Kisah Perompak dan Sepasang Liontin Naga
: rahung, atas dongengnya malam-malam
Di buritan kapal aku sendirian. Mengagahi laut lepas dan mengenangmu yang tenggelam lima tahun yang lalu. Aku selalu memohon kepada dewa laut agar hiu-hiu akan membiarkanmu, membuat darahmu tidak amis dan mengundang penciuman mereka yang demikian tajam. Aku tak kuasa membayangkanmu tercabik-cabik. Seingatku darahmu teramat manis sehingga mengundang nyamuk-nyamuk malaria mengigitimu yang hampir membuatmu mati ketika kita singgah di sebuah pulau di Selatan. Aku tidak pernah sepanik itu seumur hidupku, membabat hutan dan mencari buah penawarnya. Mengerahkan semua anak buahku yang melongo. Itu dua belas tahun yang lalu dan kau masih seorang gadis kecil. Kau selamat dan kantong sisa buah kina yang kering itu masih menggantung di sabukku hingga kini. Karena aku tahu malaria masih dapat kambuh di waktu-waktu yang tak terduga. Ah, ya, sejujurnya aku selalu menjagamu. Lin kecilku. Lin-ku yang paling berharga.
Aku masih ingat malam tiga belas tahun yang lalu dimana aku pertama kali menatap matamu. Matamu bergejolak, macam macan kecil yang terluka. Aku bahkan sampai lupa bahwa dirimu hanya seorang anak perempuan. Kau memakai baju merah dengan sulaman benang emas berbentuk naga dan macan. Rambutmu basah, acak-acakan tertiup angin laut. Memegang tombak yang hampir dua kali lebih besar dari dirimu dengan mantap. Kau tidak takut. Bahkan ketika kau menyadari bahwa seluruh awak di kapalmu sudah mati terbunuh kecuali dirimu. Untuk seorang bocah berumur delapan tahun, kau sangat berani. Kau memegang tombak dan bertahan sendirian. Aku melarang semua awakku untuk menganggumu dan mengeluarkan pedangku sendiri. Dalam bahasamu waktu itu, kau bilang bahwa kau tidak butuh dikasihani. Sialnya bagimu aku tidak hanya jatuh kasihan. Bagaimanapun kenyataannya adalah kau seorang bocah kecil dan sangat mudah aku memukul tengkukmu dengan ujung pedang yang tumpul hingga kau tak sadarkan diri selama dua hari. Statusmu selanjutnya adalah budakku. Budak Cina kecil yang garang.
Aku seperti menemukan mainan baru di tengah-tengah kebosanan berlayar di lautan. Kau terbangun dan menendang makanan serta minuman yang dibawakan untukmu. Mengamuk sedemikian rupa sehingga aku perlu sampai turun tangan dan memukul tengkukmu sekali lagi dengan tangan. Kau menghabiskan satu hari lagi dalam kondisi tidak sadar. Hingga ketika kau bangun, aku sendiri yang membawakanmu bubur hangat yang kau makan dengan lahap. Namun matamu tetap mendelik, sedikit berkurang kegarangannya. Setelah selesai makan, kau memegang lehermu dan menyadari kalungmu telah hilang. Kau bertanya kepadaku dan aku dengan perlahan menunjukkannya terjuntai di leherku. Mukamu berubah merah padam dan langsung menerjangku. Aku tertawa keras sambil menahanmu. Sepertinya kau perlu diikat. Dan aku tidak bercanda, dua orang awakku mengikatmu di kabinku. Selama tiga hari, hingga dirimu yang lemas sendiri dan terdiam.
Di hari ketiga aku melepaskan ikatanmu, kau masih terdiam. Matamu tetap nyalang namun mulai tenang. Aku bertanya namamu. Kau mengerti maksudku. Kau menjawab pendek: Lin. Aku menyuruhmu membantu di dapur dan kau menurutinya sambil sebelumnya memegang pedangku. Matamu memohon untuk juga diajari cara bertarung. Kau paham bahwa lautan itu ganas, dan mengerti mungkin saat ini saja aku berbaik-baik padamu, entah esok hari. Bagaimanapun kau tahu kehidupan perompak itu keras. Aku mengerti maksudmu. Aku mengangguk. Lalu kau mencari jalanmu sendiri ke dapur.
