Pagi yang berkabut, segalanya bangkit dari aliran sungai yang bergemuruh semalaman. Seseorang duduk di pojokan dan menghadapi matahari yang merah tengah naik menembus subuh. Percakapan terjadi dengan penuh bisik tadi malam, dalam ranah bawah sadar yang bermuasal dari kerinduan yang purba.
Berapa banyak memori yang kemudian datang bagaikan kilat. Sedangkan hari belum genap siang. Pelukis tua itu masih bercakap, melukis pinggiran sungai dari ujung yang satu sampai ke ujung yang lain. Ia mencatat semua jejak, menyaksikan semua orang yang datang dan pergi, mendongeng dan bermain dengan siapapun yang mau mendengarkannya. Semuanya tumbuh. Semuanya lewat. Yang sementara menetap. Yang abadi bepergian.
Mantra dan doa tua berulang kali didengungkan. Denting lonceng mewarnai gelapnya sebuah candi. Air dari tengah pulau ini mengisi semua indra. Tidak ada relung yang tersisa, hingga semuanya menyatu dalam Pulau Jawa. Bahkan ketika berpamitan pun para leluhur tak mengijinkan kami pulang tanpa hujan yang bersahut-sahutan mewarnai jalan sehingga tak kelihatan.
Oh, di lapisan manakah, mereka memanggil.
Di lapisan manakah, kita menjawab.
Sedangkan di Jumprit, semua air suci terus mengalir, mengisi semua kehidupan yang melewatinya setiap hari.
Dan aku menujumu, tanpa kau jawab.
Jumprit-Eloprogo, Maret 2023, menuju Nyepi