menjelang akhir tahun

dadaku terasa sesak berat
dadanya juga
dada kami semua

menangisi rasa sendu
yang tidak karuan
jatuh dari langit rintik-rintik
membuat retak segala yang ada di dunia

ah, malam yang asu
kutarik sekian isapan rokok yang semakin lama
semakin dalam

masih memandang langit malam
penuh hujan
pekat dan kian gelap

terjadilah apa yang seharusnya akan terjadi…

kematian yang kelimabelas

:s. & s. yang sekarang

di atas tebing
dua sosok itu berdiri
rambut sama panjang
nyaris sepinggang
keperakan diterpa angin yang nyaris mendekati malam

senja masih merah jambu
sore itu
berbeda dengan
tiga ribu tiga ratus tiga puluh tiga tahun yang lalu

memakai baju putih bersih
dengan kesiapan yang sama
menyongsong matahari
masih di tebing yang sama

“apakah kita hanya akan berbaring?” tanya yang seorang

“sepertinya begitu.” yang lain hanya menjawabnya dengan seutas senyum yang mantap

maka berbaringlah mereka di atas tebing
angin semakin dingin
tubuh semakin beku

dan semua segala cahaya semakin terang

hilang

ditelan semesta raya

:e.e.

lima belas kali
jantung ini berdegup
lonceng itu bergema
leherku menengok

pada detik kelima belas kali
di kehidupan yang kelima belas kali juga
semua hal selalu menuju padamu

Ada Bianca di Wonderland


:hadiah ulang tahun keduapuluh untuk Bianca Timmerman

Gadis kecil Cina itu seperti kelinci. Putih. Senang kawin dan tentu saja dia lucu sekali. Namanya Bianca dan dia bukan siapa-siapa di Wonderland. Tetapi dia muncul disana, mari kita bergeser dari Alice yang masih minum teh dengan cangkir porselen, adegan yang sama dan membosankan. Mari kita melihat apa yang sedang Bianca lakukan. Dengan baju yang sama dengan Alice, namun gaunnya berwarna ungu janda, celemeknya berwarna putih bersih, stokingnya berwarna hitam transparan dan sepatunya hitam mengkilat. Lalu tentu saja dengan bando telinga kelinci putih menghiasi rambutnya, bukan bando hitam membosankan seperti Alice. Ah, dia lucu bukan?

Bianca sedang berada di taman bunga Wonderland. Memetiki bunga-bunga aster berwarna kuning. Sambil bernyanyi-nyanyi riang gembira. Lirik-lirik lagu “Gang Kelinci” oleh Lilis Suryani mengalir dari mulutnya. Dari bibirnya yang berwarna pink. Basah, lezat dan menggoda banyak orang. Laki-laki dan juga perempuan.

Bianca melirik pada para lelaki yang telah mengelilinginya. Memilih satu di antara mereka, memberikan mereka satu buket bunga aster kuning. Lalu melompat ke atas laki-laki itu. Scene berikutnya hanya dipenuhi dengan hujan bunga aster di udara. Di tempat dimana mereka berdua bergumul, rumput-rumput liar yang mengitarinya menundukkan kepala karena malu. Tanah dimana mereka terbaring membentuk kepala kelinci jika dilihat dari atas helikopter. Dasar, Bianca si Kelinci Cabul!

Setelah kenyang dengan lelaki itu, ia kabur melompat-lompat mengelilingi Wonderland. Sambil membawa boxer laki-laki berwarna pink najis itu untuk dibuangnya ke sungai terdekat. Lelaki yang malang itu hanya tercekat, pasrah akan nasibnya dan pulang ke rumah untuk menangis habis-habisan karena perlakuan Bianca, sambil memakai rok rumput ala Hawai yang bisa dirajutnya di taman bunga sebagai pengganti celananya yang telah hanyut. Bianca hanya tertawa nakal dan pergi melompat-lompat.

Dilompatinya meja dimana Alice sedang minum teh bersama mahkluk-mahkluk yang menganggap dirinya penting di Wonderland. Alice sampai tersedak cangkir karena kaget. Bianca tertawa nakal untuk kedua kalinya. “Makan tuh cangkir porselin Cina murahan!” katanya. Cangkir-cangkir porselin Cina milik ibunya jelas jauh mahal daripada yang mereka gunakan. Ratu Hati langsung berdiri, mencak-mencak memerintahkan semua pengawalnya untuk menangkap Bianca dan memenggalnya disitu. Bianca melompati kepala semua pengawal sampai mereka semua terpental terbawa angin. Dan terakhir tentu saja melompat di atas kepala Ratu sombong itu, mengacak-acak rambut sasaknya yang tidak berselera itu. Lalu kabur tidak terkejar. Bianca terbahak. Sukses berat merusak acara minum teh mereka yang membosankan.

