Sembilan Matahari Menguasai Kota

Sembilan matahari turut terbangun subuh tadi, menerangi kota hingga seluruh penduduknya silau akan cahaya. Tidak sampai tengah hari, awan gelap menaungi dan menjatuhkan segenap lautan hingga membilas seluruh permukaan kota.

Aliran airnya membasuh hingga ke desa-desa. Dan laut. Dan laut. Larut bergemuruh dengan doa. Melarikan karma pada asal muasalnya.

Sejenak hening merayapi goa, dimana masa lalu berdengung hadir dalam jejak cerita yang meninggalkan petunjuk-petunjuknya untuk dipahami.

Sekian orbit planet telah bergeser. Aku meratapi langit dan bintang utara. Melihat kabar yang berjatuhan dari ketinggian dan menangkapinya bagaikan kehujanan akan cerita.

Yogyakarta, 18 Oktober 2021

Di Selatan

Gelap yang hanya diterangi bulan

Pasir membentang

Menafsirkan bintang di atas kepala

Mantram-mantram berseliweran

Pada segala ibu kita semua berpulang

 

Namun dirimu menyentuh air

Seperti pertanda semesta

Mataku basah

Setelah sekian abad

Aku sudah tak lagi mengenali siapa yang sebenarnya berpulang

Pada apa

 

Tapi pada dadamu

Gemuruh subuh

Membuatku menaruh kepalaku

Kembali ke dalam lengkung rusukmu

 

Aku seolah menggenapi segala yang kembali menyatu

Yang Utara

dan yang Selatan

Yang jauh

dan yang dekat

Tak terpisahkan

 

Sudah beribu-ribu perjalanan kita berdua tempuh

dan pada pelukan di sebuah sore itu

kata-katamu menggema bagai rima di telingaku

 

Kau yang sudah berjalan begitu jauh menujuku

dan aku yang akan selalu menangkapmu

 

Maka kubiarkanlah segala yang mendekap

Hingga cuit burung menandakan pagi

dan angin laut bertiup kembali dari Selatan

 

Parangkusumo, 27 Juni 2018

Setahun Kemudian

Setahun kemudian aku tak lagi sayang

Menyayangkan namun tak pernah menyesali segala sesuatu

Roda kehidupan selalu berputar

Seperti gunung-gunung, kubiarkan kau pergi mencari jejak diri

Dan aku tetap di bawah sisi Himalaya yang lain

 

Seorang brahmin pernah membaca garis tangan kita berdua

Betapa jalan itu begitu berbeda

Namun aku tetap percaya bahwa nasib tetaplah dalam genggaman

Dan pilihan yang kita ambil tetaplah pilihan kita sendiri

 

Mungkin kebenaran kata-kataku sekarang

Mengandung sendunya butiran es yang menerpa

Di turunnya hujan salju yang pertama di Kathmandu

Sekian hal datang dan pergi

Hanya pada kedalaman diri kita akan mengolah sekian peristiwa

 

Dan akan kubiarkan airmatamu mengaliri Sanamberi

Luka diri yang terus menerus menganga ketika kau memilih untuk bergantung pada kesemuan dan ilusi

Bagai revolusi yang mengoyak tanah lahirmu suatu ketika

Dan entah kapan kau akan memilih rekonsiliasi pada dirimu sendiri

 

Sagarmatha tak pernah kemana

Hanya puncak-puncak diri dan ego yang kita taklukkan dalam perjalanan menuju ke puncak-puncak Himalaya

Saat ini Sagarmatha masih bercokol dalam dirimu

Yang pada akhirnya kau menyadari bahwa tak ada jalan lain selain turun ke bawah

 

Ini sudah setahun kemudian

Diri ini akan terus menerus berjalan

Karena yang pasti adalah selalu dan selalu

Akhir dari segala

Kematian yang menanti kita di ujung jalan

Maka itu aku tak pernah membuang waktu

Dalam gundah gulana sedalam lautan

 

