:atas dua jahitan di lututku
seperti habis ditabrak kereta api yang nyalang malam-malam sekali. hanya karena menjemputmu, separuh maut muncul di kelopak mataku.
:atas dua jahitan di lututku
seperti habis ditabrak kereta api yang nyalang malam-malam sekali. hanya karena menjemputmu, separuh maut muncul di kelopak mataku.
setelah ASA
aku selalu lupa pada waktu ketika berjejer gelas kahlua diselingi percakapan yang tak habis-habis. orang-orang pergi moshing ketika musik mulai menghentak. pada kawan-kawan dan orang-orang yang percaya revolusi tidak datang besok pagi, dunia terasa berputar.
pita hitam dengan peniti bertengger di pinggiran jaketku dan juga pada atribut setiap orang yang lewat. yang kukenal, familiar maupun yang asing.
pada tatto yang sedang dibuat, pada tarrot ramalan yang sedang bergerak, pada piring yang menumpuk dan gelas yang berdenting, musik masih menghentak di malam yang semakin panjang dan gelap. percakapan bergema pada rintik sound hitam yang mendentam. masih tak habis-habis.
dan raut-raut aceh yang kutemui masih menyisakan dedak hitam di bawah lingkaran matanya, juga gambar-gambar di setumpuk koran pada meja pagi.
sekeping tombol kutekan semalam dan pada pulsa yang nyaris sekarat, alunan reggae mencapai telingamu di kutaraja. kuharap.
:teddy bear yang ringkih
apakah aku patah? parah?
kurang tahu, atau tidak mau tahu. ini seperti sebuah pertanyaan yang diajukan seekor burung ketika masih terbang dan menukik. jauh. jatuh.
namun hari ini menjadi sepi sekali. aku tidak melihat orang dimana-mana. seperti kiamat kecil dalam duniaku sendiri. orang-orang benar-benar datang pergi dan hari ini semua pintu yang kuketuk nyaris tidak berbunyi. semua sms yang kukirimkan nyaris tak berjawab.
aku seperti ingin meninggalkan kota yang tiba-tiba nyaris mati. sekejap.
aku melihat orang-orang pergi meninggalkan rumahnya dan tidak kembali. lagi. dan pada banyak titik aku seperti nyaris tidak menginginkan apa-apa. hanya tiba-tiba membereskan rumah untuk pura-pura sibuk.
aku tidak pernah mengerti kapan aku patah dan jatuh tiba-tiba seperti ini.
aku tidak mengerti kapan kau akan kembali. seperti kiamat yang direncanakan kitab-kitab, kau pergi seperti menyelinap dan kembali entah kapan. aku seperti menghitung hari yang tidak habis-habis. menghentikan semua gerak seperti dalam film-film, ketika sepersekian detik menjadi selamanya.
lalu sebuah sms masuk:
waktu,
barangkali,
terlahir dalam ruang yang sementara.
sebuah ruang yang hanyut
dalam deras arus bah,
berguling-guling bersama rumah
dan tubuh-tubuh yang memekik
tak kuasa.
waktu,
barangkali,
tak pernah bersetia.
dalam ruang yang terhimpit
gedung-gedung roboh
dan puing-puing asa,
waktu tetap tak memihakku.
aku seperti menunggu
hari yang tak pernah lewat.
percayalah,
aku ingin nuh bersamamu
menjemputku.
lalu kita berdansa
di atas geladak.
setelah basah ruap,
bahtera akan menepi
di arafah.
disana kita
serupa adam dan hawa
yang melarutkan rindu
pada perjumpaan kedua.
3 deret smsmu, pada 19:40:14,160105 membekas di layar lcdku. membekas pada sebuah kitab yang hanya aku yang tahu kelanjutannya.
PASTORAL
Goenawan Mohamad
sebuah duet untuk Ubiet dan Binu
dengan kuartet gesek dalam komposisi Tony Prabowo
I
15 meter dari jalan ke Batuan, ada pematang pada tebing,
dan seseorang hingar menggusah burung,
seseorang turun ke kali dan menyanyi,
seseorang mencicipi alir,
mengikuti bunyi
kercap dingin
liang hutan,
arus yang menyisir batu
batu yang, seperti pundak kerbau, menahanmu.
Pada pukul 7:15, jernih sungai menelanjangimu
II
Terkadang aku ingin
kita hilang seperti kadal
di ilalang
seperti kilau –
III
Mungkin sudah tiba saatnya
kita membiarkan kata
terpesona pada luas lumut atau pada jeram
dan parit
yang menciut
Mungkin sudah saatnya
kita terpesona
IV
Sementara di selatan
jerami telah dihimpun,
dan orang hingar
menggusah burung,
“Hai! Hai! Hai!”
sebaris bangau
membubuhkan putihnya
pada padi
V
Katakan, kenapa di tubuhmu yang sempurna
sungai seperti tak menyentuh
apa-apa?
