Bulan Ketiga

Ada gigil tergigit rindu ketika kau berjalan kaki menuju sebuah lapangan, dimana dirimu mendarat bersamanya dari atas bukit tertinggi. Sore berkabut yang cerah. Lompatan yang memerlukan segenap keberanian. Detik-detik itu kau mengerti, dialah orang yang tepat untukmu meloncat darimana pun. Jika hidup adalah pilihan yang selalu beresiko, kau tahu, perempuan itu adalah resiko yang tepat.

Kau terkaget dalam isak tangisnya di bis malam itu, bersama melepas jejak kepergian. Senyummu mengiringinya namun nanar matamu menyimpan melankoli rindu yang sudah menusuk dalam hingga ke ulu hati. Detik kepergiannya menandakan bahwa kau tak lagi sendirian. Malam-malam berikutnya kau merindukan suara serak akan rindu dan ruang sempit yang disisakannya di balik selimut pada udara pegunungan yang semakin membeku.

Sekian purnama kau lewati dalam doa-doa yang kau kirimkan untuknya, doa-doa yang dikirimkan melalui udara darinya. Dalam keheninganmu, kau selalu menemukan dirinya sekarang. Sekian tumpukan surat, dinding-dinding rapuh hatinya yang runtuh satu per satu di hadapanmu, langkahnya yang kadang tegap kadang terseok, ketidaksempurnaannya, kejujuran hingga caranya menghela nafas. Hidup tidak pernah mudah. Rindu tak pernah ringan.

Di suatu sore, dimana genggaman tangan mengiringi sekian perjalanan, kau berjanji akan melindunginya dan dirinya terisak dalam pelukanmu, ia berlindung. Melepas lelah dunia sejenak dan berserah.

Pada buddha kita semua berlindung. Dalam doa dan mantra yang terlantun setiap saat, setiap kehidupan. Untuk segala kebaikan dan segala pertemuan. Yang sudah dan yang akan datang.

Di balik bulan yang terselip awan, kau menitipkan segala rasa yang sudah terlewati dan dirinya yang bersamamu selalu. Kau tak lagi sendirian.

*penggalan ingatan akan Bir, Himachal Pradesh.