Sebenarnya Bianca tidak nakal-nakal amat. Bianca ‘kan hanya cabul saja dan tentu saja cita-cita Bianca cuma satu: mencari perempuan senakal Bianca dan secantik Tante Fiona Apple. Bianca sekarang kabur sambil nyanyi lagu-lagu Fiona Apple. Oh, Tante Fiona yang menggiurkan, teriak Bianca dalam hati. Tiada bisa saya melupakan Tante, katanya lagi.

Bianca terus melompat-lompat sampai jauh sehingga ditemukannya tiga pintu warna ungu janda di tengah-tengah hutan Wonderland. Bianca tidak memiliki kuncinya. Alice memiliki kuncinya. Tapi, aha, dikeluarkannya linggis dari kantong celemek ajaibnya. Dibongkarnya setiap pintu dengan paksa, hingga rusak semua engselnya. Bianca tidak menemukan apa-apa di ketiga pintu itu. Padahal sedikit banyak Bianca telah berharap minimal ia akan menemukan Tante Fiona di baliknya.

Seekor kucing berwarna oranye menegurnya dan menanyakan Bianca, ia hendak kemana. Bianca benci kucing, apalagi yang tersenyum tak henti-henti seperti kucing gendut dan jelek itu. Dikeluarkannya peralatan menjahit dari kantong celemek ajaibnya. Dijahitnya mulut kucing itu sehingga tidak pernah terbuka lagi. “Kucing najis!” maki Bianca sebelum kembali pergi melompat. Tak lupa, digantungnya kucing najis itu di atas pohon dengan terbalik. Dibuatkannya simpul mati pada ekornya di atas sebuah dahan yang tinggi. Kucing itu ditinggalkannya dalam teror yang berkepanjangan.

Bianca ingin ganti baju. Digantinya baju ungu jandanya dengan warna kuning gonjreng dengan sabuk hitam dan kuping kelinci hitam. Stocking dan sepatunya masih hitam. Celemek ajaibnya ia lipat menjadi tas putih kecil nan lucu. Bianca melompat-lompat dengan menyilaukan seisi Wonderland. Seisi Wonderland jadi demam penyakit kuning gara-gara Bianca.

Sungai pun berubah warna menjadi segonjreng baju Bianca. Kaya di Cina, pikir Bianca. Seperti di Cina pun, sungai itu membelah Wonderland dan sering banjir kemana-mana. Bianca jadi pingin jalan-jalan ke Tembok Cina. Bukan untuk berwisata, tapi meruntuhkannya pake palu godam. Bianca tidak suka tembok-tembok. Apalagi tembok sepanjang itu. Bianca berpikir untuk menyewa pasukan untuk meruntuhkan tembok itu. Membiarkan suku-suku nomad menyerbu Cina. Pasti menyenangkan. Bianca tertawa jahat. Hahaha. Si Putri Cina berwujud kelinci cabul.

“Siapa suruh raja gila yang suka bata murahan itu menjual saya ke suku nomad seperti barang rampasan?” maki Bianca. Untung orang-orang nomad itu baik. Mereka memperlakukan Bianca selayaknya putri beneran, bukan seperti orang-orang di kekaisaran yang penuh polesan. Ah, ingin dia bakar itu kekaisaran Cina. Biar saja hancur. Biar saja lebur jadi abu. Karena Bianca sudah lari dari sana. Dari neraka yang penuh kebohongan dan kemewahan semu yang serba tanggung.

Di Wonderland, Bianca hanya numpang, menendang Alice dari peran utama dan mengobrak-abrik alur cerita. Boro-boro minta ijin sama yang bikin cerita. Si penulis Alice dari Wonderland sudah ia bius pake klorofom dan diikatnya di pojokan kamarnya di Jakarta. Dijejalkan dalam peti rotan yang penuh guntingan baju-bajunya yang belum selesai. Bianca lupa memberinya makan dan minum. Ups. Ya, sudahlah penulis malang itu akan bertahan. Toh, Bianca cuma main-main di Wonderland sehari saja.

Bianca telah sampai ke lingkungan istana Ratu Hati. Dikeluarkannya gunting rumput dari kantung putihnya. Dikelilinginya kebun Ratu Hati. Diguntinginya setiap pohon kesayangan di kebun itu hingga berbentuk kelinci. Lalu dicatnya semua dedaunan dengan warna-warna paling gonjreng sedunia. Bianca serasa berada di tahun 60an. Tahun yang penuh warna-warna. Kebun Ratu Hati yang segonjreng perasaan di hatinya. Ia memulai sesi pemotretan paling narsis yang pernah dilakukannya di kebun gonjreng itu. Setelah selesai, Bianca tidak meninggalkan jejak sedikitpun dan membuat Ratu Hati depresi hingga nyaris ingin bunuh diri ketika ia jalan-jalan sore di kebunnya sore itu.

