Di Selatan, walau terhapus angin, memori bertebaran di udara. Duka-duka ditinggalkan pada ombak.
Dititipkan pada Ibu yang tertua. Tiamat. Yang darinya semua lahir. Yang darinya semua berpulang.
Jarak perjalanan sekarang merekat. Namun memori berjalan begitu jauh. Akan penglihatan laut yang pertama. Akan sececap air asin yang mengundang tawa. Bahagia. Tarian di atas karang pada suatu waktu. Di senja yang mengarah tenggelam. Terekam pada sebuah masa.
Yang terakhir adalah sekian sosok yang berdoa menjelang bulan menuju purnama. Tepat sebelum semua pintu ditutup, perbatasan digariskan kembali. Kita yang pernah begitu terbuka. Dan sekarang pada nafas kita tercekat.
Suara nyaring genta doa begitu pekat. Damaru bertalu. Mantram mengalir dari sekian puncak Himalaya sampai ke pesisir Jawa. Jodoh seringkali adalah segalanya. Seribu tahun berlalu. Seribu tahun kita saling berpulang. Perjalanan jiwa yang telah mengarat. Kristal pada iman.
Di Selatan, laut masih setua yang dulu. Kedukaan telah berubah menjadi sekian kerinduan yang diikhlaskan.
Aku memanggil-manggil namamu. Oh semua yang tersayang. Sampai namaku dibisikkan. Sri Ningsih. Energi hidup yang penuh kasih.
Dalam semua nama kau yang disucikan. Di Selatan, aku bersimpuh padamu dengan haru. Dan selalu, riak-riakmu mencapai kedua kakiku dengan perlahan. Membasuhku hingga biru.