:S. A.
Tidak ada yang merona di pagi segelap itu. Tidak ada yang gegap gempita dalam malam yang merubah siang. Siang yang segenap malam. Gelap tubuhmu waktu itu. Bergetar bersama dentuman-dentuman kehancuran dunia.
Seketika itu aku melihat kiamat.
Seketika itu juga aku merasakan dadaku terbuka melebar.
Menyongsong cahaya. Yang aku tak tahu datang dari mana.
Lalu kegelapan menerpa seperti pasang di dalam diriku di hari-hari berikutnya. Semua kuburan massal dalam diriku seolah-olah bangkit dari kuburnya. Semua dewi yang penuh amarah itu sedang turun ke permukaan bumiku. Memenggal segala yang gelap. Murka pada segala yang racun di dalam tubuhku. Tubuhmu.
Dalam sebuah sepeminuman, itu semua lunas sudah. Dalam sepersekian detik, segalanya jernih seperti langit biru yang kita alami akhir-akhir ini. Tepat ketika seluruh manusia sedang melihat kiamat tengah bergulir.
Apalah akhir? Apakah mula? Dimana batasan cinta sebenarnya mengada? Mengapa yang sakit di dada tak selalu genap jadi benci? Mengapa segenap suka tak selalu genap menjadi cinta?
Aku mengingat setiap detik dalam sebuah pagutan. Malam-malam sekali. Aku mengingat setiap detik dalam sebuah irisan. Segalanya merah bagai darah-darah yang mengalir dalam perjamuan yang tak kunjung suci di muka bumi.
Apakah arti segenap luka? Segenap cinta?
Di akhir semesta, kiamat berkilat-kilat datang dari rona matamu. Di akhir penghujung dunia, selamat itu adalah doa.
Di ujung semua dentuman itu, legowo adalah mantra.