VI.
kau adalah adam yang mendekam di dalam tulang rusukku. adam yang sewaktu-waktu muncul dan mengingatkanku untuk selalu waspada akan jalan-jalan. seorang adam yang selalu mengacaukan lintasan tata suryaku yang kesekian. adam yang akan selalu muncul dalam peran-peran bajingan.

adalah kau yang akan selalu mematikanku dari belakang, menghunusku tanpa memberikanku ruang persiapan, selain terhenti dalam suatu waktu dan sungguh saat itu memori ingatan menjadi amat mematikan. mengapa kau menawarkanku sepotong daging kegelisahan untuk kutelan kembali. kau sudah lupa bahwa aku sempat menjadi vegetarian? kau sudah lupa ketika kegelisahan nyaris membuat kita sama-sama gila. lihat kita sekarang, sepasang kanibal yang sedang memamah hati kita satu dengan yang lain.

kita kemudian membangun suatu bentuk cinta dari reruntuhan dan remah-remah roti. suatu bentuk cinta yang akan dikutuk peradaban mana pun, percayalah karena kita hidup dalam alam yang penuh kemunafikan, dimana kejujuran tiada artinya lagi. kita terkadang begitu jujur dengan diri kita masing-masing sehingga meninggalkan makna kesucian di sebuah lorong panjang dan gelap.

malam tiba, hujan tiba dan fragmen-fragmen dirimu membentuk serbuan migren di kepalaku. kau, sosok adam yang bajingan yang datang padaku suatu malam.

VII.
ini hanya jika kita berlintasan jalan lagi ketika kita sedang berjalan ke utara atau ke selatan, atau hanya berdiam di tengah-tengah. ini hanya jika. jangan kau lupakan bau-bau malam yang akan mengalir di antara nafasmu, yang seringkali sesak, mendesakmu untuk menjatuhkan badanmu walaupun tidak sampai kecelakaan. ini tentang jalan-jalan yang pernah kita lalui, malam-malam sekali.

ketika itu kota sudah mati, lampu-lampu mulai padam dan hanya menyisakan kita menyusuri kota dalam kegelapan yang amat sangat. bau-bau malam yang mendekati kemenyan dan wangi bunga melati menusuk inderaku bahkan mengalahkan bau tubuhmu yang melekat berhari-hari. tetapi kemanapun aku menengok aku akan selalu kehilanganmu.

aku memilihmu hilang, moksa ke dalam suatu bentuk yang tidak akan bisa kupahami lagi. suatu bentuk yang tidak akan bisa kujangkau lagi, kecuali bau-bau malam di dekat onggokan istana-istana tua.

V.
begitu saja runtuh dan terhenti, kita runtuh di depan diri kita masing-masing. benar-benar sepasang cermin yang retak, tidak sempurna dan hanya mengulang imaji-imaji yang sama. puluhan sudah berakhir, sekian hari sudah berakhir, tetapi baumu menyentuh ulang benda-benda yang kupegang, benda-benda yang begitu dekat denganku. ini pengkhianatan terhadap wewangian, terhadap kuasa dan kendali yang sedang kulakukan.

seolah-olah schizophrenia memenuhi ruang, membuat dua luka besar yang begitu parah di jaringan otak, sehingga pengkhianatan tidak dapat dihindarkan. aku sudah menduga itu yang akan keluar dari berbagai mulut dan kepala. bagiku pengkhianatan terkadang menjadi sesuatu yang teramat manis. karena memang benar, kesetiaan adalah sesuatu yang kurang meyakinkan.

ada sesuatu yang menutup hari dan membuatnya tidak pernah selesai. dan itu sosokmu, yang benar-benar menghilang kembali dalam kegelapan. kau benar-benar laki-laki hitam kelam dan tidak pernah terpegang. luruh dalam genggaman jemariku. benar-benar luruh dan runtuh.

