Tak ada salju di musim dingin Kathmandu

:F.V.

Tak ada salju yang akan menyapamu di Kathmandu, sayangku

Dan aku tahu itu

Namun es akan terbentuk dalam kubangan-kubangan air

Lalu udara akan sedikit membeku di jam-jam tertentu

Langit akan sebiru matamu

 

Sebiru lautku, di sisi Selatan

Pada hari yang sebiru itu, aku akan menemukan jejakmu di atas pasir, di belahan dunia yang lain, yang suatu hari kita pijak bersama

Biarkanlah di malam yang terang setelah musim penghujan, aku merajut mimpi akan jalan-jalan yang telah kulalui denganmu dan jalan-jalan yang akan terbentang juga denganmu

Karena kembara adalah takdir pertemuan kita dan ini waktu di mana peta kita berhenti karena sebuah ciuman dan sekian pelukan, juga pegangan, tangan

Jika genggaman tanganmu kutemukan di malam-malam tak terlihat di belakang bukit Swayambunath, birunya matamu akan menuntunku di semua perjalananku ke Barat

 

Demi dewa tua dan yang baru, di musim semi selanjutnya, sesuatu yang tumbuh itu akan kita pegang bersama dan pelihara

A Letter for the Grandmother: Tethyst (1) – English

: Oma Leni Tanukusumah, and all the women elders and for Tethyst

As old as women, Gran. You are the oldest. The most ancient even. And you are the only grandmother that I had. And between all love and hate, on top of the remaining Tethyst Sea of most ancient, I prayed for you. Exactly at the Annapurna gate, that also reminds me of the abundance of all the taste of the food you ever cook for as long as you lived. Only for one reason: love. Your philosophy is simple. Food is love and your heart is the ongoing kitchen. Only that love that you know. The very only one.

And at 89 everything ends, with the bitterness of a broken heart. Also of a broken leg.

Ah, Gran, I hope everything ends anew and all that bitter can turn into goodness in your next cycle of life.

A red spot carry you to the gates of heaven, marking that your spirit going back to the sky. I threw dried fruits all over, to you, to Grandpa, to my father and mother. Among the snow in my face that day, to my eldest grandmother that I prostrated. To all four direction. In the central that I stand. Between Tethyst and Cimmeria.

Himalaya is a mountain range that always grow from time to time. Himalaya is one of the remaining oldest sea. Ancient sea between Gondwana and Laurasia. What happens if the highest mountain like Everest aka Sagarmatha aka Chomolungma has never been sure about their fix height. All the mountain summiters know very precisely that often the top of the summit is an illusion, because sometimes it seems to grow relentlessly. But in this century for now we agreed about a certain height. Just for now.

Then Gran, in every sea I would see you every time. In the side of the Indian Ocean. Either in the southern side of Java or the Western side of Australia. Not to mention the Northern part of Java Sea. Ah, and beside Mars, water take over my birth line. And to the Grandmother that I go. The Ancient mother.

In Sanur, I drown my head, floating in the lightness of the waves and found your embrace. The sun rises when I ran among the sand. And through the water, everything washed out. Through the water, our sadness was taken, also badluck and bitterness. Oh, through the South where all our prayers went. All river and water that comes down through the Himalayan glaciers. Grandmother, through you, Gran. We begin, we go and we end.

Sebuah surat untuk sang Nenek: Tethyst (1)

:Oma Leni Tanukusumah dan semua perempuan yang dituakan, demi para mamak tua dan demi Tethyst

Setua-tuanya perempuan, Nek. Kau adalah yang tertua. Yang paling kuno bahkan. Dan kau adalah satu-satunya nenek yang kupunya. Dan di antara segala cinta dan benci, di puncak sisa Laut Tethyst yang tertualah, aku mendoakanmu. Tepat di gerbang Annapurna, yang juga mengingatkanku pada kelimpahan semua rasa masakan yang pernah kau masak seumur hidupmu. Demi satu alasan: cinta. Filosofimu sederhana. Makanan adalah cinta dan hatimu adalah dapur yang mengepul. Hanya itu satu bentuk cinta yang kau tahu. Satu-satunya.

