Aku masih belum terbiasa dengan pesan-pesanmu yang kini terbalas begitu cepat. Seolah peradaban telah meluncur dan kembali ke tanganmu dengan kondisi tidak siap. Aku pun. Seolah kepulanganmu adalah sesuatu yang surreal, satu tahun telah terlampaui sudah. Yang menakutkan dan terburuk telah lewat. Lalu suatu malam kau muncul begitu saja dalam layarku dan mata birumu bersinarkan rindu. Aku tersipu dan bertanya apakah ini benar-benar dirimu? Dan yang sedang terjadi di antara kita hanyalah jarak.

Kau menceritakan sekian tempat, sekian orang yang kau temui dan bagaimana kita berdua saling sensitif dengan energi. Ada rasa yang aneh dalam desir dadaku. Harapan-harapan yang tumbuh dengan perlahan, namun enggan untuk kupikirkan sekarang. Aku tak tahu lagi bagaimana kita akan berjalan selain hanya berjalan.

Hanya satu yang pasti kuketahui, aku mencintaimu. Dan akhir-akhir ini pun kau selalu mengucapkannya dengan semakin berani. Cinta adalah sesuatu yang membutuhkan keberanian.

Aku seolah mencari pembenaran akan rasa nyaman yang kutemukan dalam dirimu. Dan aku sedang mencoba tidak merasakan jarak. Namun aku tahu pasti kita butuh untuk lekat demi mengingat akan sesuatu yang pernah kita mulai di suatu sore. Sesuatu yang masih berjalan dan kita saling mengharap jawaban.

Aku menatapmu pagi ini dan menikmati pancaran sinarmu. Di hari yang sudah malam di belahan duniamu. Seolah ingin kuraih hatiku dalam genggaman.

Deskripsi Sebuah Taman

Ada satu garis tak terlihat melintasi bumi ini, mencapai tempat di mana kau terduduk di sebuah taman. Dengan begitu banyak orang. Kau bilang kau merasa bermimpi di kota ini, sesuatu yang sempat kau sebut rumah, atau bahkan tanah air. Namun rumah yang lain tiba-tiba tak lagi familiar bagimu, dan ingatanmu akannya saat ini hanyalah sekian cerca serta trauma. Betapa sesuatu memiliki potensi untuk berbalik begitu saja. Betapa tipisnya sebuah ilusi.

Sebagaimana setahun yang lalu, kau merasa bermimpi terbangun di antara teralis jeruji. Apakah waktu sesuatu yang relatif? Apakah arti sebuah jarak? Berapa sementaranya sebuah rasa? Betapa lekatnya tubuh pada sesuatu yang tak lagi ada.

Sekian pertanyaan itu muncul dalam percakapan nyaris dua jam. Di antara lalu lalang sepeda dan manusia. Kau merasa seperti menonton sebuah sirkus yang bernama manusia. Dan aku mengenang, kata-kata yang tertulis begitu banyaknya di sekian kertas, buku. Catatan-catatan abadi yang akan tersimpan dalam memori. Satu tahun, kita telah menyimpan sekian rupa. Satu tahun kita telah berbagi sekian kata. Juga mungkin cinta. Lalu rasa itu beranjak menjadi sesuatu yang lain dalam suara kita berdua. Dan aku tak mengetahui itu adalah apa?

Aku berpasrah pada waktu, sebagaimana hidup selalu mengajarkanku. Harapanku adalah kau mengambil banyak waktu, membayar sekian waktu dan kesempatan pada hidupmu yang juga tak sebentar. Hingga percakapan di sebuah taman akan beranjak membaik dan pijakanmu pada bumi menguat kembali. Seperti bola-bola yang selalu kaumainkan di pinggir jalan, penuh warna dan tawa yang lekat di hatiku.