IV.
apa yang akan menjelaskan kelima jarimu yang terluka, tidak hanya di tangan kiri, tidak hanya di sebelah kiri dadamu yang tergores-gores. kau yang melibat dirimu dengan tali, menyalib dirimu sendiri dan menjatuhkan dirimu dari menara dengan ketinggian kesekian. aku melewatkanmu, begitu saja, tanpa aku sadari. aku pun bukan seorang bunda maria yang menangisimu dan menurunkanmu dari salib. kau berhasil turun sendiri, tanpa mati dan bangkit di hari ketiga.

itulah dirimu, dalam segala rangkuman empat ratus hariku, yang kini lebih lima hari, setelah kita kembali bertemu. pasir-pasir pantai malam itu tidak berbicara apa-apa, hanya malam, yang mendekati kekelaman yang sama dengan baju hitammu. kau yang hitam dan tanpa nama, pecah dalam semesta langit jawa. malam yang pecah dan benar-benar tanpa nama, bahkan aku, bahkan aku!

seperti di awal semesta, sewaktu segala sesuatu belum lagi bernama, kegelapan yang pekat memenuhi langit, bulan cekat dan kamar dengan sekat-sekat. dua puluh empat jam yang panjang lamanya. geliatmu ekspresimu mulai menghancurkan segalanya. ekspresimu yang terkadang dingin dan hangat, gelap namun menyenangkan, wajah itulah lambang sejarah yang tidak pernah selesai. kita yang tidak pernah selesai di suatu waktu.

apa-apa yang tidak selesai, selalu menganggu tidur kita. nyenyak tidak pernah ada di kamus perbendaharaan otak kita. karena ide-ide revolusi seperti embrio yang semakin membesar, seperti kanker otak yang tidak terhentikan. tetapi lagi, revolusi bukanlah makan pagi kita, bukan apa-apa yang terhidang di meja makan kita. tidur kita seperti saling menelanjangi diri. tanpa apa-apa, tanpa siapa-siapa.

ada sesuatu yang memaksaku menengok ke arah tatapan matamu. berkali-kali lagi, tanpa jeda dan rasa sedih yang selalu merubungi kita. kita memang orang-orang yang menyedihkan, tetapi kesedihan tidak menghalangi kita saling menikmati satu dengan yang lain, menikmati kehidupan yang walaupun nyaris membusuk dan sedih, tetap dan tetap saja kita nikmati. berkali-kali, berkali-kali, kita tidak pernah selesai, selalu dan selalu tidak pernah selesai.

apa yang menjadikan kita tidak pernah menemui batas halaman akhir, kertas-kertas yang habis, bahkan jutaan kata yang sudah kita lewati bersama? bahkan selama itu, selama empat ratus lima hari.

III.
memang benar ada sesuatu yang pahit tengah mengudara, sesuatu yang pahit itu adalah pembunuhan yang pernah kita sama-sama lakukan. kupikir kita sudah saling membunuh di suatu waktu. membekukan kenangan dan melemparnya ke lautan dalam. kukira seperti itu. tetapi kini bau tubuhmu masih saja menempel di tubuhku. aku tak ingin mencucinya sampai tujuh hari.

peta apa yang tengah kau goreskan? lagi untuk kesekian kali, setelah empat ratus hari. kita tidak mungkin berhenti lagi, lalu sekali lagi melakukan pembunuhan atas nama kenangan. karena kita sudah muak menghitung senja yang kesekian.

kau hadir tiba-tiba muncul dari kegelapan, memang masih malam. tetapi kehadiranmu lebih kelam daripada malam. menyeretku begitu saja dalam kegelapan yang menyenangkan. menarikku dari kebusukan senja.

kita lalu bergumul dalam teks, dalam naskah drama, dialog dan monolog yang kita lakukan sendirian, sepi dan tanpa pemandangan pantai. dalam satu kali dua puluh empat jam, sampai kusut, sampai luruh kesemua-muanya. menjadi potongan teka-teki kata yang tidak terjelaskan oleh logika teks manapun.

aku tidak bisa menjelaskan apa yang ada di hadapanku pagi itu, seorang laki-laki yang sedang sunyi sendiri!

