sekian tapa menuju matahari
:s. p.

aku melihat sosokmu yang biru
yang hijau
kulit yang kemilau

semula rasa takut menguasaiku
dan aku berlari menjauhimu
yang terus menerus mengejarku

entah mengapa di tengah-tengah aku berhenti dan mengatakan:
namaste

segalanya baik-baik saja semenjak itu
segalanya berputar dengan cepat dan aku merasa menjadi sebuah titik tengah
dalam gasing
yang selalu diam
yang selalu tegak

sosokmu yang tak pernah berasal
tak pula bernama
namun tua
bau itu tak akan pernah hilang

bau bahwa aku pernah mengenalmu di suatu masa
yang lampau
sekarang
dan mungkin selamanya ke depan

selalu ada setitik kanak yang jernih
dalam kedalaman matamu
ketenangan yang memberikan rasa penuh
sekaligus haru

apakah, guru? bila semua manusia tiadalah sempurna
namun dalam tapa
dalam yoga
jalan itu terbuka

tiga hari
:laki-laki dengan sekian warna di matanya

hanya tiga hari
bunga padma
tujuh matahari
dan kebetulan-kebetulan yang terlalu banyak

sebuah tepian
mata air yang sepi
sawah yang tenang
tak lagi sedih

asap-asap rokok yang dibagi bersama
tawa
canda
bicara
dan juga rasa

sentuhan-sentuhan yang mengingatkan
bahwa kita pernah muda
pernah bercinta
pernah sakit dan kecewa

ingatan pada cinta pertama
ciuman pertama kita
di pinggir ladang jagung itu
rasa manis anggur
secangkir espresso

aku melihat hangat di matamu
sejak aku pertama kali melihatmu
kedalaman laut ketika matamu berubah menjadi biru
sekian keajaiban yang membuat hariku semakin bercahaya

kau
si pecinta sinar mentari
yang setia

jalan yang terbuka

:abmi handayani dan dalih sembiring

aku rindu bau perjalanan
aspal panas yang diterpa terik mentari
bau terbakar
nafas
wangi kulit dan matahari

udara yang menggila
jalan-jalan yang tercetak oleh semesta di kepala

adakah arus itu mengalir membawa kita bertiga?

aku melihat anakku berlari
dengan tawanya yang khas
matanya yang terbuka lebar

aku semakin tahu bahwa kami akan baik-baik saja
terimakasih atas kehadiran kalian berdua
sesama pasangan jiwa
dalam kehidupan yang kesekian
dan yang ke depan

dengan kalian
aku tahu aku tak akan lagi terhenti
tak akan lagi menangis tanpa arti

pelukan dan kata-kata
subuh dan rokok-rokok kretek
selalu saling menguatkan
dalam senyum
tawa dan canda
yang menggila
di teras rumah kita

aku akan selalu menyimpan kalian dalam bahagia

Wina, 23 Desember 2012

Tara

Aku tahu aku merindukanmu pagi ini, ketika pertama kali kelopak mataku terbuka. Aku melihat cahaya putih meremang di sekitarku. Setelah jelas, aku menemukan diriku sedang memeluk anakku yang tertidur di dadaku. Aku tahu kiamat telah lewat dan aku masih hidup di kotamu. Salju turun menutupi seluruh kota dan dinginnya melewati tembok serta jendela. Aku tak tahu kemana aku akan pulang dalam cuaca seperti ini. Aku seharusnya pulang pagi ini, tapi tubuhku terasa malas untuk beranjak dan selimut tebal telah menjadi kulit keduaku.

Aku hanya ingin pulang kepada dirimu. Pada hari aku mati.

Manusia selalu identik menempatkan ketakutan dengan kematian. Aku membutuhkan dirimu ketika menghadapi kematian, bukan karena takut, tapi karena ingin menghadapi cahaya. Rasa silau yang melingkupi diri sampai tak bergerak. Getaran abadi yang ingin kubagi.

Anakku terbangun, matanya yang bulat terbuka lebar. Ia menatapku.

“Mama, kapan kita pulang ke Yogya?”

Itu adalah kata-kata pertamanya. Ia tak peduli kiamat. Tak peduli kematian. Anak-anak sekarang selalu punya keberanian yang lebih untuk menghadapi dunia.

