Laki-laki di Tengah Hujan Besar
: sebuah cerita pendek untuk paul f. agusta
Hujan besar menerpa ibukota. Laki-laki yang juga berbadan besar itu menatapnya. Dari jendela apartemen yang tenggelam di tengah-tengah kota yang juga nyaris tenggelam. Ia merasa hampa. Ia ingin banjir turut menyeretnya hingga ia mati.
Lampu-lampu kota menjelang senja dengan temaram menghiasi pemandangan dari kaca apartemennya di lantai tujuh. Suasana sekitarnya menjadi tambah muram. Warna langit yang mendekati ungu membuatnya ingin terbang sampai langit ketujuh. Ia begitu terobsesi mengenai kematian, hingga merasa begitu dekat, begitu lekat.
Lima belas menit kemudian, tiga puntung rokoknya telah menghiasi asbak. Ia tengah bertanya kepada dirinya sendiri, sebenarnya bagaimana ia akan mati? Namun ia tidak mengetahuinya. Tetapi ia telah meninggalkan pesan jauh-jauh hari, “Jika aku mati, bakarlah aku, masukkanlah sisa abuku ke dalam kantong-kantong kecil berwarna merah jambu. Bagikanlah di antara teman-temanku yang setia. Tebarlah abuku di tanah-tanah baru yang belum mereka kenal, tanah-tanah baru yang belum aku kenal.” Semua orang memahaminya, semua teman-temannya dengan rela akan membawanya dalam kantong kecil merah jambu, menebarkannya ke seluruh dunia. Sejenak ia tersenyum gembira. Ia merasa tidak akan mati sia-sia.
Sesungguhnya ia hanya merasa berat pada satu hal. Ia akan menikah bulan depan dan ia masih sedikit tidak rela meninggalkan tunangannya sendirian. Jika ia akan mati malam ini. Jika ia mau menjadi malaikat pencabut nyawa atas dirinya sendiri malam ini. Sosok yang feminim itu begitu lekat, caranya membawa dirinya dengan luwes dan cantik. Sosok itu telah membuatnya bahagia, walaupun hanya sementara. Ah, cinta, ia merasa telah menemukannya hingga ia rela mati saat itu juga. Agar abadi. Agar terhindar dari masalah-masalah, kenangan-kenangan baru yang buruk dan terutama perpisahan yang menyedihkan. Ia mempunyai pengalaman buruk dengan perpisahan. Ia tidak mau berpisah dalam keadaan buruk dengan kekasihnya itu, yang merupakan akhir dari segala-galanya baginya. Ia lebih baik mati dengan membawa cinta mereka yang abadi. Ah, dihelanya nafas tiga kali. Puntung rokoknya bertambah tiga batang di dalam asbak. Menjadi enam puntung yang terserak.
Ia merasa telah mati sebanyak limapuluh dua kali. Sebuah bilangan yang menakjubkan. Maka dari itu, ia tidak takut mati. Ia suka merasa heran mengapa manusia begitu takut mati. Bukankah kematian merupakan bagian dari kehidupan? Bukankah kematian hanyalah satu sisi lain dari sebuah koin yang memiliki dua sisi? Ia masih heran. Ditatapnya langit kelabu yang mendekati warna hitam, senja sudah mulai hilang, hari telah menjelang malam. Apakah ia siap untuk mati malam-malam? Tengah malam nanti pastinya. Karena dia sudah tidak mau lagi melihat hari yang baru. Dia hanya mau mempertahankan apa yang sudah didapatnya siang tadi.
Siang tadi, kekasihnya datang ke rumah. Tidak melakukan apa-apa, karena kekasihnya sedang sibuk sendiri mengurus pernak-pernik untuk pernikahan mereka bulan depan. Kekasihnya selalu tersenyum bahagia setiap kali melihatnya, ia pun demikian, mengembangkan senyum sedemikian rupa. Ia tidak pernah tersenyum seperti itu seumur hidupnya, mungkin tidak akan jika ia tidak bertemu dengan kekasihnya itu. Ia ingin tetap diingat dengan senyum yang demikian. Senyum yang mirip marmut, kata kekasihnya, yang membuat dirinya digilai demikian gila oleh kekasihnya. Ah, kekasihnya yang begitu lucu, begitu cantik. Ia ingin merekam waktu dalam matanya, menghentikannya dan berhenti di saat itu. Saat tadi siang, jika saja ia tidak lupa membawa kamera, entah berapa rol telah ia habiskan untuk ingatannya mengenai tadi siang. Ciuman mereka yang khusyuk, semanis permen lollypop rasa stroberi yang digilainya waktu kecil. Seolah tak habis-habis. Seolah tak habis-habis. Andai saja waktu….
