Purnama telah kau habiskan di ibukota, dalam seluk beluk rasa yang tengah membuncah ruah. Ziarah demi ziarah, kuil demi kuil. Jejaknya menapaki jejakmu kembali. Percakapan tengah malam kian sunyi akan lagu-lagu dari suling bambu. Suara suling yang akan membuatmu menangis perlahan di malam penuh bintang, di balik selimut dan pelukan. Selimut merah itu tengah ditentengnya kemana-mana dan juga kain indigo serupa motif obat nyamuk kesayanganmu.
Ia berkata tidaklah perlu menjadi terlalu filosofis tentang memberi, katanya semalam. Pelajaran terbesar terkadang lebih terletak bagaimana kita bisa menerima. Tembusnya lagi dalam kesunyian Ubud yang menyeruak sukma. Dan pagi ini, seolah nafasmu tertinggal di kabut pegunungan. Di antara bebatuan yang akan menaunginya sekian bulan ke depan.
Dalam kabut modernitas, kau merapal mantra dan tak kau temukan jejakmu lagi disana. Jalan-jalan terasa semakin menyesakkan. Kau menghitung kalender bulan, meramu racikan dan mencelupkan gagang kayu dalam pot-pot di dapur yang tak kalah sunyi.
Apakah kemelekatan? Apakah cinta? Satu teks dharma bergaung dalam kepalamu, selagi kau mengingat susunan Sutra Hati. Kau tengah mengajarkan doa malam hari pada anakmu dan gema rasa itu, menusukmu hingga ke tulang belulang.
Rindu itu mengigilkanmu bahkan dalam balutan kelembaban tropis. Ada yang mengering sekaligus basah.