“Aku melihatnya pergi begitu saja, tanpa mengucapkan apa-apa, apalagi perasaanku. Dua bulan kemudian ada bentrok dengan gerilyawan, desa mereka dibakar dan di antara tiga belas ribu korban perang saudara itu, ia adalah salah satunya,” kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Rajiv, di tengah malam yang tak seberapa dingin dan pojokan kamar yang sudah gelap karena malam dan listrik lagi-lagi tak menyala malam ini. Seperti semua pembicaraan yang menuju kepada sesuatu, manusia akan membicarakan sekian pengalamannya akan cinta.

Aku memeluk kantung tidurku malam itu. Membayangkan perempuan cinta pertama Rajiv dan bagaimana perang saudara di wilayah yang tengah kulewati, mencabiknya dari hatinya. Aku teringat mendadak oleh cinta pertamaku sendiri. Laki-laki Ambon yang nan jauh dari kampungnya. Kata-katanya yang seolah baru kemarin sore ketika ia tengah bercerita tentang rumah pamannya yang dilempar granat di tengah-tengah kerusuhan Ambon yang penuh gejolak di tahun 1999. Saudara yang membunuh saudara. Manusia demi manusia.

Hingga pagi, aku gelisah akan pertanyaanku mengenai cinta pertama dan bagaimana perang saudara mewarnainya. Di bagian belahan bumi tropis dan di bawah kaki-kaki Himalaya seolah semuanya menjadi tak lagi jauh berbeda. Rajiv telah tertidur sekian jam yang lalu, di tengah kegelapan yang mulai terang oleh remangnya pagi, wangi embun mengusik sekian pertanyaanku akan kedamaian dan segala usaha yang akan kita lewati menujunya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s