#30harimenulis
Day 7: Wina, 14 Febuari 1979
Vivian
Sudah tiga bulan Vivian berada di Wina. Begitu jauh dari tanah kelahirannya, begitu jauh dari keluarga dan Tio, suaminya. Entah mengapa ia merasa lega. Ia merasa bisa lebih bernafas, walaupun usaha untuk bernafas itu pertama kali dirasanya terlalu tajam menusuk hidungnya, karena udara musim dingin tengah berlangsung tepat ketika Vivian menjejakkan kakinya di kota Wina.
Vivian mulai bertanya-tanya apakah karena Kenneth, laki-laki rekan kerjanya di universitas. Laki-laki hitam yang berasal dari negara yang tak kalah jauh. Vivian masih ingat tangan hangatnya. Tubuhnya yang jangkung dan tegap. Senyumnnya yang manis, begitu kontras dengan kulit hitamnya. Legam dan membekas. Vivian jadi teringat Pele. Walau dia tidak terlalu suka sepakbola, tapi ia berpikir Pele cukup ganteng. Vivian selalu suka laki-laki berkulit gelap. Ia menyukai Tio dulu, karena untuk ukuran orang Jawa pun ia terlalu gelap, lebih mirip dengan orang Ambon atau Flores. Senyumnya pun manis, ia menyukai laki-laki manis.
Namun, menikahi Tio ternyata tidak menghilangkan sisi kemuraman dalam dirinya. Kemuraman yang diam. Sedih dan tertahan. Bahkan menambah tekanan. Vivian selalu merasa gagal untuk keluar dari tekanan itu. Tekanan yang membentuknya dari kecil. Ibunya yang bagai ibusuri kerajaan Cina dan ia putri yang dikurung di istana terlarang, selamanya. Ia mulai nyaris putus asa. Terkadang ingin ia bunuh diri dengan mengigit lidahnya.
Ketika ia memutuskan untuk pergi sendirian ke kota ini, Vivian merasa dirinya mulai melepaskan diri dari kutukan turun temurun itu. Lalu ketika seorang laki-laki bernama Kenneth Maruti yang menyambutnya di bandara, Vivian merasa dirinya sedikit terselamatkan. Kenneth anak seorang pendeta Kristen di Kenya. Ya, di Afrika. Laki-laki hitam yang datang dari benua hitam. Benua jauh yang tak ada dalam bayangan Vivian. Hanya satu hal yang menggangunya, Vivian masih belum paham terselamatkan dari apa. Vivian mulai tidak bisa membedakan apakah perasaan yang sedang tumbuh di dadanya itu serupa dosa seperti yang dikumandangkan di gereja-gereja? Yang pasti, ia merasa aman dan nyaman di dekat Kenneth. Ia merasa bisa menjadi dirinya sendiri yang sesungguhnya.
Kenneth mengajaknya makan malam hari ini. Ia tengah bersiap-siap, seperti seorang gadis hendak pergi ke kencan pertamanya walau umurnya sudah kepala tiga. Vivian sedikit malu dengan perasaan kepanikan yang demikian, merasa tak lagi pantas. Apalagi ketika surat Tio datang terselip di pintunya pagi tadi. Surat-surat yang romantik, penuh mimpi-mimpi. Tak pernah Tio seperti itu. Mungkin karena rindu. Mungkin juga jarak. Romantisme mudah terbentuk ketika keberadaan itu tak lagi nyata. Vivian merasa dirinya terbelah.
Suara pintu yang diketuk tiga kali menyadarkannya. Kenneth tengah menunggunya. Vivian mengambil jaketnya dan menghela nafas panjang di hadapan amplop surat Tio.
Auf Wiedersehen, schatz.
Selamat tinggal, sayang.
Surat Tio selalu berakhir demikian.
Auf Wiedersehen.
Ia berkata dalam hati.
Vivian keluar dari pintunya, menemukan laki-laki hitam dengan senyum berlian membawa satu tangkai bunga mawar merah untuknya. Hatinya mengembang. Ia membiarkan Kenneth mengandeng tangannya sepanjang perjalanan ke restoran. Untuk pertama kali ia yakin, kehangatan genggaman di antara jemarinya begitu nyata.
hwaaa….romantiiiissss (-.-")jadi deg degan kalau besok gw mau kuliah ke nagri
waakkakakakka, iya banget yah, hihihi 😀