Lelaki yang sedang sunyi sendiri di suatu pagi

Kau tak terganggu bahkan dengan suara ayam jago
Tidak juga ketokan pintu
Tetesan air
Apalagi dengan suara laut samar-samar

Kau sedang sunyi sendiri
Perlahan mati ditelan pagi

Aku mengamatimu
Aku yang terganggu
dengan sunyi sendirimu

Paris, 16 Okt’03

I.
kita bertemu siang itu dan membuatku mengenang empat ratus hari pertemuan kita yang pertama. dimana di hari-hari itu aku melihat gelandangan yang sama tidur di stasiun kereta yang kulewati di hari pertama aku menjejakkan di kota ini.

kau mengerjap di hari pertama kau melihatku, juga siang itu ketika kita kembali bertemu setelah empat ratus hari. aku melewatkan enam kali pertunjukkan teatermu, yang bahkan tanpa sebuah usaha: sms. aku kecewa dan kupikir kaupun sedikit kecewa, walau kau tidak lupa menaruh namaku di ucapan terimakasih naskah dramamu. terimakasih, kau masih mau mengenangku.

kita yang sudah berada di kota yang sama, kita sudah berada di jarak yang berbeda dan tempat yang berbeda-beda. padahal kita pernah berjanji, kita akan melewati jalan yang sama, bersama-sama di tahun yang sama. kita yang pernah sama-sama kecewa, ternyata melewati jalan yang berbeda.

kau tiba-tiba membuatku pergi dari rumah yang sedang kubangun, membuatku melewati jalan-jalan itu kembali, jalan melewati stasiun kereta dengan gelandangan yang tidur, yang lagi-lagi sosok yang sama.

II.
kau mirip joned? sepintas aku melihat foto-foto pementasanmu, yang lagi-lagi aku tidak datang. kita berdua berdiri sejenak di tengah-tengah kantin mahasiswa kelas kebon binatang ini. tetapi beginilah kita bertemu lagi, bergesekan percikan kenangan dari sekian tatapan di balik kedua belah kacamata kita.

ini sudah hari yang keempat ratus semenjak pertemuan kita yang pertama. lalu berkali-kali, lalu ada jeda, kali-kali lagi, lalu jeda. kemudian waktu berhenti, terkungkung di antara asap rokok dan bau makanan yang masih hangat. jejeran bergelas-gelas teh menyadarkanku, aku hanya punya lima menit untuk melihatmu lagi seperti ini di tempat ini.

kau bilang, datanglah ke performanceku hari rabu. aku mencoba datang. tetapi kau tidak ada. jadwalmu mundur sekian jam, dan aku harus lembur malam ini dengan segenap tumpukan pekerjaan. aku mencarimu di sarangmu, dimana kau mendekam selama ini. itulah kali pertamanya aku menjejakkan diriku di keberadaanmu lagi, setelah sekian hari, dan sekian kali.

dimana kita harus mulai, jika tidak hari ini lagi? aku memberikan sepotong tiket untuk kita bertemu lagi. karena hari-hari ini hanya memberikan kita kebetulan dan kesingkatan yang amat mendalam. kita harus mulai dari mana lagi? pertanyaan yang sama merubungi kepalaku seperti nyamuk-nyamuk yang tengah mengigit orang-orang disekitarku. aku tidak. nyamuk-nyamuk membenciku, hanya menganggu dengan suaranya, karena rasa darahku pahit.

ada sesuatu yang pahit tengah mengudara…

Antara Kau, Kenangan Lama dan Kamar Mandi

Aku bermimpi, kita sedang berangkat ke sebuah pesta. Pesta pernikahan seorang kawan lamaku, yang megah , yang serba-wah. Aku sungguh-sungguh tidak mengenalimu, aku tak ingat sejak kapan kau memotong rambutmu. Benar-benar hanya satu sentimeter di atas kulit kepalamu. Aku tidak percaya, bahkan jika benar-benar hanya mimpi.

Kukira rambutmu adalah nyawamu.

Kau memakai sebuah jaket merah, sekilas kau seperti salah satu kawan baikku yang sedang di Indonesia bagian ujung timur sana. Kau berjalan begitu cepatnya, tanganku mencoba meraihmu, sekedar menapak punggungmu mencari jejakan yang pasti. Tetapi kau pergi begitu saja, seolah-olah sejarah tidak pernah dituliskan di sepanjang punggungmu. Aku tiba-tiba merasa jengah.