Dalam waktu tiga tahun, kami melupakan bahwa kau adalah budak kecil Cina yang kami tangkap suatu malam. Kau menjadi bagian tak terpisahkan dari kami. Begitu cepat mahir menguasai ilmu bertarung, pelayaran, perbintangan, perdagangan, bahasa, dan masakanmu menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu semua orang satu kapal. Seluruh awak kapal menghormatimu, karena semuanya pernah kau kalahkan. Kau hanya belum dapat mengalahkanku. Nafsu membunuhmu kau perlihatkan di usia dua belas tahun. Tenang dan tanpa ekspresi seolah-olah darah adalah hal yang biasa bagimu. Kau begitu giat belajar dan di tahun keenam, kau sudah seperti tangan kananku. Macan kecilku telah beranjak dewasa. Aku tersenyum puas.
Pada suatu malam kau mengetuk pelan pintu kabinku, wajahmu seperti wajah gadis yang malu-malu. Aku terkesiap, saat itu aku seperti baru ingat jika dirimu adalah perempuan. Karena selama ini kita semua sama dekilnya. Kau mengatakan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
“Kapten, sepertinya aku akan mati, darah terus menerus keluar dari tubuhku,” sambil memperlihatkan celana panjang hitammu yang basah oleh darah.
Aku semakin terkesiap. Aku tidak tahu menahu bagaimana menangani menstruasi perempuan. Aku berpikir keras. Pulau tujuan selanjutnya masih satu hari perjalanan. Aku membongkar kotak penyimpananku, menemukan kain putih yang cukup bersih dan kau menemukan baju merah kecilmu di antara tumpukan-tumpukan benda. Memintanya untuk kau simpan walaupun sudah sobek sana sini. Aku mengiyakan dan menyuruhmu untuk sementara tidur di kabinku. Sedikit jengah aku menyerahkan kain putih itu dan menyuruhmu untuk menyumbat sementara darahmu yang mengalir dengan itu. Kau bingung memerah. Kita berdua jadi serba salah. Lalu aku keluar ke buritan dan tertidur disana. Hingga kita akhirnya sampai di pulau yang kita tuju.
Aku segera menyeretmu ke rumah bordil langganan, sebuah tempat terlarang untukmu sebelumnya, menyuruh salah seorang dari mereka yang kukenal untuk mengurusmu. Mereka bahkan memandikanmu, mengajarimu macam-macam dan bahkan mendandanimu. Walaupun terlihat sedikit menor ala pelacur, itu adalah saat pertama kalinya aku melihatmu memakai gaun.
“Lihat kapten, ia cukup cantik bukan? Mengapa tidak tinggalkan dia saja disini, ia pasti segera menjadi primadona,” rayu germo pemilik rumah bordil itu.
Kau sudah menjadi primadonaku saat itu. Dan aku tidak segila itu meninggalkan dirimu disana serta membagi dirimu bersama orang lain. Belum sempat kau menikmati bagaimana rasanya memakai gaun itu, aku sudah menyuruhmu segera ganti baju dan menyeretmu ke bar untuk menemani aku minum. Sial, Lin, sepertinya aku memang jatuh cinta padamu, rutukku dalam hati. Aku merasa demam dan curiga terkena malaria. Berbotol-botol minuman kutenggak malam itu, hingga kau harus mengendongku untuk kembali ke kapal.
“Lin, aku tiba-tiba ingin mengajakmu ke Mandalay.”
“Dimana itu, Kapten?”
Aku tak menjawab pertanyaanmu, Lin. Karena aku terlampau mabuk dan mungkin sedikit ngelindur.
Aku terbangun di kabin, kepalaku seperti dihantam godam besi. Dirimu datang membawakan minuman hangat yang kau racik sendiri. Segelas teh Cina dan sepertinya kau masukkan sedikit ramuan obat ke dalamnya. Sungguh pahit namun kau memaksaku untuk menghabiskannya.