Kesedihan bagiku adalah mata air di tanah Jawa

Dimana diriku mumbul

Ke permukaan segara

Dan perasaanku mengalir ke Laut Selatan

Kala (Waktu)

Waktu adalah suatu ruang yang gila dan sementara
Namun ia juga menyimpan misteri kehidupan dan kesabaran akan penantian

Batara Kala diciptakan dalam ketidaksengajaan
Sampai ia melahap bulan di suatu waktu

Sehingga Nirwana gonjang ganjing dan Batara Siwa pun harus turun tangan dari kahyangan

Pada waktunya, di detik di mana aku menemukanmu kembali
Tanpa harus meraih seluruh keberadaanmu di balik jeruji yang tak tersentuh
Pekatnya biru matamu
Yang membuat detak jantungku seolah berhenti di suatu waktu
Lalu jarak lautan yang membentang
Seolah menjadi alasan untuk terus menerus mengulur waktu

Apakah, apakah di waktu yang telah terlewati
Di sekian langkah yang kujalani di tanah Himalaya
Masih menjadi jejak di hatimu?

Aku tahu bahwa hal-hal inilah yang akan menjadi pertanyaan-pertanyaan besarmu
Namun aku pada saat ini lebih terpaku pada pertanyaan-pertanyaan yang kecil

Seperti waktu, aku butuh mengada
Berada dalam kekinianku
Yang tak lagi muluk
Namun menjejak di tanah di mana bumiku berpijak

Bahkan ketika Batara Kala melahap bulan
Aku tak lagi kehilangan waktu
Baik di Jawa
Baik di Himalaya
Jejakku adalah jalan setapak yang terlihat di bawah cahaya rembulan
Dalam kegelapan aku selalu menemukan jalan pulang

Karena sekian cahaya lilin di hatiku telah menerangi
Jalanku sendiri

Aku tak tahu lagi apakah jalanmu saat ini menuju Jawa
Akan menjadi terang yang sama

Lubang Hitam

:Benedict Anderson

Ada lubang hitam tumbuh di dadaku pagi itu, Om Ben

Seolah sesak yang tak kunjung hilang semenjak berita kepergianmu

Namun jejak hangatmu masih lekat

Dan hari ini kau memeluk dasar laut Jawa

 

Lalu hari-hari di bebatuan candi, tanah Jawa dan dongeng-dongeng yang melampaui sekian masa

Sekian tahun email-email panjang dan pendek

Di momen-momen yang tak pernah tergantikan oleh waktu

 

Rintik airmataku masih mengantar kepergianmu

dan masih kutemukan menggenang di pelupuk mataku

Kubiarkan mengalir hingga lubang hitam itu menghilang

Biarlah ikut dilarung bersamamu hari ini

 

Kau yang selalu ada, kau yang selalu ada

Dan guru yang selalu kurindukan, sepanjang masa dan kehidupan

Genggaman hangatmu dan tawamu masih menggema melekat dalam diriku

Dupa telah menyala, bunga telah ditabur, kendi sudah dipecahkan

Oh, di Surabaya

Kau yang selalu ada

Tak ada salju di musim dingin Kathmandu

:F.V.

Tak ada salju yang akan menyapamu di Kathmandu, sayangku

Dan aku tahu itu

Namun es akan terbentuk dalam kubangan-kubangan air

Lalu udara akan sedikit membeku di jam-jam tertentu

Langit akan sebiru matamu

 

Sebiru lautku, di sisi Selatan

Pada hari yang sebiru itu, aku akan menemukan jejakmu di atas pasir, di belahan dunia yang lain, yang suatu hari kita pijak bersama

Biarkanlah di malam yang terang setelah musim penghujan, aku merajut mimpi akan jalan-jalan yang telah kulalui denganmu dan jalan-jalan yang akan terbentang juga denganmu

Karena kembara adalah takdir pertemuan kita dan ini waktu di mana peta kita berhenti karena sebuah ciuman dan sekian pelukan, juga pegangan, tangan

Jika genggaman tanganmu kutemukan di malam-malam tak terlihat di belakang bukit Swayambunath, birunya matamu akan menuntunku di semua perjalananku ke Barat

