20 Tahun Lamanya Perjalanan

: pacarmerah, untuk Sam yang tersayang

Aku seperti mengingat pertemuan pertama kita, hampir dua puluh tahun yang lalu. Aku hanya mengingat kita yang saling berpelukan. Kecupan. Sama-sama tersenyum sedikit malu-malu.

Aku mengingat genggaman tanganmu. Ciuman di atas bis kota yang kucuri-curi di kala senja. Tatapanmu di kala itu. Kenakalan-kenakalan kecilku yang kau suka. Kenakalan-kenakalanmu yang jenaka yang kusuka. Bersamamu aku mengingat semua perjalanan itu. Entah berapa banyak semua perjalanan itu telah kita tempuh. Dari satu bis ke bis yang lain, mengitari pelosok ibukota dan juga sampai di kota lahir ibuku.

Aku tak mengerti sekarang. Apa yang kupikirkan saat itu? Mengapa ingatan kerap mengkhianatiku, di kala aku mengkhianati apa yang sebenarnya baik-baik saja di antara kita. Mengapa aku tak memilih jalan bersamamu di kala itu, yang juga baik-baik saja? Dirimu yang bersetia. Aku yang memilih pergi, memilih luka demi luka.

Kau bertanya padaku beberapa hari terakhir belakangan: Apakah kamu menyukai luka? Aku menatapmu lekat akhir-akhir ini setiap kali aku mencoba menjawab pertanyaan itu. Di kepalaku, aku tahu bahwa cinta bukanlah luka. Bahwa cinta bukan lagi sebuah kesakitan. Siklus ini telah berjalan terlalu panjang. Kerikil demi kerikil telah berubah menjadi duri. Menghujam bagai jarum.

Hari itu di Gambir, sosokku pergi untuk mematikan rasa. Sosokmu tertinggal dan berduka. Kita menangisinya dua puluh tahun kemudian. Begitu lama dan jauhnya jalan menuju kepulangan. Begitu peliknya waktu menyimpan kenangan.

Duka dan luka ingin kuselesaikan disini. Sejam sebelum ulang tahun bapakku. Apapun yang berputar selama ini sudah harus kuhentikan dan selesai di titik ini. Selesai dan menjadi kompos di dadaku. Janjiku padamu sekarang: di atas semua ini cinta akan tumbuh dengan sehat dan baik-baik saja. Yang akan kurayakan sekarang adalah menemukanmu, menemukan diri yang utuh, cinta yang saling melengkapi dan bukan lagi kehilangan demi kehilangan.

Jika diriku mau jujur padamu, yang kutangisi sepagi itu adalah memori tubuhku, rahimku dan memori rasa yang kau masuki dan tidak pernah pergi dariku. Sesuatu yang penuh hingga membekas terlalu dalam. Begitu dalamnya, kunci ingatan itu kulempar entah kemana dan tak pernah kubiarkan seorangpun untuk memasukinya lagi. Aku merasa sepotong bagian dari jiwaku yang kau simpan akhirnya membongkar itu semua. Bahwa selama itu aku menyimpan ingatan rasa sedalam itu. Dan bahwa kaulah yang menyimpan itu semua dengan baik, memeliharanya dan merawatnya sampai suatu hari ini semua menemukan titik tumbuh bersamanya yang tepat.

Kurasa aku akan terisak bahagia melihatmu dalam sekian jam ke depan. Kalau ini adalah bentuk rindu, ini adalah sesuatu yang sudah melampauinya.

Sampai lumat.

Sampai semua terlahir baru.

Jogjakarta, 20 menit menuju 5 Oktober 2020

Leave a comment