Dan di 89 segalanya berakhir, dengan sedikit pahitnya patah hati. Juga patah kaki.

Ah, Oma, semoga segalanya berakhir baru dan segala yang pahit akan berputar demi kebaikan dalam sekian roda kehidupanmu yang akan datang.

Bercak merah cahaya membawamu ke gerbang surga, menandakan naiknya ruhmu kembali ke langit. Aku melempar buah-buahan kering, padamu, pada opa, pada bapak ibuku. Dan di antara derap salju di wajahku hari itu, pada nenek tertualah, aku menyembah sujudku. Pada empat penjuru. Pada kakang kawah adi ari ari sedulur papat limo pancer. Di pusatlah aku menjejak. Antara Tethyst dan Cimmeria.

Om Tare Ture Tuttare Soha

Himalaya adalah sebuah satuan gunung yang terus menerus tumbuh dari masa ke masa. Himalaya adalah salah satu sisa laut yang tertua. Laut kuno di antara Gondwana dan Laurasia. Apalah jadinya jika gunung tertinggi macam Everest aka Sagarmatha aka Chomolungma puncaknya tak pernah benar-benar pasti ketinggiannya. Para summiters mengetahui dengan pasti bahwa kadang puncak adalah ilusi, karena seolah ia tumbuh tak habis-habis. Tapi untuk abad ini kita semua telah bersepakat akan masalah ketinggian yang pasti. Untuk saat ini.

Lalu, Nek, di sekian laut di mana aku menemuimu selalu. Di sekian sisi lautan Hindia. Baik selatan Jawa maupun sisi pantai Barat Australia. Belum lagi di Pantura. Ah, dan selain Mars, air menguasai garis lahirku. Dan kepada Neneklah aku menuju. Sang Ibu tua.

Dalam pesisir Sanur aku menenggelamkan kepalaku, mengapung dalam ringannya ombak dan menemukan pelukanmu. Matahari terbit ketika aku tengah berlari di atas pasir. Pada air, segalanya terbasuh. Pada air, kesedihan terlarung, juga kesialan dan kepahitan. Oh, pada Selatan di mana seluruh doa menuju. Semua sungai dan air yang turun dari gletser-gletser Himalaya. Nek, padamulah, Nek. Kami bermula, menuju dan berakhir.

Om Mane Padme Hum
Hong Wilaheng Sekaring Bawono Langgeng

(bersambung)

Lagi-lagi, Demi Perseus (di Hari yang Sama)

Seorang tukang batu dari India Utara, mencegatku di pinggiran alun-alun kota Kathmandu, sepulangnya dia menunaikan sholat Jumat. Ia mengomentari orang Kashmir, saudara tua yang dari jaman entah, yang kerumunannya kutemukan di Dharamsala, 816 orang di antara bangsa Tibet dan Yahudi. Ada yang absurd di kedai teh salah satu pass tertinggi Annapurna, bendera bintang daud yang tertempel di titik tertinggi 5416 meter ketinggian. Dua segitiga itu, menyatu. Aku meraba punggungku, seolah mengingat sebuah tatto yang masih terhutang dan terlupa di antrian tukang tatto, di hari lain di Kathmandu.

Bicara soal teh, seorang laki-laki Kashmir suatu sore mengajarkan cara membuat chai susu kental dengan benar. Dan percayalah seorang dari Mumbai di waktu yang lain, mengomentari chai buatanku persis rasanya seperti yang dijual di jalanan kota kelahirannya. Aku menganggap ajaran membuat teh itu sukses berat. Tapi aku menyukai teh khas Kashmir, kahwa, yang diselingi wangi safron, mawar, kapulaga, almond dan kadang pistachio. Lalu di sore akhir musim dingin itu aku mendengar sebuah cerita tentang Jusuf.

Percayalah, Perseus, tidak ada gunanya menghindari Centaurus. Namun cerita Jusuf akan mengajarkan bagaimana caranya menjinakkan Centaurus. Bagaimana sesungguhnya segala yang literal dalam teks-teks yang bertebaran dalam kitab-kitab adalah rahasia para juru tulis dan kita jauh dari gempita keluguan dari terlalu banyak masa.

