Masih kuingat purnama di atas atap rumah. Benderang yang menyilaukan terkadang, layaknya sinar mentari yang menerpa kulitmu. Dan kau mengetahui detik-detik ketika terpaan kekuningan di kulitmu lekat kutatap. Dan kau akan menepuk pipiku. Seakan berkata, janganlah kau lekat pada yang terlihat.
Aku tak pernah mengerti sekian sosok apa yang berlapis pada dirimu. Aku mengingat momen kau buang kacamata merahku di hari ketiga kita bertemu di rumah di atas bukit. Segalanya buram dan kepalaku sakit. Sosokmu memecah menjadi bulir-bulir selayak hujan yang jatuh tepat di kedua bola mataku. Bersama rasa sakit semuanya mengalir. Kau berkata, “Lewatilah semua rasa sakit itu,” dan tanpa kau melanjutkan kata-kata, selalu kutemukan tangan dan lenganmu tak jauh dari genggaman. Dan tak pernah kau pergi.
Apa sebenarnya rasa kehilangan yang begitu lama berasal dan juga pada akhirnya berakhir? Setelah tiga purnama, aku berada dalam penghujung. Di segala yang lahir baru, dalam kulitku ini diterpa matahari yang sama di sampingmu. Juga angin, lalu udara yang sama. Semua yang kita hirup bersama. Kini.