Bianca kembali ke taman bunga. Dikeluarkannya meja taman berwarna putih dan satu set porselin Cina milik ibunya dari kantung putihnya. Bianca mengatur pesta minum tehnya sendiri. Bianca bingung mencari teh rasa apa di kantung putihnya. Ngga ada yah teh beralkohol? Dengan putus asa dikeluarkannya teh melati. Dijerangkannya air panas. Oh, iya Bianca punya akal. Dibelinya satu botol anggur merah cap Orang Tua di warung terdekat. Dibuatnya teh melati super kental. Lalu dengan ciamik, ditakarnya satu sloki anggur merah dan tiga perempat teh melati kental. Tiada usah pakai gula, ntar diabetes lho. Disruputnya pelan-pelan. Aduh nikmat sekali!

Bianca memetik bunga lily dari dekat danau Wonderland. Ditaruhnya di atas vas bunga kaca yang agak tinggi di tengah-tengah meja taman itu. Disiapkannya sepasang kursi. Ya, Bianca menunggu seseorang datang. Siapa itu ya?

Dari kejauhan ada sosok yang muncul diterangi warna senja yang mulai oranye. Disruputnya teh melati anggur itu sedikit lebih cepat sehingga habis setengah cangkir. Sosok perempuan itu memakai baju merah menyala. Wajahnya belum terlihat karena Bianca merasa silau sehingga diambilnya kacamata hitam capung dari kantung putihnya. Masih tidak kelihatan. Sialan, kata Bianca. Siapa sih?

Perempuan itu menyanyikan lagu yang sangat dikenalnya. Omigod! Haleluya! Puji Tuhan! Ternyata itu Tante Fiona. Aduh, aduh, cantiknya. Bianca langsung ingin menelanjanginya. Air liurnya sampai menetes di atas cangkir, sampai cangkir itu jadi penuh lagi. Ih, dasar Bianca cabul!

Bianca taruh cangkirnya itu di atas meja taman. Bianca segera berlari ke arah Tante Fiona. Berlari dan berlari sekencang-kencangnya. Tante Fiona masih nyanyi-nyanyi. Seluruh taman bunga mekar dengan bunga mawar merah merona. Semerona pipi Bianca. Semerona baju Tante Fiona.

Ah, Bianca melompat ke arah Tante Fiona. Bianca loncat-loncat tak karuan. Tante Fiona tetap tenang,walau sampai jatuh terduduk. Di bawah senja. Bianca dan Tante Fiona bercinta. Selama. Lamanya.

Wonderland sudah tamat ceritanya gara-gara Bianca dan Tante Fiona. Ah, sutralah. Secara Bianca dan Tante Fiona hidup bahagia selamanya di Wonderland.

Hidup Kelinci Cabul! Hidup Fiona Apple!

~Fin~

Yogyakarta, 16 Desember 2006, 8.36 AM

:senyum tipisnya

menghilang dalam sekejap
lalu terang

anjing kecil tengah berlari di depan kami
tiga dupa dinyalakan untuk menahan bala
menahan hujan

waktu berhenti disana
selama beberapa saat

menyisakan senyum lebarnya
di sekian foto kameraku

saya tidak akan kemana-mana
menunggumu selalu
seperti pecah tawamu yang tersisa
dalam sakuku

Laki-laki di Tengah Hujan Besar

: sebuah cerita pendek untuk paul f. agusta

Hujan besar menerpa ibukota. Laki-laki yang juga berbadan besar itu menatapnya. Dari jendela apartemen yang tenggelam di tengah-tengah kota yang juga nyaris tenggelam. Ia merasa hampa. Ia ingin banjir turut menyeretnya hingga ia mati.

Lampu-lampu kota menjelang senja dengan temaram menghiasi pemandangan dari kaca apartemennya di lantai tujuh. Suasana sekitarnya menjadi tambah muram. Warna langit yang mendekati ungu membuatnya ingin terbang sampai langit ketujuh. Ia begitu terobsesi mengenai kematian, hingga merasa begitu dekat, begitu lekat.

Lima belas menit kemudian, tiga puntung rokoknya telah menghiasi asbak. Ia tengah bertanya kepada dirinya sendiri, sebenarnya bagaimana ia akan mati? Namun ia tidak mengetahuinya. Tetapi ia telah meninggalkan pesan jauh-jauh hari, “Jika aku mati, bakarlah aku, masukkanlah sisa abuku ke dalam kantong-kantong kecil berwarna merah jambu. Bagikanlah di antara teman-temanku yang setia. Tebarlah abuku di tanah-tanah baru yang belum mereka kenal, tanah-tanah baru yang belum aku kenal.” Semua orang memahaminya, semua teman-temannya dengan rela akan membawanya dalam kantong kecil merah jambu, menebarkannya ke seluruh dunia. Sejenak ia tersenyum gembira. Ia merasa tidak akan mati sia-sia.