Cerita Jusuf adalah versi manusiawi dari salah satu nabi utama dan bagi beberapa pihak adalah yang terakhir sebelum kiamat tiba. Jusuf adalah pembalikan dari kemartiran dan kejayaan pasca surgawi. Jusuf adalah sesuatu yang jauh dari janji-janji surga. Adalah seorang Jusuf yang pergi menaiki karavan para pedagang dan tiba di Ladakh, jauh ketika ia belum menginjak usia tiga puluh tahun dan masih remaja ingusan. Catatan para biksu di Ladakh, mencatat seorang Jusuf mempelajari bagian dari Boddhicita dan pada akhirnya menyebarkan ajaran mengenai cinta kasih ke arah Barat. Jejak aksara para biksu tercatat di balik jubah merah sang nabi sebagai sisa bahan arkeologi. Dan skenario kebangkitan dirinya di hari ketiga, membawanya tidak terbang ke langit sana, namun di balik para murid yang setia (dan berahasia), ia pergi nun jauh ke daratan Kashmir. Jejak kakinya diabadikan di sana dan sosok Jusuf dihormati oleh para Muslim sebagai juga salah satu nabi utama mereka. Mereka menghormati kematiannya dan jasadnya yang fisik, sebagaimana separuh bumi ini masih memuja kematian non-fisiknya. Bagi orang Kashmir, Jusuf berakhir dengan damai dan biasa-biasa saja.

Jadi tombak Centaurus adalah lagi-lagi masalah perspektif, senjata melawan ketakutan yang terbesar adalah menerima kenyataan dengan berbesar hati. Kematian tidaklah selalu kematian, pada Jusuf dan juga pada namanya yang lain adalah sebuah kelahiran kembali. Ingatlah, ajaran ini: jika seseorang menampar pipi kananmu, maka sodorkanlah juga pipi kirimu. Kurasa pada akhirnya memeluk Centaurus dan menawarkan dadamu kepadanya adalah sebuah jalan keluar dari ketakutanmu sendiri. Dan itulah inti ajaran akan kasih. Melakukan hal-hal yang di luar dugaan dan reaksi. Atau bahkan hal-hal yang biasa-biasa saja. Bahkan kematian pun percayalah, dalam hitungan bisnis, ia adalah bisnis yang akan bertahan selamanya seperti juga kelahiran.

Aku teringat bahwa terlalu banyak orang ingin menjadi luar biasa hingga terlupa untuk menjadi biasa-biasa saja.

Di ujung ekor Scorpio ini, sudah waktunya debu-debu kita bersihkan dari kitab-kitab yang telah lama menunggu untuk kita baca ulang. Dan percayalah profesi tahunan yang telah kita geluti selama ini, Perseus, adalah masalah interpretasi. Namun kitab bumi dan juga kitab langit adalah teks yang berbeda dalam hal skala.

Di gunung, aku menemukan jejak Tethyst. Di laut dan di sungai, aku menemukan jejak kawanan Achilles yang siap bertempur. Tak ada yang terbuang, percayalah, dari segala ke-random-an semua teks yang datang kepadaku dan kepadamu. Bahkan Mbah Google pun telah siap menjadi Mbah tertua di muka wifi semesta. Si pohon tua.

Maka, Perseus, ini adalah waktunya akar membenam kuat ke dalam tanah dan batang pohon tumbuh mencapai langit. Di antara daun-daun yang bermekaran, kitalah para pembuat jembatan menuju pelangi para bintang. Untuk kembali pulang.

Demi Perseus

:dan segala usaha untuk mencatat ingatan, juga perjalanan

Lidahku masih terasa sedikit masam dengan kuah santan bubur mutiara yang kubeli di Pasar Legi tadi pagi. Lalu catatan kedatangan Algol di terasmu tadi siang membuatku menatap langit yang banjir dengan sebentar saja. Lalu catatan ini dimulai. Setelah kehilangan satu bundel catatan untuk seorang peri di jalan tol melintasi sungai-sungai Himalaya bulan kemarin, semesta memaksaku untuk mengulang ingatan kembali. Mengasahnya bagai pisau dan menancapkannya dengan tepat, pada siapapun yang dituju. Ini seperti sebuah surat balasan atau juga mungkin usaha menulis diari yang terbatas di kalangan sendiri.