Pesta pernikahan yang aneh, kita bagaikan di tengah-tengah sebuah altar gereja, menyaksikan pemberkatan. Lalu kita menyalami kedua pasang pengantin yang berbahagia itu, sambil disuguhi satu lintingan mariyuana setelah bersalaman. Kau lalu menghilang lagi.

Aku pergi ke balkon, sambil menuntaskan satu lintingan mariyuana itu. Menyengat dan tiba-tiba dadaku perih. Kehilanganmu di mimpi ini untuk kesekian kalinya. Temanku yang menikah tadi, menghampiriku dan berkata ia melihatmu sedang menuju kamar mandi.

Temanku menawarkan makanan-makanan yang terhampar, bahkan untuk aku bawa pulang. Aku setuju saja, aku malas makan dan lebih baik kubawa pulang.

Lalu aku menyenggol seseorang, fuck, makanan jadi berhamburan. Fuck again, adalah dia yang menggoncangkan beberapa tahun remajaku yang sudah lalu dan lalu. Sekarang dia menggoncangkannya lagi di pesta ini. Kau ada dimana? Masih di kamar mandikah, ketika bumi sudah porak poranda?

Kau dimana?

Dia berkata maaf dan membantuku memunguti makanan yang sudah berhamburan. Kulihat sekilas temanku mengerlingkan matanya kepadaku, tanpa aku mengerti apa maksudnya. Sama sekali.

Sama sekali ia tidak berubah. Lekuk wajahnya, warna kulitnya, matanya dan bahkan potongan rambutnya. Oh, tidak, jangan sekarang, tidak di pesta ini dan ketika kau sedang di kamar mandi. Dia tersenyum dan dia mengenaliku. Mengenaliku sebagai seorang gadis yang dulu berumur tiga belas tahun, memandanginya dengan seksama di seberang balkon sekolah menengah. Ini tidak adil, itu tujuh tahun yang lalu, kenapa dia masih mengenaliku?

Dan kenapa dia mengucapkan hai seperti itu, dan lama tidak bertemu seperti itu. Ia tidak pernah menyapaku selama tahun-tahun yang bisu itu, tetapi sekarang? Setelah tujuh tahun berlalu, dia melempar semua ke mukaku. Aku tidak tahu, harus berkata apa. Apa-apa yang tujuh tahun yang lalu mungkin seharusnya terjadi. Tetapi lagi, itu tahun-tahun yang bisu.

Dia bilang aku makin cantik. Fuck, aku hanya bertambah lima sentimeter, bertambah hitam legam, berkacamata, memanjangkan rambutku sampai melewati bahu dan semakin kurus saja.

Laki-laki, kalian memang benar-benar setan yang kesiangan.

Dia bilang ayo kita ngobrol di balkon.

Balkon adalah tempat kami berdua bersitatap, entah saling mengetahui atau tidak. Bertahun-tahun yang lalu, ketika masa remaja masih bersipu-sipu malu. Balkon konyol yang sudah menyaksikan entah berapa kisah cinta bertahun-tahun ia berdiri. Terakhir kudengar balkon itu sudah hilang, lenyap dan diganti dengan gedung yang lebih baru.

Balkon, ini tidak mirip, tetapi pemandangannya cukup luar biasa. Menghadap laut, bau asin mengendap dalam udara. Balkon yang luar biasa untuk senja yang tidak biasa. Kami berdiam sejenak, menikmati matahari yang tenggelam, kenangan yang tenggelam.

Aku selalu ingin mengajakmu kencan, kau tahu itu?

Aku tersentak. Aku tidak tahu itu.

Kupikir sekarang sudah terlambat bukan? Aku melihat kau datang dengan seorang laki-laki, aku bertemu juga dengannya di kamar mandi.

Di kamar mandi? Kau masih disana? Sewaktu aku harus menerima kenyataan seperti ini?

Kupikir dia hanya tertawa melihatku saat ini, mengenang diriku sebagai salah satu fans-nya yang melihatnya dari ujung balkon tujuh tahun yang lalu. Diriku yang sewaktu melihatnya sudah bergembira sedemikian rupa dalam hati. Hal itu tidak pernah terpikirkan waktu itu. Terlupakan begitu saja, seiring tahun-tahun berlalu, dan berakhir sebagai satu kenangan manis masa remaja yang singkat.

