Mungkin di malam ini 59 tahun yang lalu, udara dan segalanya berlalu lalang seperti gelap, menyapa negeri memasuki bulan Oktober. Segalanya menghantui kita semua dari segala penjuru, seolah malam-malam seperti ini tidak boleh berakhir dengan senyap.
Aku menunggu kekasih yang kembali, di malam yang seperti ini. Aku tak menjemputnya di stasiun lebih karena jalanan malam di Yogyakarta sekian tahun belakangan tak aman. Penuh anak muda yang hilang arah dan membawa parangnya di jalanan. Pemuda yang lepas dan kehilangan. Mempertontonkan keputus asaan yang lain dari minimnya harapan pada kehidupan.
Apakah pemuda dan pemudi kita tidak pernah sungguh-sungguh benar-benar merdeka?
Apakah bangsa yang terjajah tak benar-benar pernah menemukan kemerdekaannya sendiri atas dirinya?
Kita tak lagi disuguhi tontonan televisi berjam-jam yang menyirap kesadaran sekian generasi bangsa ini dan residu yang masih mengalir kemana-mana di malam yang setengah kelam ini. Ingatan kolektif yang dibentuk ditiadakan untuk melenyapkan keberadaan jutaan orang kemudian. Sekian hari yang lalu, kami semua disuruh memaafkan si pelaku. Alangkah kurang ajarnya mereka. Seolah kami tak mengetahui, seolah kami yang lemah tak akan menyimpan bara kami sampai jauh-jauh hari.
Ini adalah sekam yang akan dipelihara oleh zaman dan ingatan.
Jika semangat adalah segala yang kita butuhkan, aku akan menyimpannya rapat-rapat. Merawat segalanya dengan perlahan. Sepelan udara malam yang tengah mengantar kekasihku pulang kepadaku. Dan anakku tertidur lelap selepas melewati badai demam.
Malam berjalan setengah kelam. Namun hatiku menyala dalam terang. Karena tak ada pilihan lain selain tetap melawan, merawat ingatan.
Yogyakarta, 30 September 2024
Leave a comment