Yogyakarta, 20 April 2011
Tara
Jika bisa ia ingin mengambil sebuah penghapus dan menggunakannya untuk masa lalu. Jika bisa ia ingin melupakan sosok sepasang mata yang tak pernah mengembalikan hatinya kembali ke tempatnya. Satu-satunya hal yang ia menyesal. Satu-satunya laki-laki yang selalu direlakannya untuk hanya diketahuinya hidup di suatu tempat.
Ia tahu ia akan menangis jika laki-laki itu mati. Jika bisa, ia ingin menutup mata laki-laki itu untuk terakhir kali dengan tangannya. Jika bisa, dibacanya peta langit dalam biasan mata laki-laki itu. Kematiannya yang menuju kemana. Jiwa yang terbang. Tubuh selanjutnya. Kehidupan selanjutnya. Ia ingin berada disana. Sekali lagi saja.
Ribuan tahun yang menyiksa. Lima tahun yang selamanya. Yang tanpanya selalu kosong. Yang selalu menyisakan sebuah lubang di hatinya.
Jika mereka mencintai sepi, sebenarnya mereka sedang berbohong. Karena ia dan juga laki-laki itu tidak pernah bisa sendirian. Mereka selalu menyampaikan pesan-pesan kesendirian itu lewat teks dan foto. Seperti surat-surat dalam botol yang selalu mereka kirimkan dan dilarung ke lautan. Tak ada arah mata angin di hatimu. Tak ada arah mata angin di hatinya. Hanya degup, denyut dan pesan-pesan yang terbengkalai. Bagi kalian tak selalu dunia ini terhubung. Hanya cara-cara lama yang kalian gunakan. Hanya kenangan. Memori. Ingatan dan bahasa kesepian.