Pada Aku yang telah Mengenalmu Sebelum Ini

Sebenarnya sudah berapa kali kita akan menemui ini, perjalanan pasangan jiwa yang akan berhenti pada pernyataan: aku telah mengenalmu sebelum ini. Telah menunggumu datang sebelum ini. Jauh-jauh sebelum kita bertemu pada yang sekarang.

Namun hari itu memang dirimu datang, dalam wujud wajah yang terlupakan. Percakapan yang sedemikian pintas. Berbicara dengan energi yang sama tuanya. Menangisi hidup dengan kelelahan hidup yang sama-sama purba. Pertemuan sungai itu menjadi nglangut mengalir ke laut seperti segala yang sudah.

Di suatu pojokan di sekian bulan kemudian, tubuhmu menyenggolku suatu malam yang membuatku terbangun dan berbalik menemukanmu. Siapa? Namun yang kulihat dalam gelap senyapnya malam itu hanya sosokmu yang tengah merebah dan tidak berbahaya. Maka kulelapkanlah apa yang sudah tergaris malam itu.

Namun seperti hidup, kita tidak akan pernah paham bagaimana pertemuan itu bergulir selanjutnya. Akan betapa lamanya dirimu pernah menjaga dan selalu menjagaku. Segalanya berkelebat seperti malam itu, tanpa basa basi, penuh tawa dan gigitan mesra.

Aku tak peduli apakah ini cinta, tak peduli ini sudah di masa yang mana. Hanya hal-hal di ataslah yang sekarang kuketahui. Sesederhana kita memulai sekian pagi, sesederhana seduhan kopi untuk memulai hari dan ulekan sambal yang baru selesai dipilih di pasar Legi.

Apa yang dulu pahit menemukan manis. Selama manis belum berganti pahit, selama waktu masih mengijinkan untuk  segala rasa selalu ditemukan dalam berbagai bentuk, mungkin selama itulah aku akan mengada bagimu dan bagi diriku sendiri. Dan mungkin hidup-hidup baru akan lebih banyak lahir dari tangan-tangan kita yang diciptakan untuk berkreasi.

Pada diriku yang mengenalmu sebelum ini, aku berkata: bahwa aku akan baik-baik saja. Bahwa kami yang sekarang akan baik-baik saja. Di tengah kecamuk ancaman wabah dan perang. Di tengah ketidakpastian dunia, dalam ruang sunyi sendiri di setiap subuh, yang terpenting adalah terbangun di dadamu setiap pagi. Yang membuatku tak peduli di kala mataku menutup apakah ini adalah lelapku yang paling terakhir di masa yang sekarang.

Yogyakarta, 30 Januari 2020

Sekian Doa dan Rajah di Pantai Selatan

Satu tahun setengah yang lalu, berupa cita-cita ketika dirimu mengatakan pada sebuah purnama bahwa peralatan ritualmu tertinggal di altarku. Maka hanya bunyi bel berdentang untuk kepulanganmu yang pertama.

Pada laut, kita semua berpulang. Aku selalu melihat sosok-sosok yang tua dan lama bermunculan pada malam-malam gelap di tepi Pantai Selatan. Dimana kita semua menjadi sederhana dan bersaudara mesra di bawah semesta.

Sekian mantra dan rajah bergema di malam yang tak berbulan dan senyap. Deru ombak seolah melahap doa-doa dan berkah seolah mengalir sepanjang samudra. Begitu kuatnya malam yang itu ketika segalanya kembali pada perjalanan jiwa yang kesekian.

Namun beginilah, di pantai itu kau memasuki ruang tapa mingguan. Menghentikan segala. Gunung dan serakan gundukan batu-batu tanah leluhurku terserak dan terjelajahi di minggu sebelumnya. 

Aku hanya mengerti bahwa waktu adalah yang paling berharga untuk saat ini. Bahwa keberadaanmu adalah dimana sujudku berada dalam banyak peristiwa.

Pada nafasmu, aku berdoa, untuk banyak waktu, pada yang lampau dan untuk kesekian kesementaraan yang ke depan.

Di sekian malam, bodhisatva-bodhisatva menyala di pinggiran laut, agar yang suci kembali pada yang suci. Agar yang sakral kembali menyala dan terjaga.

Air laut kembali mengenai garis lututku. Dan pada ibu yang maha, semuanya tersucikan bagai rahimnya yang paling Agung.

Parangkusumo, 22 January 2020