Sesungguhnya ia hanya merasa berat pada satu hal. Ia akan menikah bulan depan dan ia masih sedikit tidak rela meninggalkan tunangannya sendirian. Jika ia akan mati malam ini. Jika ia mau menjadi malaikat pencabut nyawa atas dirinya sendiri malam ini. Sosok yang feminim itu begitu lekat, caranya membawa dirinya dengan luwes dan cantik. Sosok itu telah membuatnya bahagia, walaupun hanya sementara. Ah, cinta, ia merasa telah menemukannya hingga ia rela mati saat itu juga. Agar abadi. Agar terhindar dari masalah-masalah, kenangan-kenangan baru yang buruk dan terutama perpisahan yang menyedihkan. Ia mempunyai pengalaman buruk dengan perpisahan. Ia tidak mau berpisah dalam keadaan buruk dengan kekasihnya itu, yang merupakan akhir dari segala-galanya baginya. Ia lebih baik mati dengan membawa cinta mereka yang abadi. Ah, dihelanya nafas tiga kali. Puntung rokoknya bertambah tiga batang di dalam asbak. Menjadi enam puntung yang terserak.

Ia merasa telah mati sebanyak limapuluh dua kali. Sebuah bilangan yang menakjubkan. Maka dari itu, ia tidak takut mati. Ia suka merasa heran mengapa manusia begitu takut mati. Bukankah kematian merupakan bagian dari kehidupan? Bukankah kematian hanyalah satu sisi lain dari sebuah koin yang memiliki dua sisi? Ia masih heran. Ditatapnya langit kelabu yang mendekati warna hitam, senja sudah mulai hilang, hari telah menjelang malam. Apakah ia siap untuk mati malam-malam? Tengah malam nanti pastinya. Karena dia sudah tidak mau lagi melihat hari yang baru. Dia hanya mau mempertahankan apa yang sudah didapatnya siang tadi.

Siang tadi, kekasihnya datang ke rumah. Tidak melakukan apa-apa, karena kekasihnya sedang sibuk sendiri mengurus pernak-pernik untuk pernikahan mereka bulan depan. Kekasihnya selalu tersenyum bahagia setiap kali melihatnya, ia pun demikian, mengembangkan senyum sedemikian rupa. Ia tidak pernah tersenyum seperti itu seumur hidupnya, mungkin tidak akan jika ia tidak bertemu dengan kekasihnya itu. Ia ingin tetap diingat dengan senyum yang demikian. Senyum yang mirip marmut, kata kekasihnya, yang membuat dirinya digilai demikian gila oleh kekasihnya. Ah, kekasihnya yang begitu lucu, begitu cantik. Ia ingin merekam waktu dalam matanya, menghentikannya dan berhenti di saat itu. Saat tadi siang, jika saja ia tidak lupa membawa kamera, entah berapa rol telah ia habiskan untuk ingatannya mengenai tadi siang. Ciuman mereka yang khusyuk, semanis permen lollypop rasa stroberi yang digilainya waktu kecil. Seolah tak habis-habis. Seolah tak habis-habis. Andai saja waktu….

Andai saja waktu bisa berhenti saat itu. Saat mereka ciuman tadi siang. Hanya sekecup bibir. Nyaris tidak basah oleh ludah masing-masing. Tapi ia merasa seperti telah melihat cahaya surga, walau hanya sekejap, walau ia tidak percaya Tuhan sekalipun apalagi agama-agama. Tapi surga itu ada, sedetik, dalam kecupan antara dia dan kekasihnya, siang tadi yang cerah oleh mentari. Seolah ruang kamar apartemennya didatangi malaikat-malaikat, sama seperti waktu Maria didatangi Gabriel. Seperti kabar gembira yang jatuh dari langit. Kabar bahwa ia akan mati bahagia dan tidak sia-sia. Oh, tidak ada ekstase yang sedemikian rupa. Ia tidak tahu sampai kapan ia dapat bertahan dengan rasa semacam ini, kekasihnya membuat dirinya tidak dapat menahan perasaan apa-apa. Terlalu indah sehingga rasanya ingin mati saja. Keindahan yang tidak boleh dinodai. Keindahan yang terlalu indah di dunia ini sehingga tidak seharusnya ada. Dan ia rela menebus itu semua dengan nyawanya saat ini.

Setelah ciuman itu, kekasihnya pergi untuk mengambil gaun pengantin berwarna lavender, yang sudah dipesan dan juga sudah dilihatnya tiga hari yang lalu sampai rasanya matanya silau. Dia terlalu cantik. Laki-laki itu tidak kuasa menahannya, sampai matanya terasa pedas. Tidak terasa ketika kekasihnya kembali ke ruang ganti untuk ganti baju, setetes air mata mengalir dari matanya. Penuh haru dan rasanya begitu pedas seperti baru saja memotong bawang bombay berbaskom-baskom. Air mata itu menetes tepat di atas cincin tunangan mereka. Cincin perak buram yang terasa terang karena ada berlian kecil di tengah-tengah. Seterang kedua mata kekasihnya yang jernih dengan terlalu.

