#30harimenulis
Day 16: Wina, 21 Desember 1979
Kenneth
Ia tak menatapmu dan kau tersiksa. Vivian menunggu panggilan keberangkatan dengan menaruh segalanya dan dirinya dengan rapi di kursi kafe bandara itu. Ia bahkan memakai kacamata hitamnya, jaket panjang berwarna pink tua dan celana panjang hitam. Kau tahu itu semua baju favoritnya, karena jaket itu adalah hadiah darimu sedangkan sisanya dibelinya bersamamu.
Vivian menyeruput kopinya. Dirimu merasa pahit. Hanya tinggal lima belas menit dan perempuan di hadapanmu akan meninggalkanmu selama-lamanya.
God see us, Kenneth. This is wrong.
Tidak ada yang salah, Vivian. Percayalah. Tapi sangatlah tidak mungkin aku membawamu lari dan pulang ke Kenya. Aku tak memiliki apa-apa saat ini untuk kutawarkan kepadamu. Mungkin kondisi di negerimu jauh lebih baik daripada negeriku. Di negeriku jika seseorang membawa lari istri orang lain, suami perempuan itu akan membunuhnya. Suamimu akan membunuhku.
So, it is wrong?
Dadamu sesak menjawab Vivian. Lima belas menit telah berlalu. Vivian beranjak dari kursinya. Mengulurkan tangannya. Kalian kembali bersalaman. Tidak lagi berpelukan. Tidak lagi berciuman. Tidak lagi mesra. Hanya bersalaman seperti pertama kali ketika Vivian datang. Formal dan dingin. Vivian berjalan menuju pintu keberangkatan dan tak menengok ke arahnya sekalipun.
Tidak ada lagi penghangat ruangan yang akan mengusir rasa dingin di hatimu. Tidak ada lagi.