Menuju Tilem yang Kesekian

Malam-malam menuju bulan mati telah menjelang. Lalu kau mengingat tilem di bulan yang lalu, menaiki Gunung Batukaru, menanyakan kepada leluhur yang telah berkali-kali menarikmu ke arah pegunungan itu. Dua kali tepatnya, lalu anakmu yang juga menjadi bagian barisan penjaga gunung itu kelak. Delapan jam yang menaiki panjangnya tangga akar lalu portal-portal yang terbuka. Kesadaran yang terjaga, kesementaraan yang tidak terlena. Kau si perekam cerita, sekian hal telah kau simpan untuk kau sebarkan di waktu yang akan tepat.

Ada degup yang telah menentukan peta perjalananmu selanjutnya. Ibu India. Dua tahun kau telah menahannya dan pintu itu kembali terbuka. Kau pasrah akan peta apapun yang akan terbentang. Buku catatan dalam kepalamu kembali kau buka dan mencatatlah, teruslah mencatatlah semua pesan itu sekarang. Tulisan ini adalah usaha-usaha untuk kembali merunut semua dongeng para tetua dan para dewa.

Dalam raga ini, sekian cinta telah kau lalui untuk kau lepaskan kembali pada dunia. Segala yang telah membentukmu hingga sekarang. Segala yang membuatmu terbangun di pagi hari dan tetap membuatmu melangkah. Segala usaha untuk mengalahkan keraguan dan ketakutan. Segala keyakinan yang membuatmu tetap melanjutkan segala perjalanan. Dalam yoga. Dalam puasa. Titik ketenangan yang membuat dirimu semakin melepaskan sekian beban yang tak lagi harus kau bawa kemana-mana dan kau panggul, sendirian.

Sekian surat cinta telah kau kirimkan untuk membuat segalanya baik-baik saja. Ada sedu tersedan, kau tahu, namun laluilah, sayangku. Karena cinta akan membuatmu tumbuh mekar di atas lumpur kasih yang tak berkesudahan.

Imaji dalam Kaca

:F.V.

Demi segala, ia selalu kembali padamu di saat yang tepat. Kamu bahkan telah mendeteksinya sejak pagi hari. Ketika nafasmu sesak mendadak, merindukannya dan jari-jarimu lagi-lagi belum siap mengirimkan email kepadanya. Bercerita perlahan tentang apa yang sebenarnya tengah kau lalui. Ada berat dalam dada. Ada getir dalam puasa. Tegukan air yang tak menuntaskan dahaga. Demi cinta dan demi waktu yang telah kau lalui

Demi isakan pertama yang kau rasakan di balik selimutmu, di sebuah kamar yang penuh kenangan di Kathmandu. Demi mantra Tara yang melaju dalam telingamu malam itu dan kau yang menangisi segala rindu yang terhitung sekian hari waktu itu. Malam ini dia menyebutkan tepat seratus hari lagi. Seolah jarak tak terasa, seolah nafas tak lagi bingar dan kau mengingat pelukannya di satu waktu, di tengah hutan dan segala yang menjelma di langit dalam dua jam yang tak pernah pendek itu. Masih ada lampu yang serupa kuncup bunga yang dikaitkannya di atas pohon waktu itu. Ada kuncup tengah tumbuh malam itu. Dan malam itu mengingatkanmu, mengapa senyumnya menggema di hatimu malam ini. Betapa ratusan hari telah terlewati dan di antara layar, cinta masih terucap dan terjaga.

Dalam rengkuh di relung hati, betapa bersyukur dan berterimakasih dirimu akannya dan ia akanmu. Di hari-hari tergelap yang selalu berujung padanya dan ia padamu. Ribuan goresan tulisan tangan itu membekas dimana-mana, tersimpan dan terlipat dengan baik. Sekian kerapuhan yang terbuka untuk dibaca bersama. Sekian kerapuhan yang masih terbuka dan dadamu yang tak lagi kesakitan akan sesuatu. Ah, perjalanan yang masih panjang dan fase dimana, diri tak lagi ingin jalan sendirian.

Ada makna yang penting dalam hidup ini, perjalanan yang tak menuju kesepian dan kesia-siaan. Ada sesuatu degup dalam hatimu yang berdenyut padanya. Denyut perlahan yang mulai pasti, seperti imaji kalian berdua yang terekam dalam kaca dan kamera di sebuah kuil. Diiringi ciuman yang hangat di senja yang penuh akan burung-burung yang berterbangan. Kepak itu pada akhirnya telah membuka sekian jalan yang penuh pelajaran dan kesabaran.