maka hari ini banderas di telingaku dan kahlo tergiang di mataku. terlalu banyak latino dalam bentuk imajiku. juga dewa-dewa dan kuil-kuil indian.

juga dirimu. yang terlalu. bermalam-malam yang lalu.

:KS, setelah re-start dan layar game over yang masih ter-cancel

dan aku telah salah mengambil jalan menuju jembatan serta pergi terlalu melayang menuju tempatmu. satu paviliun di siang yang sialan dan kehilangan semua arahku menujumu. it’s so not over. kau salah menekan sekian tombol di playstation-mu dan layarmu hanya mengatakan: re-start pada panah mengarah ke utara nyaris barat daya, aku.

siang itu lahir di antara satu tampilan vcd di layar komputermu yang tidak kita habiskan setengah ceritanya. juga lemon pie yang tergeletak mengangga di meja. satu botol orangtua masih menyisakan beberapa tetesnya di tepi botol sekian milimeter dari bekas bibirmu yang juga membekas di gelas anggurku.

orang-orang amish muncul dalam kepalaku dan juga desa-desa setelah orgasme.

lima belas menit setelahnya pada semua potongan langit-langit yang membentuk tiga puluh bentuk puzzle tiga dimensi akanmu, i soooo fuckin cried my eyes out. melankoli keanjing-anjingan yang jatuh pada sofa coklat abu-abu.

pada tatto kartun serangga di punggung kananmu dengan segenap kuku-ku aku ingin merajah habis tubuhmu. namun kau masih melarangku, mengangkat handphone dan melempar cium jauh pada sekian perempuan yang tidak pernah kukenal. aku nyaris berharap kita berdua berhenti pada hitungan angka-angka, sebuah rekor durjana yang selalu kita buat di tengah-tengah lomba hubungan yang absurd.

kau masih membajak di tengah-tengah kasur. kadang-kadang kasar dan kadang-kadang lembut. serupa ladang dan serupa kapal kayu tergeletak aku di dasar-dasarnya. aku tidak pernah ingat kau pernah mewarisi darah-darah yang agraris atau bau-bau asin lautan. namun pada sekian permukaanmu, tertinggal semua warisan sejarah yang nyaris bukan apa-apa bagimu.

aku mencuri telapak tangan kirimu setelah jarum jam menunjukkan pukul tiga sore. seperti peta-peta yang hilang dari tanganku, semua garis rajah tanganmu bertemu dengan telapakku serupa mesin fotocopy yang sempurna. aku juga masih tidak ingat tetesan tinta hitam yang membentuk garis-garis di bawah mataku.

seperti sungai yang terluka aku meninggalkanmu sesore itu dan layar masih berjalan, nyaris tidak pernah mendekati layar hitam dengan game over-nya yang memalu kita pada kehidupan.

seandainya semua pisuhan dapat keluar dari mulutku…

: tentang seorang lelaki di malaya

kau berharap aku akan selalu melihatmu. bahkan di antara percakapan-percakapan semu yang tak kunjung padam dari mulutku. namun semuanya seperti lidah api yang membara membakar hatimu. ketika nama-nama lelaki yang keluar bukanlah namamu. nama-nama sejarah yang terlalu panjang dan membentuk tragik sebuah drama.

seakan-akan kau berharap aku akan selalu melihatmu dan sungguh aku pun tahu itu. bahkan ketika dentingan gelas membakar kita dalam komplikasi pecahan peristiwa.

:lalu kau masih melihat tetapak santri di gang-gang menuju kotamu
dengungan megaphone yang pecah terpental dari tiang-tiang masjid
sungguh, lebaranmu tergores pada ingatan sebuah malam
yang berkali-kali kuingatkan — sungguh laknat dan abu-abu–

kau berharap aku akan selalu melihatmu. masih serta lalu.

bogor, 19 november 2004

:bangsat!

semua angka tiga belas muncul di ponselku. terlalu pagi bahkan untuk sebuah perang dini hari. angka-angka yang membuat onani membuncah bak serbuan pagi di sebuah metropolis yang ramai.

fuck me for another jakarta and welcome a day for an exact menstruation!