Memasak Duka dari Dapurku

:M.G.

Suaraku berubah serak pagi-pagi sekali. Membicarakan hati dan mengirimimu pesan-pesan yang nyaris basah namun tak jadi, karena musim penghujan ikut kering oleh bara api yang membakar dunia akhir-akhir ini. Yang kerontang dari ini semua adalah kemanusiaan. Seolah darah ikut keluar dari air mataku, merah membasahi bumi.

Dari dapurku, hampir dua bulan ini, aku bisa tahu-tahu menangis. Menangisi genosida, menangisi semua bentuk ketidakadilan dan menangisi kepergian orang-orang kesayangan. Di antara dentuman panci, di antara gesekan pisau. Aku makan sambil menelan tangisku dengan perlahan, tersedak oleh perasaan. Doa bergema dari sebrang mesjid, lima kali sehari. Saat ini segala doa terasa sama. Penuh leleh dari sisa kekejaman dan ketidaksanggupan kita menjalani hari-hari kita dengan tidak baik-baik saja. Kita menyebut segala tuhan, segala ilahi dan segala yang suci. Tak ada perang dalam yang terang. Namun yang gelap tengah merayapi bumi.

Aku mengeram harapan, di antara tumpukan beras. Merasa bersalah setiap kali menelan suapan makan dan meneguk air yang bisa kuminum. Hujan telah tumpah di Palestina dan merendam semua pembantaian. Suara yang menggema, tumbuh tak henti dari berbagai penjuru. Entah berapa tenggorokan yang serak dan berkerak oleh kesedihan dan kemarahan sekaligus. Aku memasak duka, menggarami sekian luka.

Mencuci hatiku dan mengalirkan semua yang kurasakan ke semua saluran air dari rumahku menuju lautan. Gelombang perubahan yang tengah menempa kita semua, menghanyutkan segenap kekuasaan dan kebusukan, entah tsunami seperti apa yang tengah kita hadapi di dunia ini dan entah bagaimana kita semua akan berpegangan.

Aku tahu, aku bisa berpegangan pada orang-orang terdekatku saat ini dan juga kau. Walau kita semua gemetaran. Saling menenangkan di hadapan semua ketakutan, memeluk bersama kekuatan dan kelemahan sekaligus. Memeluk semua yang tersisa dari kemanusiaan kita masing-masing. Entah dalam sisipan pembicaraan yang mana, denting gelas kita suatu hari beradu lagi dalam kehangatan mentari entah dimana pun itu. Mencari kata-kata yang tersisa dari keruntuhan peradaban yang kesekian.

Kuharap pada hari-hari mendatang, ku tak lagi memasak duka dalam dapurku. Kuharap pada hari-hari tersebut, kehidupan dapat perlahan bersemi dalam tunas-tunasnya yang paling rapuh dan paling indah.

Yogyakarta, 15 Desember 2023