VI
Misalkan terkait
teratai
pada air
misalkan terkait
air
pada hijau
misalkan terkait
kekal
pada daun
aku akan tetap takut
sengak maut
pada petang yang rembang
seperti dosa
VII
Detik adalah lugut
yang bertebar
ke tengah oktober
dan hari gatal,
dan ajal turun,
pada jam yang menyulap kapas
ke dalam embun
VIII
Saat kau sentuh putrimalu
kau lihat
tangkaiwaktu
IX
Yang sementara
Tak akan menahan
Bintang hilang
Di bimasakti
Yang bergetar
Akan terhapus
Yang bercinta
Akan berhenti
Tapi aku teringat sebuah sajak
Yang meminta: ‘sandarkan sirahmu, kekasihku,
Ke lenganku
Yang tak percaya’
X
Esoknya, ke dangau itu seseorang mengirim kartupos:
“Aku suka Malaka. Tembok orang Portugis,
jalan pada deru pagi,
gudang Cina dengan genting tua,
liku bandar, warna kapal, dan kedai-kedai”
Orang itu tak menyebutkan namanya.
XI
Barangkali memang ada sebuah kota,
yang begitu jauh. Atau sebuah teluk
yang begitu jauh
Hmm…
Apa arti sebuah ujung?
XII
15 meter dari jalan ke Batuan, ada pematang
pada tebing. Terkadang aku ingin
kita jatuh, seperti rama-rama jatuh
dari dahan.
Sebelum mati yang pasti
2003
*dan masih giangan suaramu yang membaca sajak di atas yang terasa sepanjang stasiun gambir sampai tugu
:kabar senja dari kutaraja
Sebuah pertanda membangunkanku terlalu pagi, dua menit sebelum alarm hpku berbunyi. Aku melihat diriku menjemputmu pulang, setelah kau tertawan di kutaraja, mimpi buruk sialan karena kukira semalam kau akan baik-baik saja. Nyaris 10 smsku juga belum mencapaimu. Aku kembali menyumpahi jaringan seluler seperti tadi malam. Namun kemudian pertanda itu memaluku lagi, pada pukul 1 siang, sudah 7 mayat kau angkut pada menit kesekian. Aku terhenyak. Mengutuk semua jaringan seluler yang ada di nusantara dan iklan-iklan bajingan yang mereka tawarkan.
Semua kertas di depanku terlepas, kutukan-kutukan meluncur dari mulutku pada jaringan seluler yang hanya mengijinkan 2 sms darimu masuk ke hpku. Yang kedua pada pukul 3, kau baru saja membereskan mayat yang ke delapan. Aku benar-benar terhenyak.
Lalu hanya dua kali kudengar suaramu yang nyaris patah-patah. Sesuatu sedang merapuh disana dan sungguh aku tak akan kuat mendengarmu. Aku ingin membawamu pulang ke pelukanku, hanya itu pada detik ini dan masih saja.
Mengapa senja menawarkan kemuraman bentuknya pada suaramu dan pada layar lcd yang menggelap?
: kahar
karena ada sesuatu mula dari sebuah akhir. dan dua tahun enam bulan terakhir kita sudah melaluinya dengan cukup baik.
: kau yang pergi ke kutaraja
ini adalah dua puluh empat jam tanpamu. kau, salah satu dari sekian orang yang pergi ke kutaraja. kemarin siang aku meninggalkan punggungmu dengan nanar, dengan sebuah pelukan yang tidak bisa kuraih. aku masih amat cemas. ini seperti perpisahan untuk peperangan dan begitu mendadak, seperti seseorang menyeretmu di tengah malam dari sisiku dan menghilang begitu saja.
aku mulai bekerja tanpamu, menjadi sibuk untuk alasan tersebut. dan aku masih tidak bisa berkonsentrasi, padahal aku seharusnya mengerjakan dua laporan untuk nanti malam. bahkan semalam aku mencoba membaca komik tanpa merindukanmu. itu semua adalah kegagalan. dan aku mengutuk jaringan seluler tiap detik mereka mengirimkan smsku padamu dengan terlambat.
di antara semua keramaian dan kesepianku aku selalu dengan tidak sengaja mencari segala hal yang mengingatkanku padamu, dan ini hanya baru dua puluh empat jam dari setidaknya dua puluh hari tanpamu. dan aku menunggumu atas janjimu untuk kembali padaku dengan selamat.