#30harimenulis
Day 14: Jakarta, 22 Juni 2006
Vivian
Bagaimana jika kau sadari bahwa nyawamu sedang berada di penghujung segala doa? Rosario putih masih kau pegang. Kau sedang menunggu Tara, putrimu satu-satunya datang. Dia baru saja menyelesaikan ujian. Kau baru saja mendengar vonis ujian hidupmu yang paling akhir.
Dokter sudah angkat tangan. Mereka sudah tak bisa menghentikan laju penyakitmu. Segalanya tinggal menunggu waktu.
Apakah kau tetap bisa tersenyum menatap Tara nanti sore, sedangkan tadi pagi kau mengalami rasa genting yang paling parah dalam hidupmu. Hingga Tio saat ini masih menangis di pojokan. Matanya masih mendelik bertanya. Mengapa?
Apakah dosa? Apakah pengakuan?
Apakah semuanya masih memiliki arti sekarang? Kau melihat kota Jakarta dari jendela kamar rumah sakit. Kejamnya ibukota. Kau tak ingin berada di sana.
Ingatanmu melayang pada satu nama yang kau sebutkan dalam pengakuanmu kepada Tio tadi pagi. Kenneth Maruti. Yah, laki-laki hitam dengan senyum berlian yang selalu kau kenang dengan penuh rasa salah. Salah ketika kau dan dirinya memutuskan untuk berpisah. Selama-lamanya. Lalu hadir Tara dan Kama adiknya. Kau melarikan diri dari ingatan dan mencari kebahagiaan-kebahagiaan yang lain.
Namun di penghujung hidupmu, hanya satu yang membekas. Ingatan tentang Kenneth Maruti. Ingatan tentang Wina.
Kau ingin terbang. Jauh. Jauh sekali.