“Hari ini.”

Pada akhirnya, aku tahu aku akan pulang ke Yogya dan meninggalkan separuh jiwaku di kota ini.

Proses Kreatif #30harimenulis
@astridreza

:sebuah catatan dan pengakuan


Saya menulis karena saya tidak bahagia. Saya menulis karena menulis adalah jalan melawan ketidakbahagiaan – Mario Vargas Llosa

Virus itu mewabah, menyerang saya dan saya tidak mati. Atau sebaliknya saya mati berkali-kali. Sekarang saya terserang adiksi, untuk terus maju atau bahkan melompat. Meraih benar obsesi saya yang utama: menulis dan menerbitkan sebuah novel. Pada akhirnya saya harus setuju apa yang dikatakan Marquez. Seseorang baru dapat menuliskan sesuatu yang besar ketika mereka mengalami hal-hal besar. Saya tidak tahu sebesar apa sebenarnya hal-hal yang telah saya jalani dalam hidup saya. Namun saya bisa mengatakan bahwa saya sudah melewati beberapa kiamat kecil pribadi.

Ide kiamat itulah yang pertama kali muncul. Lalu obsesi saya pada ingatan dan sejarah personal. Pada kematian dan kesedihan. Sisi-sisi depresif dan kecenderungan bunuh diri. Saya melepaskan diri saya dalam tulisan-tulisan saya. Kesakitan-kesakitan saya. Saya melepaskan banyak beban-beban emosi yang selama ini telah tertanam atau tergurat dalam diri saya. Saya tahu, saya membutuhkan #30harimenulis dan saya harus melewatinya sampai selesai.

Katakanlah pada awalnya ide fiksi untuk #30harimenulis adalah sesuatu yang amat personal bagi saya. Namun kemudian arus penulisan itu berkembang, karakter-karakter di dalamnya mulai bicara. Dan hampir setiap nyaris subuh, saya mulai memiliki jam biologis untuk bangun dan mulai mengetikkan kata-kata mereka. Sampai hari ini saya masih memiliki kebiasaan ini karena bagi seorang orangtua tunggal dengan anak berumur dua tahun, jam-jam ini adalah jam terjernih dan terhening bagi saya. Saya belajar menulis dengan efektif dan tidak terganggu. Latihan dan disiplin yoga yang saya lakukan tiga bulan terakhir tiba-tiba menyatu dengan rutinitas menulis saya. Bagi saya rutinitas baru ini luar biasa karena pada awalnya saya tidak begitu yakin saya akan memilikinya.

Di akhir #30harimenulis saya menemukan diri saya yang baru. Tidak hanya sekedar tulisan. Tidak sekedar fiksi. Project ini tiba-tiba menjadi begitu riil dan menjadi bagian dari diri saya. Begitu banyak peristiwa tiba-tiba terlewati tapi sekaligus terekam, perasaan mengetahui ini adalah menyenangkan. Dan ketika #30harimenulis saya yang pertama berakhir, saya juga merasa sedih, saya tiba-tiba ingin memulainya lagi, setiap hari.

Fragmen yang dihasilkan dari #30harimenulis akan saya teruskan, entah secara pribadi atau via blog ini. Satu kebetulan yang menarik lagi, ini adalah posting saya yang ke seribu satu. Umur blog ini hampir sepuluh tahun dan signifikansi angka seribu pada hari terakhir #30harimenulis membuat saya terkesima. Saya ingin melihat seberapa jauh saya bisa membawa diri saya menulis dan saya pikir momen ini adalah sekarang, ketika semesta sedang menjatuhkan sekian hal dalam hidup saya untuk saya jalani. Terimakasih pada kawan-kawan seperjuangan yang baik berhasil atau gagal, merelakan diri mereka diwabahi dan ditularkan semangat yang sama. Pada akhirnya hidup adalah proses, nikmatilah:)

Thank you to @maradilla for letting me involve with this project.

