Kala (Waktu)

Waktu adalah suatu ruang yang gila dan sementara
Namun ia juga menyimpan misteri kehidupan dan kesabaran akan penantian

Batara Kala diciptakan dalam ketidaksengajaan
Sampai ia melahap bulan di suatu waktu

Sehingga Nirwana gonjang ganjing dan Batara Siwa pun harus turun tangan dari kahyangan

Pada waktunya, di detik di mana aku menemukanmu kembali
Tanpa harus meraih seluruh keberadaanmu di balik jeruji yang tak tersentuh
Pekatnya biru matamu
Yang membuat detak jantungku seolah berhenti di suatu waktu
Lalu jarak lautan yang membentang
Seolah menjadi alasan untuk terus menerus mengulur waktu

Apakah, apakah di waktu yang telah terlewati
Di sekian langkah yang kujalani di tanah Himalaya
Masih menjadi jejak di hatimu?

Aku tahu bahwa hal-hal inilah yang akan menjadi pertanyaan-pertanyaan besarmu
Namun aku pada saat ini lebih terpaku pada pertanyaan-pertanyaan yang kecil

Seperti waktu, aku butuh mengada
Berada dalam kekinianku
Yang tak lagi muluk
Namun menjejak di tanah di mana bumiku berpijak

Bahkan ketika Batara Kala melahap bulan
Aku tak lagi kehilangan waktu
Baik di Jawa
Baik di Himalaya
Jejakku adalah jalan setapak yang terlihat di bawah cahaya rembulan
Dalam kegelapan aku selalu menemukan jalan pulang

Karena sekian cahaya lilin di hatiku telah menerangi
Jalanku sendiri

Aku tak tahu lagi apakah jalanmu saat ini menuju Jawa
Akan menjadi terang yang sama

Pulang

Apa yang terjadi dengan rumah?

Jika makna rumah sekarang tersimpan dalam tatapan seorang laki-laki

Nun jauh disana

Yang jika kau menatapnya dalam-dalam, bening coklat retinanya akan menceritakan padamu sekian kisah

Sekian kehidupan lamanya

Sekian gunung, lembah dan gurun waktu

Kadang matanya seolah basah, menyimpan kesedihan dan kesepian dari sekian masa

Mata yang telah terkatup, tersimpan dalam gua-gua pertapaan di sepanjang Himalaya

Yang menyala ketika bertemu dengan Guru-guru tertinggi

Yang menyala ketika mencintai dan menebarkan sekian kasih sayang kepada semesta

Tapi perjalanan adalah misteri, dan bagi kita tak ada rumah yang kita papah

Pelukan adalah pilar yang tengah kita bangun dan genggaman adalah janji

Untuk selalu pulang dalam kedalaman tatapan masing-masing, karena bangunan bagi kita adalah kesementaraan

Karena yang fisik, tidak menyimpan memori, nostalgia maupun karma

Karena dalam tatapan, mata menyimpan segalanya

Bulan Mati Dua Tahun Lalu

Dua tahun lalu malam yang gelap

Serupa kiamat dari jeruji teralis kecil itu

Kau hanya mengingat senyum hangat yang lepas itu di jalanan kota Kathmandu

Satu-satunya nyala lilin yang bertahan sampai dua tahun kemudian

Hingga bulan lalu, senyum itu bergeser dari dalam dirimu dan kau mencoba baik-baik saja

Kau lupa, ia pun serupa angin dan pelabuhan baginya dapat berubah kapan waktu, ketika waktu telah habis dan arah kompasnya menunjukkan pertanda untuk mengangkat sauh

Kau lupa dan berharap ia akan menantimu sekian lama
Ia selalu butuh diyakinkan, sebagaimana ia selalu meyakinkanmu bahwa segalanya akan baik-baik saja

Sekarang Himalaya telah merengkuhnya dan ia terasa begitu jauh

Dirimu berpikir ulang akan matahari tropis dan pantai-pantai beraroma biru, pasir hitam dari letusan gunung berapi tengah menghiasi malam ini

Nyaris segelap malam dua tahun yang lalu

Memori akan senyumnya itu seolah tak akan lepas dan di ujung sekian kata, ia tetap tersenyum lepas dan kau tak tega