Antara Kau, Kenangan Lama dan Kamar Mandi
Aku bermimpi, kita sedang berangkat ke sebuah pesta. Pesta pernikahan seorang kawan lamaku, yang megah , yang serba-wah. Aku sungguh-sungguh tidak mengenalimu, aku tak ingat sejak kapan kau memotong rambutmu. Benar-benar hanya satu sentimeter di atas kulit kepalamu. Aku tidak percaya, bahkan jika benar-benar hanya mimpi.
Kukira rambutmu adalah nyawamu.
Kau memakai sebuah jaket merah, sekilas kau seperti salah satu kawan baikku yang sedang di Indonesia bagian ujung timur sana. Kau berjalan begitu cepatnya, tanganku mencoba meraihmu, sekedar menapak punggungmu mencari jejakan yang pasti. Tetapi kau pergi begitu saja, seolah-olah sejarah tidak pernah dituliskan di sepanjang punggungmu. Aku tiba-tiba merasa jengah.
Pesta pernikahan yang aneh, kita bagaikan di tengah-tengah sebuah altar gereja, menyaksikan pemberkatan. Lalu kita menyalami kedua pasang pengantin yang berbahagia itu, sambil disuguhi satu lintingan mariyuana setelah bersalaman. Kau lalu menghilang lagi.
Aku pergi ke balkon, sambil menuntaskan satu lintingan mariyuana itu. Menyengat dan tiba-tiba dadaku perih. Kehilanganmu di mimpi ini untuk kesekian kalinya. Temanku yang menikah tadi, menghampiriku dan berkata ia melihatmu sedang menuju kamar mandi.
Temanku menawarkan makanan-makanan yang terhampar, bahkan untuk aku bawa pulang. Aku setuju saja, aku malas makan dan lebih baik kubawa pulang.
Lalu aku menyenggol seseorang, fuck, makanan jadi berhamburan. Fuck again, adalah dia yang menggoncangkan beberapa tahun remajaku yang sudah lalu dan lalu. Sekarang dia menggoncangkannya lagi di pesta ini. Kau ada dimana? Masih di kamar mandikah, ketika bumi sudah porak poranda?
Kau dimana?
Dia berkata maaf dan membantuku memunguti makanan yang sudah berhamburan. Kulihat sekilas temanku mengerlingkan matanya kepadaku, tanpa aku mengerti apa maksudnya. Sama sekali.
Sama sekali ia tidak berubah. Lekuk wajahnya, warna kulitnya, matanya dan bahkan potongan rambutnya. Oh, tidak, jangan sekarang, tidak di pesta ini dan ketika kau sedang di kamar mandi. Dia tersenyum dan dia mengenaliku. Mengenaliku sebagai seorang gadis yang dulu berumur tiga belas tahun, memandanginya dengan seksama di seberang balkon sekolah menengah. Ini tidak adil, itu tujuh tahun yang lalu, kenapa dia masih mengenaliku?
Dan kenapa dia mengucapkan hai seperti itu, dan lama tidak bertemu seperti itu. Ia tidak pernah menyapaku selama tahun-tahun yang bisu itu, tetapi sekarang? Setelah tujuh tahun berlalu, dia melempar semua ke mukaku. Aku tidak tahu, harus berkata apa. Apa-apa yang tujuh tahun yang lalu mungkin seharusnya terjadi. Tetapi lagi, itu tahun-tahun yang bisu.
Dia bilang aku makin cantik. Fuck, aku hanya bertambah lima sentimeter, bertambah hitam legam, berkacamata, memanjangkan rambutku sampai melewati bahu dan semakin kurus saja.
Laki-laki, kalian memang benar-benar setan yang kesiangan.
Dia bilang ayo kita ngobrol di balkon.
Balkon adalah tempat kami berdua bersitatap, entah saling mengetahui atau tidak. Bertahun-tahun yang lalu, ketika masa remaja masih bersipu-sipu malu. Balkon konyol yang sudah menyaksikan entah berapa kisah cinta bertahun-tahun ia berdiri. Terakhir kudengar balkon itu sudah hilang, lenyap dan diganti dengan gedung yang lebih baru.
Balkon, ini tidak mirip, tetapi pemandangannya cukup luar biasa. Menghadap laut, bau asin mengendap dalam udara. Balkon yang luar biasa untuk senja yang tidak biasa. Kami berdiam sejenak, menikmati matahari yang tenggelam, kenangan yang tenggelam.
Aku selalu ingin mengajakmu kencan, kau tahu itu?
Aku tersentak. Aku tidak tahu itu.
Kupikir sekarang sudah terlambat bukan? Aku melihat kau datang dengan seorang laki-laki, aku bertemu juga dengannya di kamar mandi.