#30harimenulis

Day 30: Wina, 21 Desember 2012

Kenneth

Aku berdiri di tengah jalan. Dimana aku bisa melihat jendela apartemenmu dulu. Gedung itu masih ada di sana. Bahkan jendela itu seolah-olah tak berubah. Membekukan ingatanku kembali ke tahun 1978. Ruangan yang menjadi saksi kita pertama kali bercinta dan menghabiskan waktu bersama, setahun lamanya. Terasa baru saja kemarin. Terasa selamanya.

Jalan ini yang kita selalu lalui jika kita sudah terlalu lapar dan memutuskan untuk turun ke bawah. Kafe favoritmu tetap berdiri, mereka mempertahankan tempat itu dengan gaya lama dan aku baru saja menghabiskan secangkir kopi di tempat itu. Di pojokan favoritmu, Vivian. Dimana senyum dan gairah hidupmu membekas. Aku membayangkan melalui perjalanan waktu dan kembali ke surga kecil kita itu. Bagaimana dengan surgamu Vivian?

Apakah aku akan menyusulmu malam ini?

Aku memutuskan perjalanan ini, ketika aku mengetahui bahwa malam ini dunia akan kiamat. Aku melihat langit yang tak menentu. Dadaku berdebar mengetahui ketidakpastian itu. Satu yang pasti, ketika aku akan mati, aku ingin berada di kota ini. Aku ingin menghirup ingatan kebahagiaan dan segala tentangmu sebelum aku melebur dengan semesta raya.

Udara tiba-tiba menusuk. Selamat tinggal, Vivian.


Auf wiedersehen…

#30harimenulis

Day 29: Wina, 21 Desember 2012

Raka

Raka menatap langit dari jendela apartemennya. Langit kehilangan bentuknya. Berubah-ubah tak karuan. Ia tak punya televisi. Hanya berita-berita bermunculan di internet yang tidak ia klik. Ia jenuh. Dengan kematian. Dengan kiamat. Ia membiarkan segalanya datang, seperti bagaimana ia senang membiarkan hujan datang membasuh tubuhnya. Basah. Menangisi seluruh keberadaannya.

Rasa sedih selalu datang tiba-tiba dan malam ini akan dihabiskannya sendirian. Seluruh ingatan akan hidupnya selama ini berkelebat. Ia membayangkan konstelasi tata surya yang sejajar, jika ia dapat melihatnya di langit malam ini. Membayangkan dirinya sebagai satu atom terkecil dalam tata surya yang didominasi kegelapan dan keheningan. Ia membayangkan terjadinya dunia dalam satu dentuman besar. Satu nafas besar yang merubah segalanya. Menjadikan segalanya.

Ia teringat perempuan itu. Yang berkata akan mengandung anaknya namun tak mungkin. Selalu ada momen yang menjadikan nafas mereka tertahan bersamaan. Selalu ada yang sedih tercekat di udara. Namun pada akhirnya selalu ada nafas lega. Udara dan bahagia sepekat momen terakhir kali ia melihatnya. Tanpa sadar ia berkata ketika matanya melihat ke arah jendela. Selamat tinggal, Tara.

#30harimenulis

Day 28: Wina, 21 Desember 2012

Tara

Langit akan berubah malam ini. Satu konstelasi tata surya akan berjajar dalam sekian jam. Tara bermalas-malasan di kamar hotel, berbaring dan mengganti channel televisi dengan enggan. Ia tidak pernah suka dengan televisi. Asa sedang menggambar di meja dekat sofa.

Televisi segalanya berisi tentang kiamat. Ia tak lagi percaya berita. Ia hanya merasakan apa yang diciumnya di udara pagi tadi. Ketika ia sedang mencari secangkir kopi dan segelas susu hangat untuk anaknya. Koran-koran walaupun ia tak mengerti bahasa Jerman berbicara demikian, ia bahkan enggan membuka berita di internet. Segalanya sama. Pertaruhan akan kiamat dunia.

Dia tak peduli dimana ia akan mati. Ia mungkin hanya akan memeluk anaknya dan mereka lebur bersama dengan kehancuran dunia ini. Jika segala sesuatu memang akan terjadi. Tirai kamar hotel dibiarkannya terbuka. Tara menatap langit. Mengucapkan selamat tinggal. Dua patah kata, untuk seseorang di kota yang sama.