaknya kepadanya. Air mata kehilangan Rama tak berarti. Ia yang tak berbuat apa-apa, selain memenangkan perang pribadinya dan mencuci tangan atas prasangka-prasangka dirinya sendiri.
Yang tak terlihat bukannya tak merasakan. Yang tak melihat bukannya tak mengerti. Yang berbicara bukannya mengetahui.
Kulihat semakin sedikit manusia yang peduli dengan Bumidewi. Menelantarkan sekian sungai dan laut, membongkar gunung dan merusak daratan, meracuni diri sendiri dalam ketidaktahuan dan kebebalan, kehilangan kehormatan akan segala yang suci.
Sedalam lapisan bumi, dukaku merekah pada Bumidewi. Seperti kupasrahkan akan segala yang akan hadir dalam waktu dekat. Akan keadilan ombak dan rekahnya tanah. Akan tak berdayanya kita semua, jika mengerti seberapa dalamnya duka? Pada cinta tak berbalas dan tak lagi dihargai Bumidewi.
Di tempat yang lain, aku melihat bagaimana Dasamuka tengah mengumpulkan kepala.
Mencari Sita dan tetap mencintainya.