: atas mirat, atas chairil
Jika kami muda selamanya, Chairil, hanya cinta yang menyiram kami bagai bensin. Membakar habis hingga relung-relung hati dan menyisakan belulang yang tak lekang. Jika kami jatuh cinta, Chairil, lembaran-lembaran kosong buku tulis akan habis oleh puisi dan bom puisi memenuhi inbox email para kekasih kami.
Tapi kami generasi yang galau, Chairil. Kami bercinta dengan tergesa. Menyatakan rindu dengan mengganti status di jejaring sosial. Kami memujamu dengan membuat foto-foto diri merokok kretek, meniru pose klasikmu yang kami upload di dunia maya. Dirimu abadi, Chairil, walaupun belum seribu tahun.
Jika kami adalah kekasihmu, Chairil, kami akan membiarkan tembok-tembok kamar kami dipenuhi oleh kata-katamu. Kami akan merekam semua percakapan denganmu dan mengulanginya sebelum kami tertidur bagai merapal doa.
“Adakah, adakah
kau selalu mesra dan aku bagimu indah?”
Namun kami generasi yang mulai tak percaya negara, jika ditembus peluru demi negara, kami merasa sia-sia. Kami bukan tentara. Kami bukan tentara yang membunuhi rakyatnya sendiri dan kami tak pernah rela. Bahkan jika para tentara itu sekarang tampil dalam balutan joget India. Mereka tetap mengokang senjata dan kami tetap siaga. Kami tak pernah percaya.
Jika kami mati muda, Chairil, kami tak akan melewati angka dua puluh tujuh tahun, sepertimu. Jika kami mati muda, Chairil, sepertimu, kami ingin mati demi cinta. Bagimu yang abadi adalah harum kata. Bagimu yang abadi adalah mendekap kematian, membalutnya dalam dada. Merapat bersama, bagai Mirat Muda, Chairil Muda.
Biarkan kami mengadu gigi dalam mulutmu, Chairil. Biarkan kami mengucup untukmu, agar tetap hidup, walaupun terbuang. Agar tetap jalang, jujur dan telanjang. Kami tak ingin menutup apa-apa, bahkan kebusukan. Kata-katamu yang lurus, menusuk dan jujur, biarkanlah menghantam apa-apa yang tak lagi adil di negeri ini. Mereka yang bicara atas nama Tuhan dan membunuh orang-orang. Dalam surgamu, tak ada orang-orang demikian. Dalam neraka kami, mereka membakar amarah tanpa henti. Demi surga yang bukan apa-apa. Demi Tuhan yang tak perlu dibela.
Tataplah kami, Chairil, dalam pandangan yang ungu membatu. Seperti Mirat yang menatapmu lamat-lamat di suatu waktu. Dimana kami membuka pintu-pintu kami sendiri. Dimana kami menentukan nasib kami sendiri dan juga menemukan kematian kami sendiri. Sampai kami rebah. Sampai jiwa kami lelah. Dan kami sama-sama menemukan jejakmu dalam abu tanah.
Yogyakarta, 27 April 2011