Sebenarnya, ia hanya merasa lelah dengan hidup. Pingin istirahat untuk waktu lama, itu saja. Sambil mengenang kekasihnya. Hanya kekasihnya. Namun tidak bisa, hidup telah menyisakan banyak luka buruk, bekasnya tidak mau hilang walaupun sebagai seorang laki-laki ia suka luluran. Memori tentang kekasihnya yang sekarang inilah yang mungkin adalah terbaik dari semua itu. Sebelum mati sebenarnya ia ingin menatap wajahnya, namun hal itu tidak bisa dilakukannya hari ini. Karena bagaimanapun ia ditakdirkan untuk mati sendirian. Dan ia tahu itu.

***

Sudah hampir genap seratus hari ketika mereka bertemu di sebuah kafe. Saat itu ia sedang berada dalam pojokan termuram di sebuah kafe malam. Musik jazz mengalun pelan di latar suasana. Kedatangan calon kekasihnya itu membuat aura malam menjadi lembut dan cahaya lilin menjadi jauh lebih temaram. Ia berubah jadi tenang ketika melihat calon kekasihnya duduk di meja seberang. Calon kekasihnya memakai baju warna biru laut yang kalem. Isapan rokoknya menjadi pelan dan teratur. Tiga kali jauh lebih lambat. Dan hanya sekali itu dalam seumur hidupnya, ia mulai hanya menghabiskan satu pak rokok mild. Biasanya bisa tiga sampai empat pak. Dan ia berhenti memesan alkohol dan mengganti pesanannya dengan jus jeruk. Ia ingin lebih sadar ketika memandangi sosok calon kekasihya dari seberang mejanya itu.

Calon kekasihnya itu juga memandanginya. Mereka secara norak saling memandangi satu dengan lainnya sambil sama-sama minum jus jeruk. Menyedotnya pelan-pelan hingga melewati saluran tenggorokan mereka dengan sama pelan. Mereka seolah-olah berada dalam semesta yang sama. Tidak satu pun dari mereka beranjak dari tempat duduk masing-masing. Mereka hanya saling diam, ketika semua orang di meja mereka masing-masing berbicara dengan bingar. Ia merasa sedikit trance, namun pelan. Ia merasa mabuk tanpa alkohol dan rasanya enak. Jus jeruk terasa sangat nikmat. Hisapan demi hisapannya. Semua orang di kafe itu seolah menghilang atau tepatnya membiarkan mereka seperti itu.

Tidak ada yang beranjak sampai tengah malam. Ia menuntaskan rokok terakhirnya, mematikannya di asbak. Mengambil potlot hitamnya, menuliskan tujuh digit nomor di atas kertas tissue. Pergi dengan elegan sekaligus enggan setelah sebelumnya menitipkan secarik kertas tissue itu kepada waiter untuk memberikannya kepada calon kekasihnya.

Sesampainya ia di depan pintu apartemennya, tepat sebelum ia memasukkan kunci ke lubang pintu. Sebuah sms masuk, telepon genggamnya berdenyit. Ia membukanya dengan berdebar dan semakin keras debaran jantungnya ketika membaca pesan yang masuk, “Aku mencintaimu, bahkan sebelum aku mengenalmu. Bagaimana kalau kita bertemu besok, tempat sama, jam yang sama. Pukul sembilan lebih tiga puluh tiga menit, seperti tadi?”. Dari calon kekasihnya yang ia tahu bahwa besok ia akan menjadi kekasihnya yang sebenar-benarnya. Ia tersentak. Ia nyaris melompat. Mereka bahkan belum berkenalan. Belum mengenal atau menyebutkan nama masing-masing. Untuk kali ini ia percaya dengan takdir, dengan nasib baik. Hanya untuk kali ini, seumur hidupnya. Ia sungguh ingin percaya. Sekali saja dan itu cukup.

***

Hujan belum berhenti dan sepertinya hidupnya akan berhenti di malam ini. Tepat tengah malam. Ia belum memutuskan bagaimana ia akan mati. Ia tidak terlalu peduli. Baik atau buruk. Menenggak obat tidur berlebihan atau melemparkan dirinya dari lantai tujuh hingga otaknya terburai di tanah merah. Semuanya sama saja. Mungkin yang terakhir hanya akan lebih merepotkan dan sensasional saja. Sepertinya ia akan memilih yang pertama jika ia boleh memilih. Ia tidak ingin kekasihnya tercekat ketika menemukannya mati. Apalagi teriak-teriak histeris hingga pingsan. Ia tidak suka drama. Kematian harusnya disambut dengan tenang. Karena saat ini ia telah merasa siap, ia tahu orang-orang di sekitarnya tidak akan siap, tapi tidak mengapa toh yang akan mati hanyalah dia. Setidaknya untuk malam ini. Ketika hujan masih deras dan tanah masih bau hujan.