 

Demi dewa tua dan yang baru, di musim semi selanjutnya, sesuatu yang tumbuh itu akan kita pegang bersama dan pelihara

Di Bawah Kepak Burung

Di Patan kau berkata

Seseorang dapat saja baru jatuh cinta pertama kali

Pada usia tiga puluh tahun

Seseorang itu tertawa

 

Kepak burung menggema menggetarkan langit sore itu

Di suatu malam kau pernah membasuh tangis

Dan di bawah hujaman siraman air, kau menangis tersedu-sedu

Seseorang itu bertanya kenapa

 

Jika sebuah pelukan dapat menyembuhkan luka

Itulah yang dilakukannya

Dan dalam satu tetes mata laki-laki itu

Kau tahu bagaimana cinta itu menjadi begitu berharga

Terkadang tanpa alasan

Tanpa musim

 

Hanya angin

Yang mengepakkan sayap-sayapmu

Di kala langit membentang

Dan ruang dalam dadamu terasa meluas

 

Kau tahu di mana kau akan mencari jalan pulang

Merahnya Dharamsala

selimut merah marun
masih bersibak harum
dharamsala

tetes salju pernah mengendap
dingin udara pernah meresap
dalam gelap

malam-malam sepi
dalam detak dada yang terbaring
jemari yang mencari
terkatup hingga pagi

di tanah ini
ziarah-ziarah sunyi
terjadi

dalam keheningannya
aku menghirup
segala kenanganmu
segala ingatan
dan memori

dan pada segala kehilangan
dalam mata biksu
yang menatap nanar
api yang tengah menyala

di tanah mereka
jauh disana

lilin tak lagi cukup menerangi
tubuh telah menjadi sumbu

betapa, betapa merahnya
dharamsala

dalam matamu
aku mengingat
segala cerita

pada akhirnya kita semua adalah pengungsi
dalam naungan buddha
dan dalam doa yang kelak
menyala dalam lilin biasa

The Red of Dharamsala

The red maroon blanket
still smell of Dharamsala

The drip of snow has once precipitate
The cold air has once seep through
In the darkness

Lonely nights
Inside the beating chest whom had lied down
The lingering fingers
Clasping together until morning

In this land
The silent pilgrimages
Existed

In its quietness
I breath
All your memories
All memories
Which once mine

And in every lost
At the monk’s eyes
That stared at
The burning fire

On their land
Far away

Candles no longer illuminate
Bodies has become the burning thread

How red, oh how red is
Dharamsala

Inside your eyes
I remember
Every stories

In the end we all are taking refugee
Under the auspices of Buddha
And in the prayer that one day
Can light like an ordinary candle

Menuju Laut Lepas (Towards the Open Sea)

:c.

jejakmu nampak
dalam sulur dedaunan
di sepanjang tanah jawa

your steps arises
in the vine leaves
across this land of java

waktu seperti mundur ke belakang
sementara kita tidak sedang berada
di atas kuda
pada sebuah jaman yang lampau
ini bukan sesuatu
yang bukan apa-apa

time took a step back
while we are not
riding horses
of the past
this is not something
that is not nothing

ketika kujejakkan kakiku pada tanahmu
suatu waktu
momen itu hanyalah untuk menunggu ingatan
pada sebuah tepian sungai
dimana aku menangkapmu
bagai ikan
dan melepasmu sepanjang jalan
pulang

when i step my feet on the ground of your land
one time
that moment only awaits the coming memory
on the riverbank
where i caught you
like the fish
and release you all the way
home

aku menatapmu berenang
menuju laut lepas
dan dalam perjalananku
aku menatap
ke arah yang kau tuju
laut, laut, laut

i see you swimming
to the open sea
and on my journey
i saw
to the direction you are heading
the sea, the sea, the sea

dan jejakku yang bergerak menujunya

and of my steps slowly going to the same sea

melalui sungai yang sama: ibu gangga yang agung

through the same river: the magnificent mother of gangges