#30harimenulis
Day 23: Bogor, 14 Desember 2006
Tara dan Tio
“Kau tak perlu mengirimkannya, yah. Kita bahkan tidak tahu apakah orang ini masih hidup atau tidak.”
Tio memberengut. Baginya kesedihan itu memuncak serupa dendam. Tara mengalah, mengetahui bahwa ia tidak bisa mengubah keputusan ayahnya. Bahwa kematian dan rasa cinta bisa menjadi sebuah rasa cemburu yang buta tak perlu.
Surat yang dibuatnya penuh kebencian itu sudah di dalam amplop. Untuk laki-laki yang lebih hitam dari dirinya, yang pernah merengut istrinya, ingatan istrinya di suatu waktu di masa lalu. Mereka telah menorehkan sesuatu dan meninggalkan sesuatu yang lebih menyengat ketimbang sebuah rasa kehilangan istrinya yang begitu dicintainya. Ia sadar bahwa setiap manusia bukanlah orang suci. Juga bukan dirinya. Tapi bentuk dendam itu tak juga hilang. Ia harus berbuat sesuatu untuk luka pada hatinya yang semakin mendalam.
Tio menyimpan surat itu ke dalam laci. Tara menatapnya. Mengingatkan bahwa semua hal ini akan sia-sia belaka. Sebagai seorang anak, Tara mungkin bisa memaafkan ibunya namun dirinya sebagai seorang suami, sulit baginya untuk memaafkan kesalahan istrinya.
Dadanya terasa bengkak. Rasa sakit menjalar dari organ hatinya. Ia kesal. Begitu kesal, sedih dan kecewa. Seketika Tio memuntahkan darah di tempatnya berdiri. Darah memenuhi meja kerjanya. Tara panik. Berteriak memanggil Kama.