Alam Adalah Air Susu Ibu Kami

“Oel nam nes on na, nasi nam nes on nak nafu, naijan nam nes on sisi, fatu nam nes on nuif.”
“Air adalah darah, hutan adalah rambut, tanah adalah daging, batu adalah tulang.”
-Falsafah Molo

“Jika mau merusak hutan, lebih baik keluar dan mati saja.”

Kalimat tegas itu merangkum sikap Aleta Ba’un dalam menghadapi para pengeksploitasi sumber daya alam di Molo, Kabupaten Timor Tengah, yang merupakan jantung Pulau Timor. Berkali-kali mantan pembantu rumah tangga yang baru saja lulus menjadi sarjana hukum perdata ini menjadi penggerak utama masyarakat adat di Molo menghadapi perusahaan-perusahaan tambang, dan menang.

Tumbuh dalam keluarga petani dan terbiasa tinggal di pinggir hutan, Mama Aleta, sebagaimana ia sering dipanggil, menjelaskan motivasi perjuangannya dengan kalimat sederhana bahwa ia sangat mencintai hutan. Maka dari itu, ketika segala kecintaannya terancam, ia maju menjadi orang terdepan yang menentang perusakan alam di daerahnya. Ketika tambang marmer beroperasi, debit air berkurang, mata air menghilang, binatang dan tumbuhan menghilang, dan air mereka tercemar. Bahkan batu Anjaf yang disucikan dan dianggap batu yang menyimpan nama-nama leluhurnya dibelah. Mama Aleta tahu ia harus berbuat sesuatu.

Ia mulai terlibat kerja-kerja advokasi pada tahun 1999 dengan mendirikan Yayasan Oat atau Organisasi Attaemamus yang artinya “mengayomi, melindungi, memperbaiki, merangkul, dan mempertahankan”. Bersama Yohance Lase, Yeheskiel Nune, dan Lambert Kase, ia diam-diam melakukan pertemuan-pertemuan di malam hari untuk mulai mengorganisir masyarakat. Seringkali ia harus meminjam motor diam-diam — Aleta menyebutnya “curi motor” — untuk bergerilya dalam pertemuan-pertemuan pengorganisiran. Rapat-rapat gelap ini seringkali dikamuflasekan sebagai pelaksanaan ritual adat sehingga tidak dicurigai oleh aparat.

Tahun 2001, Mama Aleta mengaku bahwa dia belum pernah berdemo sebelumnya. Pada waktu itu, mereka membawa orang-orang dari desa berjalan sejauh tiga kilometer untuk mengusir tambang marmer dari tanah mereka. Karena belum berpengalaman, mereka tidak mempersiapkan apa-apa. Jumlah mereka sekitar 300 orang. Ketika mereka mulai kelaparan dan mau mencari makan, mereka dihadang oleh tentara. “Kami mau cari makan, atau kita baku bunuh saja di sini,” kata Mama Aleta menghadapi para tentara yang menghalangi mereka untuk keluar dari tempat itu. Ketika para anggota DPR datang, mereka diperbolehkan mencari makan.

“Saya hutang beras di warung-warung kecil, dapat tiga periuk. Satu periuk mie instan, dua periuk nasi. Tiap orang mendapatkan kurang lebih satu sendok makan. Tetapi itu cukup,” paparnya mengenai pengalaman pertama kali mereka mendemonstrasi tambang. “Saya tidak boleh lemah. Mungkin dalam hati nurani ada sedikit rasa takut. Tetapi kami sudah banyak, kami hidup untuk mati,” lanjutnya. Baginya keberanian adalah sesuatu yang menular.

Mama Aleta menghabiskan waktunya mengorganisir pada jam-jam yang tidak bisa ditentukan. “Seringkali saya pulang dan masuk rumah lewat jendela,” katanya setengah tertawa. Terkadang ia harus meninggalkan suami dan ketiga anaknya. Pada awalnya suaminya sempat marah dan cemburu karena Aleta seringkali pulang malam, tetapi seiring waktu, Liftus suaminya mendukung penuh apa yang dikerjakan Aleta. Ia sepenuhnya menggantikan Aleta di rumah dan menjadi ayah-ibu bagi anak-anak mereka.