Ia ingin mencium bau melati, ia ingin mencium wangi jeruk, ia ingin mencium bau rambut kekasihnya. Sebelum mati. Sebelum ia menenggak satu botol obat tidur dengan segelas air putih. Ia membuka pintu kaca kamarnya, berjalan keluar menuju pelataran. Keluar ke tengah-tengah hujan yang mengguntur itu. Yang petirnya berkilatan menghiasi langit ibukota. Seperti sesuatu yang besar tengah akan terjadi. Di bawah siraman hujan ia merasa terharu hingga tersedan. Alam seolah-olah tengah mempersiapkan ritualnya sendiri, untuk menghormati kematiannya dalam hitungan jam. Ini pukul delapan malam. Masih ada empat jam sebelum ia benar-benar mati. Ia menengadahkan kedua tangannya ke langit. Berterimakasih atas kehidupan yang telah diberikan padanya, berterimakasih atas kekasihnya yang diberikan untuknya. Ia memetik semua bunga mawar putih dan melati yang bermekaran di pot-pot bunga pelatarannya. Ditaruhya semua bunga itu di mangkuk kaca yang diisi air. Bunga-bunga itu mengambang dengan cantik. Ditulisnya ucapan “Selamat tinggal untuk sekarang, aku mencintaimu. Selalu. Selamanya.” Kartu berwarna ungu tua itu ditaruhnya di sebelah mangkuk kaca. Diukir serapi mungkin dengan bolpoin bertinta perak. Ah, dia akan merindukan kekasihnya.

Ia lalu mandi sebersih mungkin. Mencukur jambangnya yang telah lebat. Menyikat giginya satu per satu. Semuanya dengan adegan lambat. Karena ini yang terakhir. Ini yang terakhir. Setelah mengeringkan tubuhnya dengan handuk putih besar. Ia memandang tubuh telanjangnya di depan kaca. Mengambil pakaian terbaiknya, yang seharusnya dipakainya untuk menikah bulan depan. Jas putih gading itu. Sewarna dengan kulitnya. Ia terlihat tampan dan ia tersenyum sendirian. Sayang kekasihnya tidak akan melihatnya dalam jas itu, setidaknya tidak dalam keadaan hidup.

Ditenggaknya obat tidur dengan sekali jalan. Dilihatnya jam di dinding. Pukul sembilan malam dan masih hujan deras. Obat itu akan bereaksi dalam tiga jam. Ia lalu berbaring dengan tenang di tengah-tengah hamparan seprai putih ranjangnya. Seprainya baru diganti kekasihnya semalam. Benar-benar putih bersih. Seolah-olah dipersiapkan untuk menjadi ranjang kematiannya.

Ia merasa tenang. Semuanya menggelap. Ruangan. Matanya. Bahkan nafasnya. Tapi ia tenang. Setenang hujan yang mulai gerimis.

Gelap total.

***

Lalu terang. Dilihatnya warna putih yang kabur. Dilihatnya wajah kekasihnya, setengah menangis gembira. Tengah memeluknya sampai ia tidak bisa bergerak.

Jika ini surga, ia tidak akan bangun.

Yogyakarta, 13 Desember 2006, 8.24 PM

soal rambut

:e.e.

seperti sebuah janji yang tidak terselesaikan dulu
namun tidak terkait dengan apa yang terpampang sekarang

telah kupanjangkan lagi rambutku
karena tidak ada lagi yang perlu dilupakan
tidak ada lagi pelarian dan pelarian

sebagaimana aku hanya akan memotongnya pada hari kematianmu
yang juga kematianku
aku akan menjaganya
menjaganya selalu
sebagaimana aku akan selalu menjagamu

merangkum perjalanan ke barat

hari pertama ke barat, sore hari

ada seseorang yang kembali. ada seseorang yang lari. ah sudah seratus hari, tiada menjejak jalan-jalan yang sama. tiada menjejak lagi memori-memori ingatan yang keterlaluan. menyakitkan.

sudah, tidak sakit lagi. sudah tidak ada lagi.

ia mendarat dalam diamnya perjalanan. satu pesawat, satu bis, dan berlarian di antara angin-angin yang menyapa ibukota. sore hari. tidak ada mendung. tidak ada kemacetan yang ramai-ramai. ibukota terasa lenggang menakjubkan. si pengendara angin hanya terdiam. bertemu orang asing. membawa orang asing dalam tunggangannya.

lalu dibelinya oleh-oleh, di pojokan jalan. sepasang bola dan kantung hitam. untuk seseorang yang dirindukan. yang selalu dibawakannya barang-barang. yang selalu dipikirkannya setiap kali ia melihat pajangan etalase.