Sudah sekian hari (atau mungkin tahunan) kita mencoba men-download semua informasi dengan kabel wifi yang bertahun-tahun dipaksa menjadi 4G sebelum waktunya. Kita selalu beralasan perangkat kita itu dari dunia ketiga, namun alasan tinggal alasan, di dunia ketiga kita selalu dipaksa kreatif dengan segala keterbatasan yang bersifat fisik. Tiba-tiba saja peta konstelasi tertebar di terasmu dalam sebuah upaya menyusun kandang kucing. Aku menemukan peta-peta lainnya di sebuah meja kayu kerajaan di pulau bernama Dragonstone dan legenda-legenda Valyria. Dua ratus tahun setelah naga benar-benar punah dalam sejarah mereka. Lalu kembali mewujud menjadi tiga ekor naga imut-imut dari balik api kremasi, dibayar cinta dan nyawa. Aku jadi ingat kau menyebut Hydra. Belum lagi mayat-mayat zombie dari Utara yang bermata biru layaknya batu safir yang menyilaukan. Nafas mereka lebih dingin dari badai salju. Ah, drama. Juga suntikan sekian adegan brutal dan seks yang membuat Holywood sungguh kaya raya dengan serial film yang dibuatnya. Tapi sejarah Westeros ini sampai di pangkuanku atas pesanan seorang peri yang tengah terkurung. Satu-satunya dunia ekapisnya adalah Westeros. Yang dibaginya dengan sekian juta penggemar fiksi fantasi di planet ini. Juga aku. Sayang tiga seri awal kitab itu kutinggalkan di Kathmandu. Mungkin belum waktunya bagimu untuk turut membacanya.

Oh dan satu lagi, si peri ini lagi-lagi mengirimkan aku gambar-gambar flower of life yang dia bikin dengan koin recehan. Aku rasa dia semakin terobsesi dalam kurungannya saat ini. Tapi kode itu mewujud dalam mimpi seorang kawan, bahkan dua kawan, bahkan berubah warna pula. Lama-lama wujudnya kaya tanda charger semesta warna pelangi yang sudah penuh di lenganmu. Aku membayangkan peradaban di Mars dengan mendadak, lalu teringat John Carter. Jelas-jelas Edgar Rich Burroughs tidak sekedar membuat fiksi murahan. Mars, panasnya api dan ada tiga Mars menandai garis hidupku. Seorang perempuan India tahun lalu mengomentari garis hidupku dengan sebuah keheranan bagaimana aku tidak mati kebakaran hidup-hidup, ketika dia membuka data lahirku.

Mungkin itulah kenapa es krim selalu menjadi adiksiku, hidupku terlalu panas dan panasnya udara tropis akhir-akhir ini menggila dalam kepalaku. Untung musim hujan datang dan untung lagi aku besar di kota hujan kedua di negara ini. Jadi setidaknya selalu ada usaha-usaha untuk mendinginkan kepalaku dan yang lebih susah sebenarnya mendinginkan hati. Mungkin lagi karena itulah Himalaya memanggilku dan melempariku dengan butiran-butiran es yang hangat sebagai tanda selamat datang. Aku pulang dengan membawa sahabat baru: musim dingin dari Utara.

Dan di sanalah kita menemukan jejak bintang serigala itu. Serigala salju peliharaan anakku yang lalu. Putih serupa malaikat dan hampir mati di tengah-tengah badai, sebelum si anakku yang lalu itu menemukanmu dan memeliharamu seperti anjing walaupun sudah kubilang berulangkali jika kamu adalah seekor serigala. Setiap kali aku menatap seekor anjing Siberian huskie, aku berpikir mungkin ada jejak sukumu di sana yang tersisa. Oh iya, aku lagi-lagi lupa bilang, di Westeros ada yang namanya direwolf, ukuran raksasa jika dibanding serigala biasa dan di sana ada satu ekor yang albino, bermata merah dan berbulu putih, namanya Ghost. Serupa hantu. Dan orang-orang Utara ini mereka menyembah pohon yang bermata hidup. Godswood. Itu kata mereka. Beberapa bulan terakhir aku terjebak di hutan mereka dan sulit untuk keluar. Betapa fiksi adalah dunia itu sendiri. Kita baru saja menyebut perihal itu kemarin sore ketika sedang menunggu hujan rintik.

