Seorang tukang batu dari India Utara, mencegatku di pinggiran alun-alun kota Kathmandu, sepulangnya dia menunaikan sholat Jumat. Ia mengomentari orang Kashmir, saudara tua yang dari jaman entah, yang kerumunannya kutemukan di Dharamsala, 816 orang di antara bangsa Tibet dan Yahudi. Ada yang absurd di kedai teh salah satu pass tertinggi Annapurna, bendera bintang daud yang tertempel di titik tertinggi 5416 meter ketinggian. Dua segitiga itu, menyatu. Aku meraba punggungku, seolah mengingat sebuah tatto yang masih terhutang dan terlupa di antrian tukang tatto, di hari lain di Kathmandu.
Bicara soal teh, seorang laki-laki Kashmir suatu sore mengajarkan cara membuat chai susu kental dengan benar. Dan percayalah seorang dari Mumbai di waktu yang lain, mengomentari chai buatanku persis rasanya seperti yang dijual di jalanan kota kelahirannya. Aku menganggap ajaran membuat teh itu sukses berat. Tapi aku menyukai teh khas Kashmir, kahwa, yang diselingi wangi safron, mawar, kapulaga, almond dan kadang pistachio. Lalu di sore akhir musim dingin itu aku mendengar sebuah cerita tentang Jusuf.
Percayalah, Perseus, tidak ada gunanya menghindari Centaurus. Namun cerita Jusuf akan mengajarkan bagaimana caranya menjinakkan Centaurus. Bagaimana sesungguhnya segala yang literal dalam teks-teks yang bertebaran dalam kitab-kitab adalah rahasia para juru tulis dan kita jauh dari gempita keluguan dari terlalu banyak masa.
Cerita Jusuf adalah versi manusiawi dari salah satu nabi utama dan bagi beberapa pihak adalah yang terakhir sebelum kiamat tiba. Jusuf adalah pembalikan dari kemartiran dan kejayaan pasca surgawi. Jusuf adalah sesuatu yang jauh dari janji-janji surga. Adalah seorang Jusuf yang pergi menaiki karavan para pedagang dan tiba di Ladakh, jauh ketika ia belum menginjak usia tiga puluh tahun dan masih remaja ingusan. Catatan para biksu di Ladakh, mencatat seorang Jusuf mempelajari bagian dari Boddhicita dan pada akhirnya menyebarkan ajaran mengenai cinta kasih ke arah Barat. Jejak aksara para biksu tercatat di balik jubah merah sang nabi sebagai sisa bahan arkeologi. Dan skenario kebangkitan dirinya di hari ketiga, membawanya tidak terbang ke langit sana, namun di balik para murid yang setia (dan berahasia), ia pergi nun jauh ke daratan Kashmir. Jejak kakinya diabadikan di sana dan sosok Jusuf dihormati oleh para Muslim sebagai juga salah satu nabi utama mereka. Mereka menghormati kematiannya dan jasadnya yang fisik, sebagaimana separuh bumi ini masih memuja kematian non-fisiknya. Bagi orang Kashmir, Jusuf berakhir dengan damai dan biasa-biasa saja.
Jadi tombak Centaurus adalah lagi-lagi masalah perspektif, senjata melawan ketakutan yang terbesar adalah menerima kenyataan dengan berbesar hati. Kematian tidaklah selalu kematian, pada Jusuf dan juga pada namanya yang lain adalah sebuah kelahiran kembali. Ingatlah, ajaran ini: jika seseorang menampar pipi kananmu, maka sodorkanlah juga pipi kirimu. Kurasa pada akhirnya memeluk Centaurus dan menawarkan dadamu kepadanya adalah sebuah jalan keluar dari ketakutanmu sendiri. Dan itulah inti ajaran akan kasih. Melakukan hal-hal yang di luar dugaan dan reaksi. Atau bahkan hal-hal yang biasa-biasa saja. Bahkan kematian pun percayalah, dalam hitungan bisnis, ia adalah bisnis yang akan bertahan selamanya seperti juga kelahiran.
Aku teringat bahwa terlalu banyak orang ingin menjadi luar biasa hingga terlupa untuk menjadi biasa-biasa saja.
Di ujung ekor Scorpio ini, sudah waktunya debu-debu kita bersihkan dari kitab-kitab yang telah lama menunggu untuk kita baca ulang. Dan percayalah profesi tahunan yang telah kita geluti selama ini, Perseus, adalah masalah interpretasi. Namun kitab bumi dan juga kitab langit adalah teks yang berbeda dalam hal skala.
Di gunung, aku menemukan jejak Tethyst. Di laut dan di sungai, aku menemukan jejak kawanan Achilles yang siap bertempur. Tak ada yang terbuang, percayalah, dari segala ke-random-an semua teks yang datang kepadaku dan kepadamu. Bahkan Mbah Google pun telah siap menjadi Mbah tertua di muka wifi semesta. Si pohon tua.
Maka, Perseus, ini adalah waktunya akar membenam kuat ke dalam tanah dan batang pohon tumbuh mencapai langit. Di antara daun-daun yang bermekaran, kitalah para pembuat jembatan menuju pelangi para bintang. Untuk kembali pulang.