oh, ditunggunya gerombolan di pinggir jalan. si pengendara angin kemudian menemani sambil bercerita. orang asing itu bertanya macam-macam. ia seperti bukan dari sini. wajahnya. wajahnya berasal dari sesuatu yang jauh. tiga belas ribu tahun yang lalu. oh, di tanah-tanah jauh.

si pengendara angin datang dari timur. ia mengajak orang asing itu beristirahat di suatu tempat. tetapi orang asing itu menjawab “tidak, aku harus tetap berjalan. karena sudah jalanku untuk tetap berjalan”. dengan berat hati di pengendara angin mematikan rokok mereka masing-masing, menengguk satu botol aqua dan mengantarkannya ke tujuan.

sebuah gelang akar disimpannya dari orang asing itu. orang asing itu mengatakan akan kembali lagi ke ibukota bulan depan. ia akan mengirim pesan. ia hanya terpagut oleh sepi yang menyengat. liburan sekian jamnya sudah berakhir, ia melambaikan tangan dan meninggalkan decit angin di jalanan.

hari pertama di barat, menjelang malam

ia bertemu sekian perempuan. bertemu anak laki-lakinya, mengambil barang yang memang milik adiknya dan memberikan titipan kalung batu biru laut ke salah satu dari perempuan itu. seorang perempuan mempersembahkan kepadanya satu buah sushi tuna. yang dapat dimakannya dan hanya itu saja. tempat itu temaram. ia suka. seperti berada di sebuah rumah yang tenang. ia mencapit makanan dengan sumpit, yang hijau-hijau saja dan menenggak bergelas-gelas air hingga beser semalaman suntuk.

ia singgah dan beristirahat di rumah anak laki-lakinya. menyapa menantunya. dan meninggalkan cerita-cerita. mengambil pulang cucu perempuannya. menyalakan sembilan dupa, mengusir dua ekor tuyul dan mandi malam-malam. penuh wangi bunga teratai serta air sedingin es.

hari kedua di barat

sudah hari yang keseratus. orang-orang yang terpanggil akan datang. orang-orang yang sibuk akan selalu sibuk sampai mati. ayahnya masih menangis di pojokan rumah siang bolong. tidak mirip sundel bolong, namun kondisinya menyedihkan. lalu ia memanggil para leluhur di jawa, memanggil pulang ayahnya, memanggil ibunya, istri ayahnya untuk menyampaikan pesan-pesan.

ah di titik kundalini yang tidak tuntas. hati ayahnya terbuka dan menangis sejadi-jadinya hingga banjir air mata di halaman rumah. ia mengambil penyedot debu dan mengalirkannya ke sungai ciliwung di dekat rumah.

ia memanggil orang-orang, mengumpulkannya. membantai mereka satu-satu, setelah sebelumnya membantai dirinya terang-terangan, siang bolong pukul satu, di tengah-tengah banyak orang. dibukanya jubah hijau itu dan diperlihatkannya rajah, diperlihatkannya luka. sudah dua puluh tiga tahun lamanya. dicuatkannya dosa, disingkirkannya aib. tidak ada nama baik katanya. apa ini yang namanya keluarga? semua terdiam.

diselesaikannya segala. dupa-dupa sudah terbakar habis di rumah-rumah. angin sudah membawa segalanya yang sudah terjadi ketika semua pintu dan jendela sudah terbuka. rumah-rumah sepi itu menjadi bersih, suci walau tanpa deterjen mandi.

ah di hari keseratus pukul satu. ibunya sudah dapat pergi dengan tenang. besok pagi ia akan menengoknya. membenamkan tangannya ke tanah dan membalikkan apa yang dari tanah kembali ke tanah.

ia menandatangani semua surat-surat. meninggalkan semua pesan dan wejangan. memeluk dan menciumi orang-orang. karena ia akan pergi jauh untuk tidak kembali. jauh.

hari ketiga di barat, pagi hari

ia menengok apa yang tersisa dari ibunya, di gunung gadung. membenamkan tangan bersama adiknya ke dalam tanah dan berucap “om mane padhe hum”. membersihkan tanah, menabur bunga-bunga di atasnya, berucap doa dan mengunci mantra-mantra. ah, ibu yang tercinta.

ia mendatangi kuil cina itu. menyalakan enam dupa di depan gerbang. bersama adiknya, ia menyembah ke arah utara. tiga kali. enam kali. lalu masuk ke dalam kuil.

melaporkan diri mengenai keluarganya pada kepada semua leluhur. menemui kuan kong. menemui kuan kim. menemui dirinya. menemui dirinya yang lain. ah mengapa terasa mirip dan rasanya ia mau menangis terharu. dinyalakannya tiga dupa di tengah. enam dupa di samping dinyalakan adiknya. direkamnya semua itu dalam gambar-gambar. diminumnya air dari kuan kim. dibawakannya air dari kuan kong untuk dirinya yang lain. disembahnya seseorang yang berada di tengah-tengah. ia tidak kenal siapa. dibentuknya mudra. dibukanya cakra. dan dilebarkannya ruang mereka. memanggil langit. memanggil tanah. memanggil bumi. datanglah orang-orang tua. datanglah semesta. berputaran dan pendarnya ditinggalkan di tempat itu.