Andai saja waktu bisa berhenti saat itu. Saat mereka ciuman tadi siang. Hanya sekecup bibir. Nyaris tidak basah oleh ludah masing-masing. Tapi ia merasa seperti telah melihat cahaya surga, walau hanya sekejap, walau ia tidak percaya Tuhan sekalipun apalagi agama-agama. Tapi surga itu ada, sedetik, dalam kecupan antara dia dan kekasihnya, siang tadi yang cerah oleh mentari. Seolah ruang kamar apartemennya didatangi malaikat-malaikat, sama seperti waktu Maria didatangi Gabriel. Seperti kabar gembira yang jatuh dari langit. Kabar bahwa ia akan mati bahagia dan tidak sia-sia. Oh, tidak ada ekstase yang sedemikian rupa. Ia tidak tahu sampai kapan ia dapat bertahan dengan rasa semacam ini, kekasihnya membuat dirinya tidak dapat menahan perasaan apa-apa. Terlalu indah sehingga rasanya ingin mati saja. Keindahan yang tidak boleh dinodai. Keindahan yang terlalu indah di dunia ini sehingga tidak seharusnya ada. Dan ia rela menebus itu semua dengan nyawanya saat ini.
Setelah ciuman itu, kekasihnya pergi untuk mengambil gaun pengantin berwarna lavender, yang sudah dipesan dan juga sudah dilihatnya tiga hari yang lalu sampai rasanya matanya silau. Dia terlalu cantik. Laki-laki itu tidak kuasa menahannya, sampai matanya terasa pedas. Tidak terasa ketika kekasihnya kembali ke ruang ganti untuk ganti baju, setetes air mata mengalir dari matanya. Penuh haru dan rasanya begitu pedas seperti baru saja memotong bawang bombay berbaskom-baskom. Air mata itu menetes tepat di atas cincin tunangan mereka. Cincin perak buram yang terasa terang karena ada berlian kecil di tengah-tengah. Seterang kedua mata kekasihnya yang jernih dengan terlalu.
Sebenarnya, ia hanya merasa lelah dengan hidup. Pingin istirahat untuk waktu lama, itu saja. Sambil mengenang kekasihnya. Hanya kekasihnya. Namun tidak bisa, hidup telah menyisakan banyak luka buruk, bekasnya tidak mau hilang walaupun sebagai seorang laki-laki ia suka luluran. Memori tentang kekasihnya yang sekarang inilah yang mungkin adalah terbaik dari semua itu. Sebelum mati sebenarnya ia ingin menatap wajahnya, namun hal itu tidak bisa dilakukannya hari ini. Karena bagaimanapun ia ditakdirkan untuk mati sendirian. Dan ia tahu itu.
***
Sudah hampir genap seratus hari ketika mereka bertemu di sebuah kafe. Saat itu ia sedang berada dalam pojokan termuram di sebuah kafe malam. Musik jazz mengalun pelan di latar suasana. Kedatangan calon kekasihnya itu membuat aura malam menjadi lembut dan cahaya lilin menjadi jauh lebih temaram. Ia berubah jadi tenang ketika melihat calon kekasihnya duduk di meja seberang. Calon kekasihnya memakai baju warna biru laut yang kalem. Isapan rokoknya menjadi pelan dan teratur. Tiga kali jauh lebih lambat. Dan hanya sekali itu dalam seumur hidupnya, ia mulai hanya menghabiskan satu pak rokok mild. Biasanya bisa tiga sampai empat pak. Dan ia berhenti memesan alkohol dan mengganti pesanannya dengan jus jeruk. Ia ingin lebih sadar ketika memandangi sosok calon kekasihya dari seberang mejanya itu.
Calon kekasihnya itu juga memandanginya. Mereka secara norak saling memandangi satu dengan lainnya sambil sama-sama minum jus jeruk. Menyedotnya pelan-pelan hingga melewati saluran tenggorokan mereka dengan sama pelan. Mereka seolah-olah berada dalam semesta yang sama. Tidak satu pun dari mereka beranjak dari tempat duduk masing-masing. Mereka hanya saling diam, ketika semua orang di meja mereka masing-masing berbicara dengan bingar. Ia merasa sedikit trance, namun pelan. Ia merasa mabuk tanpa alkohol dan rasanya enak. Jus jeruk terasa sangat nikmat. Hisapan demi hisapannya. Semua orang di kafe itu seolah menghilang atau tepatnya membiarkan mereka seperti itu.
Tidak ada yang beranjak sampai tengah malam. Ia menuntaskan rokok terakhirnya, mematikannya di asbak. Mengambil potlot hitamnya, menuliskan tujuh digit nomor di atas kertas tissue. Pergi dengan elegan sekaligus enggan setelah sebelumnya menitipkan secarik kertas tissue itu kepada waiter untuk memberikannya kepada calon kekasihnya.