“Sebenarnya dalam adat kami, kami sudah paham gender dan saya mempraktikkannya dalam hidup keseharian saya,” tegas Mama Aleta ketika sedang menceritakan kehidupan keluarganya.

Bahaya yang dihadapi Aleta pun tak luput menimpa keluarganya, beberapa kali mereka harus hidup berpindah untuk menghindari teror dari aparat dan preman-preman yang disewa oleh perusahaan tambang. Rumahnya dilempari batu, kakinya dibacok, dan berkali-kali dirinya menjadi target pembunuhan.

Pada tahun 2006, ketika sedang menghadapi perusahaan tambang, Mama Aleta dan penduduk kampung harus tidur selama setahun di hutan. Waktu itu, anak bungsunya Ainina yang berusia dua bulan ia bawa mengungsi ke dalam hutan. Mereka harus terpisah dengan keluarga yang lain. Mama Aleta menyusui Ainina di hutan, namun karena makanan mereka terbatas, Ainina menjadi kurang gizi dan terancam hampir mati. “Anak itu jadi kurus sekali, saya sudah hampir merelakannya waktu itu. Tetapi akhirnya ia selamat dan sehat sampai sekarang,” ujarnya.

Bagi Mama Aleta perempuan adalah sosok yang sangat dekat dengan sumber alam.

“Perempuan seperti kami bisa dalam sehari bolak-balik ke kebun, mengambil air, kayu, dan kebutuhan lainnya. Kamilah yang mengetahui isi hutan dan bagaimana memanfaatkannya. Kami jual apa yang bisa kami buat. Kami tidak jual apa yang kami tidak bisa buat,” paparnya.

Dalam sebuah demonstrasi besar dimana 200 orang perempuan menduduki tambang, Mama Aleta meminta para perempuan membuka bajunya dan memperlihatkan payudara mereka lalu berseru: “Jika ingin mengambil tanah kami, belah saja dada kami.”

“Semua orang punya ibu. Kami menggunakan bahasa yang akan mereka mengerti. Alam ini adalah ibu yang menyusui. Mereka tidak berani berlaku kasar kepada perempuan. Akhirnya mereka pergi terkencing-kencing,” cerita Mama Aleta. Ketika sedang menduduki tambang, mereka membawa serta alat tenun bersama mereka, dan mereka menenun di situs tambang hingga pihak perusahaan tambang menyerah.

Ancaman-ancaman pencaplokan sumber daya alam di Pulau Timor belum berhenti, namun hal ini tidak membuat Mama Aleta gentar. Saat ini ia telah berhasil mempersatukan tiga suku di wilayah Molo yaitu suku Molo, Amanuban, dan Amanatun. Sejak tahun 2010, mereka membuat Festival Ningkam Haumeni. Ningkam Haumeni berarti “lilin dan cendana.” Hasil bumi inilah yang membuat Belanda tertarik dengan bumi Timor, hingga cendana pun hilang ketika pemutihan diberlakukan oleh Dinas Kehutanan. Padahal cendana termasuk pohon yang digunakan dalam ritual adat mereka dan ketika dipotong harus dilakukan dengan diam-diam. Festival Ningkam Haumeni diselenggarakan untuk menyatukan ketiga masyarakat adat menjadi satu kekuatan.

Mama Aleta yang masih keturunan raja — di mana ayahnya adalah salah satu tetua adat yang berwenang untuk menentukan dan memberhentikan seorang raja — percaya bahwa mekanisme adat mereka memiliki kekuatan luar biasa untuk melindungi alam dan kehidupan mereka. Ia melihat kerja-kerjanya melawan tambang sejalan dengan mekanisme masyarakat adat dalam mempertahankan wilayah dan hak adat mereka.

“Sejak jaman Belanda, perusakan alam telah terjadi di tanah kami. Adat kami dipecah-pecah. Sudah saatnya kita meraih kembali apa yang menjadi bagian dari sejarah kita dan mempertahankan kelangsungan adat dalam kehidupan,” tegasnya.

Tulisan ini diterbitkan untuk media internal AMAN (Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara). Tulisan ini dibuat setelah wawancara personal dengan Mama Aleta selama di Tobelo, Halmahera Utara, 2012. 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s