Anakku tengah menghapal semua totem seperti menyerap sebuah ilmu. Kadang bahkan ia mendeskripsikan semua auman, embikan dan cicit para binatang itu dengan tiba-tiba. Masa robotiknya sudah lewat dan garis-garis sketsanya entah mengapa menjadi semakin tajam. Seperti ramalan terkadang.

Tidak ada yang absolut selain vodka. Tulisku sekian dekade yang lalu. Tidak ada yang absolut dalam sebuah ramalan, itu adalah fakta yang sungguh kita berdua mengetahui dari mulut-mulut busuk malam Jumat Kliwon, serta sesi yang diiringi wangi klembak menyan. Kehendak bebas terkadang seperti menggeser sesuatu sekian derajat untuk hasil yang berbeda di masa depan. Kehendak bebas terkadang rasanya seperti melawan nasib. Kehendak bebas adalah kebebasan kita sebagai mahkluk hidup untuk menentukan masa depan yang ingin kita jalani.

Kesadaran adalah gelombang. Riak-riak itu sedang membiak sekarang. Perseus, saat ini referensiku tentang Andromeda hanyalah karakter dalam Saint Seiya. Dan betapa hitsnya kartun itu di generasi kita. Tujuh saudara perempuan, sudah selesaikah kau dalam misimu untuk menemukan hitunganmu yang genap?

Demi Perseus, ini hanyalah ceracau dan kepalaku penuh kabel Medusa. Adakah pedang dengan besi Valyria yang sanggup memenggalnya satu demi satu?

Dan pada Ingatan Senja di Atas Bukit

:F.V.

Siang ini surat itu masuk dan membuatmu mengingat sebuah ciuman pertama, di tepi bukit sebuah kuil. Di tebing sebuah hutan.  Lalu malam yang tiba dan memori yang memanjang. Jejak tubuh yang masih membekas sepanjang tahun. Sekian jam yang menjadi ingatan. Lalu segala yang tertahan dan juga tertunda. Malam yang diterangi cahaya lilin di pojokan sebuah kamar lantai empat ibukota yang tua dan waktu yang melambat.

Ada rasa membuncah dari dalam. Seolah sesak. Hujan pertama musim ini yang membasuh dada. Tidur yang sebentar namun lama. Hari yang sudah genap malam. Malam kesekian di mana kau telah mengingat kembali sosoknya. Di hari yang tak genap empat puluh delapan jam.

Ciuman yang sebentar. Separuh basah. Lalu senja menghangat tertimpa di wajah dan kuak suara burung-burung berterbangan tak tentu arah. Apa yang terjadi setelahnya telah membanjir dalam isi kepalamu dan mencari celahnya bagai sekian mantra doa yang selalu kau ulang, dari hari kau tak lagi dapat merengkuhnya.

Dan hari-hari berikutnya yang tak mengijinkanmu mengucapkan padanya sebuah selamat tinggal. Lalu sebuah janji untuk kembali melihatnya di bulan Maret. 185 hari lagi, untuk menggenapi setahun dirinya berada dalam selubung yang gelap. Surat-surat yang berdatangan dan pergi adalah sekian usaha untuk memelihara harapan. Tak hanya baginya, namun juga bagimu.

Pada segala yang sebentar, dengan penuh sadar, kau mengingat kembali 48 jam yang kau habiskan bersamanya. Pada sekian rasa hangat. Ia akan melewati seluruh musim dingin tanpamu di kota tua yang sama.

Bersama surat-surat yang kau kirimkan padanya, segala cinta yang kau kirimkan adalah setiap percikan api unggun yang menghangatkan segalanya.