di kuil itu, dikeluarkannya sepasang gelang dan kalung. gelang milik kuan kong dan kalung milik kuan kim. dititipkannya barang-barang itu pada si juru kunci. dibisikkannya “ini milik mereka, saya hanya membawakan.” seorang tetua mencegatnya sebelum pulang. menanyakan asalnya. ia hanya berbisik “dari tanah-tanah jauh, dari atap langit yang biru di utara sana.” mereka menghaturkan doa. saling memberkati dalam masing-masing perjalanan. ditinggalkannya tempat itu dengan menyalakan sisa dupa dan disembahnya utara tiga kali dan selatan tiga kali.

terima kasih. terima kasih. terima kasih.

hari ketiga di barat, menjelang sore

dimasukkannya barang-barang ke dalam tas. mengecek apa saja yang harus dibawa dan tidak perlu dibawa. meninggalkan sekotak rokok untuk seorang petani berumur empat ratus tahun dan menitipkan sebuah barang yang memang selalu disimpan petani itu, untuk masih disimpan. dipeluknya orang-orang di rumah itu dan ia pergi di tengah hujan. dititipkannya pesan-pesan untuk adiknya. diberikannya gelang perak milik seorang biksu cina, ia berpesan “jangan dilepaskan”.

ia bergerak lagi ke arah ibukota. bertemu dengan perempuan-perempuan itu kemarin. mencari sosoknya yang jawa yang juga perempuan. berkemben kuning dengan kerisnya yang bengkok. sepucuk melati menempati sanggulnya. ia mengatakan “sebutlah namaku dan kembalikan kerisku, maka aku akan membantu kalian semua.” ia bersantai dengan berbatang-batang rokok. dupanya telah habis digunakan. disusunnya puntung-puntung untuk membentuk huruf.

ia berpisah dengan mereka sementara waktu. singgah kembali di tempat anaknya. menumpahkan isi hati dan keinginannya untuk berhenti sementara. biar ia kembali perempuan. menempatkan dirinya sebagai perempuan. perempuan untuk laki-laki yang telah ditentukan baginya. anaknya berpesan. ia mendengarkan.

hari keempat, menjelang perjalanan kembali ke timur, ke kota senja

pagi hari. ia terbangun tepat sebelum semua alarm alam berbunyi kecuali kesadaran dirinya. anaknya masih belum tidur. sudah waktunya ia menutup cakra. ketiganya. orang-orang tua akan pergi sementara. biarlah ia berbenah di pagi yang baru. ia mengambil bergayung-gayung air. memakan tiga potong biskuit gandum dan meminum teh melati dingin dari kulkas.

anakku, baik-baiklah. saya akan pergi ke timur. ke daerah-daerah berbahaya itu. buatlah kami tidak terlihat. buatlah kami selayaknya turis biasa. kami tidak mau memancing siapa-siapa dan membuat apa-apa. kami hanya ingin jalan-jalan.

ia pergi ketika sinar matahari mulai rata. di atas taksi. di atas bis. dan di atas pesawat. meninggalkan jakarta seperti biasa.

senja di hari itu
:sakyathara

oh,
hari yang jauh itu
di mataku
merekam semua sosok keindahanmu

senja itu, senja itu
bahkan matahari menangisi kepergianmu

ah,
sejak dahulu
beribu-ribu tahun yang lalu

tariklah aku dari kegelapan itu
sebagaimana aku menarikmu sekarang,
sakya

om mane
mane om

om mane padhe hum

carilah jalinan benang merah yang tidak pernah putus itu
di punggungku
di nadi tangan kirimu

tetaplah bersamaku, sakya
apapun
bagaimanapun
garis tangan kita yang sedang menuju menjadi satu

tetaplah bersamaku, sakya
begini saja
begini saja

cukupkan aku
lihatlah aku
sebagaimana aku selalu melihatmu

jalan itu sakya, jalan kita pulang
aku ingin sakya, membawamu pulang
membawamu selalu dalam segala saku yang kumiliki dalam perjalanan-perjalananku

tetaplah bersamaku, sakya
begini saja
begini saja

om mane padhe hum
om mane padhe hum

pradnya sakya
pradnya
om

setelah tiga ribu tiga ratus tahun lamanya
:sakyathara

aku terpaku
pada laku
rupamu

menghening jiwa
menghening rasa

satu
aku
satu
bumi
satu
dirimu

diammu seribu
bahasa
diamku seribu
rupa

terima kasih ku
terima kasih ku
pada segala
dan padamu
seorang