Di kamar mandi? Kau masih disana? Sewaktu aku harus menerima kenyataan seperti ini?
Kupikir dia hanya tertawa melihatku saat ini, mengenang diriku sebagai salah satu fans-nya yang melihatnya dari ujung balkon tujuh tahun yang lalu. Diriku yang sewaktu melihatnya sudah bergembira sedemikian rupa dalam hati. Hal itu tidak pernah terpikirkan waktu itu. Terlupakan begitu saja, seiring tahun-tahun berlalu, dan berakhir sebagai satu kenangan manis masa remaja yang singkat.
Aku,…aku tidak tahu itu, sahutku.
Dia menghela nafasnya.
Kau benar-benar kesiangan.
Yah, aku pun tidak menyangka bertemu lagi denganmu disini. Lalu bertemu dengan laki-lakimu juga.
Aku pun tidak.
Kau masih menunggu dia bukan? Sepertinya dia masih di kamar mandi sejak tadi. Ada yang tidak beres dengan perutnya mungkin?
Yah, mungkin. Sahutku pendek.
Bagaimana, kalau kita menunggunya sambil berjalan-jalan ke bawah sana. Kau mau?
Ajakannya tiba-tiba saja kujawab dengan genggaman tanganku di sela-sela jemarinya. Tersihir begitu saja dengan kenangan lama. Meninggalkanmu begitu saja di kamar mandi. Tiba-tiba saja kami tengah berjalan berdua di antara pasir dan dentuman ombak. Menjauh dari keramaian di atas balkon tadi. Kegelapan menaungi, cahaya hanya muncul dari atas balkon dan bulan purnama yang sedang beranjak.
Aku mengangkat sedikit gaunku dan melepaskan kedua sepatu hak tinggiku. Ia menuntunku dan menawarkan untuk membawakan sepatuku. Aku menurutinya begitu saja. Lalu kami menemukan tempat duduk yang dibalut batu-batu karang, Seperti gua kecil yang terbuka di tengah-tengah hamparan pasir, nyaris seperti benteng perlindungan di tengah-tengah perang gurun.
Kami duduk, bersebelahan, mengamati ujung ombak yang samar-samar mencapai pantai, lima meter jauhnya di depan kami. Sunyi, laut di waktu malam.
Kau sudah banyak berubah ya? Ia memecah kesunyian. Mungkin saja, tujuh tahun bukan waktu yang pendek.
Sebenarnya aku selalu mencarimu di sela-sela liburanku, tetapi katanya kau sudah pergi jauh waktu itu. Sudah pindah ke kota lain, ke negara lain.
Memang benar, tetapi aku sudah kembali dan kebetulan sekarang sedang di kota ini.
Suatu keberuntungan. Dia berkata sambil tersenyum manis. Oh tidak, ia tersenyum manis, di saat seperti ini. Dan ketika aku tidak mengkhawatirkan dirimu lagi di kamar mandi. Ia mulai menyentuh wajahku. Melepaskan kacamataku. Berkata aku cantik sekali lagi, mencium pipiku, mencium bibirku pelan dan panjang.
Aku kehilanganmu, sewaktu ia mulai menanggalkan tali gaunku dan kami menenggelamkan desahan di antara bunyi ombak yang memecah pantai.
Ketika air sudah mulai mendekati ujung telapak kaki kami, kami berhenti dan aku tersadar. Memunguti potongan-potongan baju dan juga sepatu. Aku memutuskan untuk kembali ke pesta. Ia mencoba menghentikanku, tetapi aku berkata, ada yang sudah menungguku.
Ia sejenak terlihat murung, seolah mencoba mencari alasan untuk menahanku. Tetapi aku tidak menengok untuk sekian kalinya.
Selamat tinggal, kenangan lamaku. Aku segera menuju kamar mandi, untuk membetulkan dandananku dan mencarimu.
Setelah membereskan dandananku, aku mengetuk pintu kamar mandi bagian laki-laki, ternyata tidak terkunci. Aku memanggil-manggil namamu. Tidak ada jawaban. Kulihat pintu wc yang di pojokan tertutup. Aku mengintip di bawahnya, benar itu kaki dan sepatumu.
Aku memanggilmu sekali lagi dan membuka pintu wc tersebut. Pelan-pelan, yang sekali lagi tidak terkunci itu. Namun pemandangan di depanku membuat tenggorokanku tersekat. Kenangan lamaku sudah merobek perutmu, menyisakan percikan darah di jaket merahmu.
Aku menangis sendirian di kamar mandi. Sendiri dan benar-benar kehilanganmu.
—
Aku terbangun. Mimpi sialan, kau mati semudah itu!
Bendasari, 9 Agustus 2003