mas eka wrote:
Kita ini ibarat Malin Kundang. Ya, Malin Kundang nggak sepenuhnya bisa disalahkan. (Bahkan ada versi baru di mana si ibulah yang salah; masa ibu mengutuk anaknya? mana kasih sayang ibu sepanjang masa?). Malin Kundang kan merantau, bertahun-tahun, dan ketika pulang ia mendapati gap itu. Ada jurang sejarah antara dirinya dan ibunya. Sesuatu yang wajar kemudian ia menolak dan memilih kembali lagi.
So, begitu juga kita. Katakalanlah perantauan itu nggak semata-mata perantauan fisik, tapi perantauan pengetahuan. Kita sekolah dan banyak baca buku. Ketika kita pulang, ketemu teman dan keluarga, semuanya terasa nggak nyambung. Maka ada suatu kesan penolakan yang nggak sadar. Jadi apa bedanya kita dengan Malin Kundang?
malin kundang2 masa kini…