“Kapten Aru, aku seperti pernah mendengar Mandalai entah dimana dulu. Nama dan tempat itu terdengar indah. Lin jadi teringat masa sebelum bertemu kapten dan kawan-kawan. Lin bermimpi mengenai seorang laki-laki yang katanya akan menjadi pengantin Lin. Tapi Lin sudah lupakan itu semua. Bagi Lin sekarang Kapten dan kawan-kawan jauh lebih penting. Kalian adalah hidup Lin. Yang sudah lalu biarkanlah berlalu”
Lin, akulah pengantinmu. Pengantinmu yang kurang ajar. Melarikan diri dari perkawinan politik yang tengah diatur di Mandalay dengan pihak Cina. Bahkan aku berniat membunuh calon mempelaiku. Yang ternyata adalah dirimu, bocah kecil berumur delapan tahun. Mereka benar-benar keterlaluan telah mengirimmu sendirian dan aku tak sanggup membunuhmu, Lin.
“Lupakanlah Mandalay, sepertinya semalam aku mabuk berat.”
Yah, lupakanlah. Karena lebih baik kita begini saja. Karena kau semakin hari semakin terlihat indah dan hidup ini sudah cukup indah. Tidak rumit, lepas dan bebas. Bagaimanapun takdirku Lin, aku harus mengarungi lautan. Namaku Arung, putra Mandalay yang hilang di laut lepas.
“Ini baju pengantin Lin dulu, sekarang akan Lin jadikan ikat kepala karena sekarang Lin seorang perompak,” kau menyobeknya tanpa perasaan dan memakai kain sutera merah itu untuk mengikat rambutmu yang lembab dan indah. Ah, Lin. Menjauhlah sebelum perasaanku padamu berubah menjadi racun dan kau rusak karenanya. Kau masih tak mengerti apa-apa.
“Lin, keluarlah. Katakan kita akan segera berangkat.”
Semenjak kau mengikat kepalamu dengan kain merah itu, kau semakin mengganas. Semakin menggila. Menebasi orang seperti menebasi bambu. Bahkan kawan-kawan sesama perompak pun semakin ngeri melihatmu. Kau seperti setan merah yang berjaya di lautan. Namun kau semakin cantik Lin, sepertinya orang lain pun semakin menyadarinya. Bahkan ketika dirimu berlumuran darah. Katakanlah aku sakit, tapi aku suka melihatmu seperti itu. Terkadang darahku mengelegak menahan gairah yang memuncak sampai ubun-ubun dan tidak ada rumah bordil di tengah-tengah lautan. Sial,sial, sial.
Kau semakin terkenal di kalangan perompak. Karena kecantikan dan keganasanmu Bahkan tak sedikit orang mengincarmu. Seringkali ketika kami mendarat di pulau-pulau, mati-matian awak kapal kami menjagamu. Semua orang sepertinya sedang bertaruh untuk keperawanan Lin. Telingaku semakin panas mendengarnya. Ingin kubunuh mereka semua satu per satu dan kupersembahkan kepalanya untukmu. Kau tetap santai menanggapi gencaran dan serangan-serangan yang beredar. Kau terlalu lincah dan terlalu kuat untuk ditaklukkan. Namun bagi kami yang membesarkannya sejak kecil, kami berubah menjadi kawanan ayah-kakak yang protektif kepadamu dan terkadang hal ini membuat dirimu seringkali kesal dengan kami.
Suatu hari Lin menghilang, pergi sendirian berkeliling pulau. Kami panik dan mencari dirimu ke seluruh penjuru pulau yang sedang kami singgahi. Kecemasanku sudah sampai ke ubun-ubun dan rasa putus asa sudah mendera sedemikian rupa. Kau muncul dengan wajah yang tak bersalah. Aku tercengang sejenak, tak sanggup berkata apa pun. Namun amarah sudah menguasai tubuhku. Tak peduli dengan wajahmu yang ketakutan karena mengerti aku tidak pernah semarah itu, kuseret paksa dirimu ke kabin.
“Kau itu budak. Kau tidak boleh pergi sendirian. Mengerti?! Budakku! Kau milikku!”
Gantian Lin yang terkaget, sudah lama aku tidak menggunakan kata-kata itu sejak ia kecil. Aku merasa dirimu berkecil hati. Merasa dirimu tidak lagi menjadi bagian dari kami. Aku telah menyakiti perasaanmukah, Lin?
“Maaf, Lin, kami hanya mencemaskanmu, aku mencemaskanmu” aku berkata pelan sambil merengkuhnya.
