Untuk Udara di Paru-Parumu Pagi Ini

Sudah bertahun-tahun kita melihat semua itu berdatangan. Sudah terlalu banyak pertanda di depan mata. Aku melihatmu bertepuk tangan, walau mungkin saat ini dari kejauhan. Seharusnya bulan ini aku di ujung Utara sana, menyepi di pegunungan sendirian, menggapai salju yang tersisa dari musim salju India Utara. Seharusnya bulan depan aku sudah berada di tengah-tengah kalian, bermain berloncatan di air terjun dan mata air, dan juga pantai-pantai. Menghabiskan sarapan di warung-warung kecil di pasar sepanjang Gianyar atau Tabanan. Kita menghentikan mimpi kita tahun ini untuk tahun depan. Mengolah lagi harapan dan menunda masa depan. Apa-apa yang telah kita masukkan ke dalam sekian tas koleksi kehidupan kita, sedang kita bongkar dan olah. Tidak ada yang sia-sia.

Ada yang mencuri pohon murbei beserta buahnya yang ranum di kebunmu. Ada yang mencuri tiga pohon jeruk di kebunku. Aku sedang membibit sekian sayuran hijau dari sisa belanjaan sayur. Melihatnya tumbuh satu-per satu, hingga piring penampungnya kepenuhan. Biji-biji kujemur di bawah matahari pagi. Walau aku mencoba bangun pagi, aku masih tetap kurang tidur. Aku mengigit buah stroberi yang ditanam para petani di Utara, kemewahan minggu ini yang mungkin masih bertahan. Bibirku sedikit merah. Tidak berdarah. Di masa yang senyap, aku mengingat lekuk lehermu ketika kita terakhir berjumpa dan berbicara sampai malam-malam sekali.

Aku melihat matahari tumbuh di balik punggungmu. Yang kadang-kadang ringkih di atas motor. Kadang aku berharap angin tak membawa pergi tubuhmu yang sedang berkendara. Aku melihat terlalu banyak cahaya matahari di setiap pagi belakangan. Melihat meteor jatuh di suatu malam. Pertanda yang lain di musim yang sedemikian.

Seluruh dunia dirundung ketidakpastian, namun nafas walau pagi ini kau mengeluh sesak, semakin memenuhi semua relung kehidupan. Mengisi setiap sel dan berkata: aku hadir di dalam setiap dirimu. Dirimu dan juga aku. Aku menata buku-buku di atas meja dan memilah sekian hal yang ingin kukirimkan kepadamu. Kita yang suka saling mengurus segalanya untuk orang lain. Kita yang suka lupa mengurus diri kita yang bukan apa-apa. Kurasa kita bertemu untuk selalu saling mengingatkan sepanjang hidup kita. Kurasa kita bertemu untuk saling mengurus diri kita masing-masing hingga kita benar-benar tua. Walau jarak tak menyiksa. Walau kata sudah tak diperlukan dalam alunan kehidupan yang sedemikian.

Berapa orang sebenarnya yang benar-benar kita rasakan sebagai rumah? Berapa perjalanan dan berapa banyak manusia yang sudah kita temui juga tekuni, untuk mengerti perasaan yang familiar itu. Yang ketika bersua, segala otot di pundak dan punggung terasa mengendur dan otomatis memeluk satu dengan yang lain.

Jika hanya jarak. Kita sama-sama dapat hidup.