Aku,…aku tidak tahu itu, sahutku.

Dia menghela nafasnya.

Kau benar-benar kesiangan.

Yah, aku pun tidak menyangka bertemu lagi denganmu disini. Lalu bertemu dengan laki-lakimu juga.

Aku pun tidak.

Kau masih menunggu dia bukan? Sepertinya dia masih di kamar mandi sejak tadi. Ada yang tidak beres dengan perutnya mungkin?

Yah, mungkin. Sahutku pendek.

Bagaimana, kalau kita menunggunya sambil berjalan-jalan ke bawah sana. Kau mau?

Ajakannya tiba-tiba saja kujawab dengan genggaman tanganku di sela-sela jemarinya. Tersihir begitu saja dengan kenangan lama. Meninggalkanmu begitu saja di kamar mandi. Tiba-tiba saja kami tengah berjalan berdua di antara pasir dan dentuman ombak. Menjauh dari keramaian di atas balkon tadi. Kegelapan menaungi, cahaya hanya muncul dari atas balkon dan bulan purnama yang sedang beranjak.

Aku mengangkat sedikit gaunku dan melepaskan kedua sepatu hak tinggiku. Ia menuntunku dan menawarkan untuk membawakan sepatuku. Aku menurutinya begitu saja. Lalu kami menemukan tempat duduk yang dibalut batu-batu karang, Seperti gua kecil yang terbuka di tengah-tengah hamparan pasir, nyaris seperti benteng perlindungan di tengah-tengah perang gurun.

Kami duduk, bersebelahan, mengamati ujung ombak yang samar-samar mencapai pantai, lima meter jauhnya di depan kami. Sunyi, laut di waktu malam.

Kau sudah banyak berubah ya? Ia memecah kesunyian. Mungkin saja, tujuh tahun bukan waktu yang pendek.

Sebenarnya aku selalu mencarimu di sela-sela liburanku, tetapi katanya kau sudah pergi jauh waktu itu. Sudah pindah ke kota lain, ke negara lain.

Memang benar, tetapi aku sudah kembali dan kebetulan sekarang sedang di kota ini.

Suatu keberuntungan. Dia berkata sambil tersenyum manis. Oh tidak, ia tersenyum manis, di saat seperti ini. Dan ketika aku tidak mengkhawatirkan dirimu lagi di kamar mandi. Ia mulai menyentuh wajahku. Melepaskan kacamataku. Berkata aku cantik sekali lagi, mencium pipiku, mencium bibirku pelan dan panjang.

Aku kehilanganmu, sewaktu ia mulai menanggalkan tali gaunku dan kami menenggelamkan desahan di antara bunyi ombak yang memecah pantai.

Ketika air sudah mulai mendekati ujung telapak kaki kami, kami berhenti dan aku tersadar. Memunguti potongan-potongan baju dan juga sepatu. Aku memutuskan untuk kembali ke pesta. Ia mencoba menghentikanku, tetapi aku berkata, ada yang sudah menungguku.

Ia sejenak terlihat murung, seolah mencoba mencari alasan untuk menahanku. Tetapi aku tidak menengok untuk sekian kalinya.

Selamat tinggal, kenangan lamaku. Aku segera menuju kamar mandi, untuk membetulkan dandananku dan mencarimu.

Setelah membereskan dandananku, aku mengetuk pintu kamar mandi bagian laki-laki, ternyata tidak terkunci. Aku memanggil-manggil namamu. Tidak ada jawaban. Kulihat pintu wc yang di pojokan tertutup. Aku mengintip di bawahnya, benar itu kaki dan sepatumu.

Aku memanggilmu sekali lagi dan membuka pintu wc tersebut. Pelan-pelan, yang sekali lagi tidak terkunci itu. Namun pemandangan di depanku membuat tenggorokanku tersekat. Kenangan lamaku sudah merobek perutmu, menyisakan percikan darah di jaket merahmu.

Aku menangis sendirian di kamar mandi. Sendiri dan benar-benar kehilanganmu.


Aku terbangun. Mimpi sialan, kau mati semudah itu!

Bendasari, 9 Agustus 2003