aku masih berkutat dengan semuanya
rokok
kopi
teh
rokok
kopi
teh
lalu udara-udara malam
dan percakapan-percakapan
juga tumpukan buku-buku
dan semua yang terpampang di layar monitor
pungungku sakit dan aku rindu kamu…
aku masih berkutat dengan semuanya
rokok
kopi
teh
rokok
kopi
teh
lalu udara-udara malam
dan percakapan-percakapan
juga tumpukan buku-buku
dan semua yang terpampang di layar monitor
pungungku sakit dan aku rindu kamu…
:arfi
karena kita bicara tentang benda-benda
seperti jajanan pasar
dan wangi bunga melati
seperti kendi-kendi
warna warni
semuanya ada
pada lensa-lensa kacamatamu
yang memandang dunia
menjadi keindahan yang sendu
dan terpadu
karena kita masih berbicara tentang benda
bukan pasar
dan juga bukan puisi
hanya pantulan sinar matahari sore,
jalanan becek
dan tukang becak yang duduk mengangkang
-pasar bringharjo, 19.05.02-
rasa? rasaku sudah hilang ketika dia menikamku dari belakang, terlalu
hangat dan terlalu segar. semua jaringan syaraf tulang belakangku
tiba-tiba mati dan otakku kaku. jasadku meregang meraih nisan dimana
dia menguburkan diri hidup-hidup suatu hari.
rasaku mematung disitu di tanah yang sangat basah oleh embun dan
hujan yang berlebihan kemarin sore. warna kulitku berubah abu-abu
dengan ekspresi dingin kosong, mati dan tak berisi.
andaikan boleh permukaan kaku ini kugoreskan sebuah kalimat, sebuah
seruan tepatnya “pindahkanlah patungku dan kuburkanlah aku di sebelah
nisan ini”. mungkin akan mencair semua logam tulangku dan berhenti
jadi batu.
kata-kataku ingin mati sejenak saja
tidur di jalan
terlindas motor dan langkah-langkah kaki yang berlalu lalang
bermandi debu dan sinar matahari
dari pagi sampai siang
hingga malam
kata-kataku ingin mati sejenak saja
di ranjangku
di ranjangmu
di bantalku
di bantalmu
dan semua yang sudah berceceran…
sunyi pernah mengoyakku begitu rupa di pojokan sebuah jendela suatu sore. suara-suara kita hilang ditelan suara motor dan emosi yang tertahan. lalu dua hari aku tertidur tanpa atap dan membawa sesuatu yang hancur. hari ini datang terlalu cepat dan tanggal menjadi tanggal, perayaan menjadi perayaan dan arti hanya tinggal arti. hari ini tanggal tiga belas mei dua puluh ribu dua, dua tahun setelah kita mengikat sebuah janji subuh-subuh, pagi-pagi sekali, empat tahun setelah peristiwa yang mengguncangkan nusantara. tanggal tiga belas apakah hari yang akan selalu menjadi celaka? begitu tanya seorang temanku pagi ini, sama seperti diriku bertanya-tanya tentang itu lima hari yang lalu.
yogya, 13.05.02
karena kita pernah meledak bersama
di atas ranjang
dan di atas semua luka
sehingga hilang semua caci
dan arti dosa
panas membias, masih dekat, kopi, teh, rokok dan pertemuan.
hujan hanya menyambutku satu kali, di depan kamarmu, di terasnya dan diantara tirai-tirai bambu. deras, besar tetapi hilang gemuruhnya di tengah-tengah. lalu mataku gagu menatap dada telanjangmu yang mengeluh kepanasan pada lima menit yang baru saja melintasi jam dinding bulat di dinding putih kaku. aku ingin waktu mati disitu, sekali saja, tanpa reinkarnasi.
ah mengapa jadi gelisah…padahal kisah ini sudah menginjak tengah-tengah halaman sebuah buku. lunglai aku melihatmu dengan sepotong matamu yang selalu bergema-gema di langit-langit kamar. kantuk sudah semua gundah, tertidur di sebuah kamar dengan tembok putih yang baru saja dicat kelupasnya. kisah ini sepertinya akan mati sebelum mencapai kata-kata penghabisan.
kita memang jatuh di antara hamparan kata-kata, erangan derita, serta tawa dengan ganja dan satu sloki arak putih dari bali. semuanya direkam di bawah bulan purnama di sebuah lapangan rumput yang setengah terbuka, puisi-puisi satu per satu dibacakan seperti pada pukul lima sore menjelang kematian lorca sang penyair. masih di bawah bulan, langit terbuka, dada terbuka, ceracah sapa mulut saling menyapa. pada kecupan pagi-pagi sekali, pada segelas coklat panas di atas meja sebuah warung masih di pagi yang sama, ketika jalanan masih sepi dari doa-doa.