Sesampainya ia di depan pintu apartemennya, tepat sebelum ia memasukkan kunci ke lubang pintu. Sebuah sms masuk, telepon genggamnya berdenyit. Ia membukanya dengan berdebar dan semakin keras debaran jantungnya ketika membaca pesan yang masuk, “Aku mencintaimu, bahkan sebelum aku mengenalmu. Bagaimana kalau kita bertemu besok, tempat sama, jam yang sama. Pukul sembilan lebih tiga puluh tiga menit, seperti tadi?”. Dari calon kekasihnya yang ia tahu bahwa besok ia akan menjadi kekasihnya yang sebenar-benarnya. Ia tersentak. Ia nyaris melompat. Mereka bahkan belum berkenalan. Belum mengenal atau menyebutkan nama masing-masing. Untuk kali ini ia percaya dengan takdir, dengan nasib baik. Hanya untuk kali ini, seumur hidupnya. Ia sungguh ingin percaya. Sekali saja dan itu cukup.
***
Hujan belum berhenti dan sepertinya hidupnya akan berhenti di malam ini. Tepat tengah malam. Ia belum memutuskan bagaimana ia akan mati. Ia tidak terlalu peduli. Baik atau buruk. Menenggak obat tidur berlebihan atau melemparkan dirinya dari lantai tujuh hingga otaknya terburai di tanah merah. Semuanya sama saja. Mungkin yang terakhir hanya akan lebih merepotkan dan sensasional saja. Sepertinya ia akan memilih yang pertama jika ia boleh memilih. Ia tidak ingin kekasihnya tercekat ketika menemukannya mati. Apalagi teriak-teriak histeris hingga pingsan. Ia tidak suka drama. Kematian harusnya disambut dengan tenang. Karena saat ini ia telah merasa siap, ia tahu orang-orang di sekitarnya tidak akan siap, tapi tidak mengapa toh yang akan mati hanyalah dia. Setidaknya untuk malam ini. Ketika hujan masih deras dan tanah masih bau hujan.
Ia ingin mencium bau melati, ia ingin mencium wangi jeruk, ia ingin mencium bau rambut kekasihnya. Sebelum mati. Sebelum ia menenggak satu botol obat tidur dengan segelas air putih. Ia membuka pintu kaca kamarnya, berjalan keluar menuju pelataran. Keluar ke tengah-tengah hujan yang mengguntur itu. Yang petirnya berkilatan menghiasi langit ibukota. Seperti sesuatu yang besar tengah akan terjadi. Di bawah siraman hujan ia merasa terharu hingga tersedan. Alam seolah-olah tengah mempersiapkan ritualnya sendiri, untuk menghormati kematiannya dalam hitungan jam. Ini pukul delapan malam. Masih ada empat jam sebelum ia benar-benar mati. Ia menengadahkan kedua tangannya ke langit. Berterimakasih atas kehidupan yang telah diberikan padanya, berterimakasih atas kekasihnya yang diberikan untuknya. Ia memetik semua bunga mawar putih dan melati yang bermekaran di pot-pot bunga pelatarannya. Ditaruhya semua bunga itu di mangkuk kaca yang diisi air. Bunga-bunga itu mengambang dengan cantik. Ditulisnya ucapan “Selamat tinggal untuk sekarang, aku mencintaimu. Selalu. Selamanya.” Kartu berwarna ungu tua itu ditaruhnya di sebelah mangkuk kaca. Diukir serapi mungkin dengan bolpoin bertinta perak. Ah, dia akan merindukan kekasihnya.
Ia lalu mandi sebersih mungkin. Mencukur jambangnya yang telah lebat. Menyikat giginya satu per satu. Semuanya dengan adegan lambat. Karena ini yang terakhir. Ini yang terakhir. Setelah mengeringkan tubuhnya dengan handuk putih besar. Ia memandang tubuh telanjangnya di depan kaca. Mengambil pakaian terbaiknya, yang seharusnya dipakainya untuk menikah bulan depan. Jas putih gading itu. Sewarna dengan kulitnya. Ia terlihat tampan dan ia tersenyum sendirian. Sayang kekasihnya tidak akan melihatnya dalam jas itu, setidaknya tidak dalam keadaan hidup.
Ditenggaknya obat tidur dengan sekali jalan. Dilihatnya jam di dinding. Pukul sembilan malam dan masih hujan deras. Obat itu akan bereaksi dalam tiga jam. Ia lalu berbaring dengan tenang di tengah-tengah hamparan seprai putih ranjangnya. Seprainya baru diganti kekasihnya semalam. Benar-benar putih bersih. Seolah-olah dipersiapkan untuk menjadi ranjang kematiannya.
Ia merasa tenang. Semuanya menggelap. Ruangan. Matanya. Bahkan nafasnya. Tapi ia tenang. Setenang hujan yang mulai gerimis.
Gelap total.
***
Lalu terang. Dilihatnya warna putih yang kabur. Dilihatnya wajah kekasihnya, setengah menangis gembira. Tengah memeluknya sampai ia tidak bisa bergerak.
Jika ini surga, ia tidak akan bangun.
Yogyakarta, 13 Desember 2006, 8.24 PM