“Aku tak apa-apa, Kapten. Tidak ada yang berani mengangguku,” jawabnya sedikit bingung dan merasa bersalah. Menatapmu seperti ini, Lin, membuat nafasku berat dan badanku panas.
Lin, maafkan aku. Aku tak kuasa menahan.
“Kapten apa yang kau lakukan…, tidak, Kapten…, jangan…”
Aku tak mendengarmu. Tak mendengar teriakanmu, walaupun seluruh awak kapal mendengarnya dan tidak bisa menghentikan apa yang sedang kuperbuat padamu. Aku kesetanan. Sekuat apapun kau memberontak, satu-satunya orang yang tak bisa kau kalahkan selama ini adalah diriku.
Kau menyerah, mengetahui tak ada gunanya kau memberontak dan berteriak. Pasrah dan pertama kalinya kau menangis tanpa suara. Wajahmu begitu sedih dan kecewa. Aku seperti tersadar setelah kulihat airmata mengalir dari pipimu yang ranum. Aku tergeragap, hilang nafas.
Apa yang sudah kulakukan, Lin? Apa yang kutakutkan terjadi padamu telah kulakukan dengan tanganku sendiri. Lin, …
Kau masih terkapar di meja makan, masih dengan ekspresi yang sama. Lin, jangan menyiksa diriku dengan wajahmu yang seperti itu.
“Lin, aku tak bermaksud. Maafkan aku. Hey, Lin… tatap mataku,”
Kau menatapku dengan penuh rasa marah dan kecewa. Kau macan dewasa yang benar-benar terluka. Tiba-tiba kau menyabet kalung naga di leherku. Mengenggamnya, meremasnya seperti menghancurkan segala impianmu untuk kesekian kali. Meremas hatiku yang sudah tidak tahu harus berbuat apa.
Kau membenahi pakaianmu dan membuat mataku semakin miris menatapmu. Kau menemukan pisaumu dan mencabutnya.
“Kenapa, Kapten? Kenapa?” sahutmu lirih sambil mengarahkan pisaumu ke dadaku. Aku ingin memelukmu namun tak bisa. Menenangkanmu namun tak bisa. Terlambat sudah segalanya. Kau terlalu kecewa bahkan untuk menatap wajahku lagi.
Lin, aku ingin kau membunuhku saat itu juga. Aku memejamkan mata. Menunggumu menancapkan pisau itu ke dadaku.
Aku membuka mataku lagi, karena aku tetap ingin melihatmu terakhir kalinya. Kau tengah mengiris nadi tangan kananmu dengan wajah teramat kecewa. Aku tak pernah menyadari bahwa kau begitu rapuh. Begitu terluka.
“Aku ingin membunuhmu, Kapten. Tapi tidak bisa. Jika tidak kau yang mati, lebih baik aku yang mati.”
Kau berlari keluar kabin. Tak seorangpun dapat menghentikanmu, yang meloncat langsung ke lautan dalam. Aku meloncat diikuti yang lain, mencarimu namun tidak seorangpun menemukanmu. Badai hendak datang, seolah-olah para naga laut telah menelanmu dan memaksa kami semua kembali ke kapal.
Kau hilang. Kau tenggelam. Dalam ingatanku yang mendalam. Aku menangisimu hingga mataku menjadi tua dalam semalam.
Lin, aku menerima kabar lewat burung camar, tiga hari yang lalu ketika aku tengah mengenangmu yang tenggelam lima tahun yang lalu. Kabarnya di Mandalay, seorang perempuan Cina membawa anak laki-laki berumur empat tahun mencariku. Katanya ia memakai liontin naga di lehernya. Dadaku nyaris pecah membaca kabar itu.
Lin, apakah itu dirimu? Dan sadarkah kau bahwa liontin itu dibuat sepasang? Sebelum kedatanganmu ke Mandalay, liontin naga yang dipersembahkan itu kubawa serta untuk memastikan dirimu benar-benar putri yang dikirim dari pihak Cina. Yang kau rebut saat itu adalah milikku dan milikmu saat ini masih saja kupakai untuk mengenangmu.
Lin, apakah benar itu dirimu? Daratan Mandalay sudah terlihat. Lin, apakah kau sudah memaafkanku atau muncul untuk membunuhku? Adakah dirimu menungguku di Mandalay, ah jantung hatiku?
Adhyaksa, 19 April 2007, 2.27 AM